I.
P e n d a h u l u a n
Bukanlah hal yang baru dikalangan masyarakat Islam
sejak zaman dahulu bahwa sebagian
diantara mereka dalam menunjukkan kecintaannya
terhadap Nabi, para imam, wali, ulama dan orang-orang shalih yang
dianggap sebagai orang-orang diidolakan melakukan hal-hal yang kadang-kadang dianggap
aneh oleh sebagian orang dan sulit dapat diterima oleh akal sehat. Segala
perbuatan yang mereka lakukan merupakan bagian dari upaya untuk menunjukkan
kecintaannya dengan cara mengagungkan dan memuji secara berlebihan dan
melampaui batas ( ghuluw) yaitu misalnya salah satu contoh dengan cara menyiksa
diri yang dilakukan oleh kalangan penganut Syi’ah dalam memperingat kematian Husien bin Ali Abi
Thalib .
Bentuk pengagungan kepada wali ditunjukan oleh
penganut thariqat Qadiriyah , dimana pada malam- malam tertentu atau
acara-acara tententu mengamalkan pembacaan manaqib ( sejarah perjalanan hidup) ulama besar Syaikh Abdul Qadir Jailani untuk
mendapatkan baraqah dari syaikh . Isi dari manaqib tersebut banyak yang
menyimpang, karena kalau disimak dengan menterjemahkan manaqib atau riwayat
tersebut maka di dalamnya oleh pengarangnya banyak sekali terdapat
riwayat-riwayat berupa isapan jempol belaka. Namun karena sebagai tanda
penghargaan dan memuliakan Syaikh Abdul Qadir Jailani, cerita-cerita bohong
dalam manaqib tersebut dianggap benar. Disebutkan bahwa konon salah seorang
pernah mendatangi Syaikh Abd.Qadir Zailani melaporkan bawah anaknya meninggal
dunia dan meminta tolong kepada sang
Syaikh agar anaknya dapat hidup kembali,atas permintaan tolong tersebut syaikh
lalu terbang keangkasa mengejar Malaikat maut yang membawa roh si anak yang
telah dicabut nyawanya. Ketika bertemu dengan Malaikat tersebut syaikh
Abd.Qadir Jailani meminta agar roh si anak dikembalikan, tetapi malaikat
menolak. Syaikh Abdul Qadir Jailani lalu berusaha merebut roh tersebut dari
Malaikat namun Malaikat tetap mempertahankannya sehingga terjadilah perkelahian
dimana akhirnya Malaikat kalah dalam perkelahian tersebut dan syaikh dapat
membawa pulang roh si anak.
Gambaran lain tentang pengagungan dan memuji
melampaui batas ditunjukkan pula oleh sebagian masyarakat di Kalimantan
terhadap salah seorang tuan guru ( yang sudah almarhum) yang menganggap tuan
guru tersebut sebagai wali Allah yang mengetahui perkara ghaib dan
sampai-sampai gambar/foto sang tuan guru dianggap dapat mendatangkan baraqah
bagi yang memajang dirumah-rumah,kuburannya dianggap berkramat. Ada pula
majelis ta’lim yang ustadznya merupakan murid dari tuan guru memajang foto tuan
guru dimana pada saat berjama’ah foto tersebut diletakkan didepan imam shalat. Semuanya
itu dilakukan tidak lain sebagai bentuk penggambaran akan kecintaan dan pengagungan
kepada sang tuan guru.
Bagaimanakah sesungguhnya sikap Islam terhadap perilaku mereka-mereka
yang berbuat ghuluw baik terhadap Nabi, para wali, syaikh, tuan guru, kiai dan
orang-orang shalih.?
Dalam ulasan yang serba terbatas dibawah ini dicoba
mengungkapkan tentang larangan berbuat ghuluw dengan mengagungkan, memuji
secara berlebihan yang dilakukan oleh
banyak kalangan Islam yang materi pokoknya bersumber dari penjelasan para
ulama.
II.Apakah ghuluw itu ?
1. Pengertian Ghuluw
KH.Qomaruddin dalam buku beliau “ Ayat-ayat Larangan
& Perintah Dalam al-Qur’an menywebutkan bahwa :”dalam kamus lisanul ‘arab
disebutkan bahwa asal kata ghuluw diambil dari kata ghala yaghlu, yang secara
bahasa artinya melampaui batas atau berlebih-lebihan.
Pengertian
ghuluw dalam arti syari’at adalah berbuat melampaui batas, baik dalam keyakinan
maupun amalan yang justru membuatnya menyimpang dari apa yang telah ditetapkan
oleh syari’at.
Ibnu Taimiyah
mengatakan bahwa ghuluw dalam agama berarti melampaui batas dengan menambah-nambah
dalam memuji sesuatu atau mencela sesuatu sehingga menyimpang jauh dari apa
yang menjadi haknya
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin (al-Qaulul Mufid, 1/466) memberikan definisi
yang semakna dengan apa yang dinyatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah . Dr.
Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, secara
syariat ghuluw berarti berlebihan dalam mengangkat seseorang lebih dari
kedudukan yang sepantasnya, seperti mengangkat seorang nabi atau orang-orang
saleh ke martabat rububiyyah dan uluhiyyah (ketuhanan). (Syarah Masail
al-Jahiliah, hlm. 85)
Ada pula yang menyebutkan ghuluw dalam beragama
berarti: melampaui apa yang dikehendaki syari'at,
baik dalam keyakinan, maupun amalan.
Ada
juga ulama yang mengatakan, "Ghuluw berarti melampaui batas dengan
menambah-nambah dalam memuji sesuatu atau mencelanya sehingga melampaui
apa yang menjadi haknya."
2 .Beberapa Nama
Lain Ghuluw
Dalam hadits-hadits juga banyak diriwayatkan
peringatan serupa, dengan lafadz yang memiliki pengertian serupa dengan
ghuluw. Diantaranya :
a. At Tanatthu' (keras tidak karu-karuan)
Rasulullah
pernah bersabda :
Binasalah mereka yang bersikap
tanatthu', binasalah mereka yang bersikap tanatthu', binasalah mereka yang
bersikap tanatthu'
Imam
Nawawi menyatakan, "Tanatthu' berarti melampaui batas." Dalam pernyataan
beliau lainnya, "Tanatthu' berarti sikap keras tidak karu-karuan yang
tidak pada tempatnya."
b. Tasyaddud (Menyusah-nyusahkan Urusan)
Dari
Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda,
صحيح
البخاري ٣٨: حَدَّثَنَا عَبْدُ السَّلَامِ بْنُ مُطَهَّرٍ قَالَ حَدَّثَنَا عُمَرُ
بْنُ عَلِيٍّ عَنْ مَعْنِ بْنِ مُحَمَّدٍ الْغِفَارِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ
الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ
يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِينُوا
بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنْ الدُّلْجَةِ
Shahih
Bukhari 38: dari Abu Hurairah bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya agama itu mudah, dan
tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan (semakin berat
dan sulit). Maka berlakulah lurus kalian, mendekatlah (kepada yang benar) dan
berilah kabar gembira dan minta tolonglah dengan Al Ghadwah (waktu pagi) dan
ar-ruhah (waktu zhuhur) dan sesuatu dari ad-duljah ((waktu malam) ".
Syaikh
Nashiruddin Ahmad bin Muhammad al Iskandari berkata, Disebutkan disitu
"sedikit waktu malam", karena beribadah dimalam hari itu berat. Maka
disunnahkan mempergunakan sedikit waktunya.
Lalu
Syaikh Shalahuddien Maqbul Ahmad dalam komentarnya terhadap kitab tersebut
menyatakan,
"Beliau
(Imam Bukhari) hendak menyatakan bahwa yang utama bagi orang yang beramal itu
untuk tidak usah memaksa diri, sehingga malah letih dan berhenti beramal. Namun
hendaknya ia beramal perlahan - lahan secara bertahap agar amalannya
berlangsung terus dan tidak terputus."
c. Al 'Itida' (Melangkahi Ketentuan Syari'at)
Rasulullah
bersabda,
"Sesungguhnya Allah telah
menetapkan kewajiban-kewajiban, janganlah kalian melalaikannya, menetapkan
hal-hal yang haram, janganlah kalian melakukannya. Allahpun telah menetapkan
batasan, maka janganlah kalian melangkahinya ..."
Allah
berfi rman,
أُحِلَّ
لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ
لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ اللّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ
عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللّهُ
لَكُمْ وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ
الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ
وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ
فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari
bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu,
dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak
dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af
kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih
dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang)
malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf [115]
dalam mesjid. Itulah
larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.(QS,Al Baqarah: 187 )
Ibnu
Taimiyah berkomentar, "Ini adalah awal perbuatan haram." Artinya,
kita harus memelihara diri agar tidak mendekati yang haram, dan mencukupkan
diri dengan yang halal.
Allah
berfi rman,
الطَّلاَقُ
مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلاَ يَحِلُّ لَكُمْ
أَن تَأْخُذُواْ مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلاَّ أَن يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَا
حُدُودَ اللّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا
فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَعْتَدُوهَا وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ
اللّهِ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali.
Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan
cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah
kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri)
tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya Itulah
hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.(QS.Al
Baqarah : 229 )
Ibnu
Taimiyah berkata, "Inilah akhir perbuatan halal." Artinya, kita harus
memelihara diri dalam melakukan tindakan yang asalnya adalah halal. Karena
apabila kita melampaui batas, ia menjadi haram, atau menjerumuskan kita kepada
yang haram, dan inilah perbuatan I'tida'. Wal 'iyadzu billah.
d. At Takalluf (Memaksakan Diri)
Dari
Umar ia berkata,:
سنن
أبي داوود ٣١١٣: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْمَهْرِيُّ أَخْبَرَنَا ابْنُ
وَهْبٍ عَنْ يُونُسَ بْنِ يَزِيدَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
قَالَ
وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ الرَّأْيَ إِنَّمَا كَانَ مِنْ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُصِيبًا لِأَنَّ اللَّهَ كَانَ
يُرِيهِ وَإِنَّمَا هُوَ مِنَّا الظَّنُّ وَالتَّكَلُّفُ
Sunan
Abu Daud 3113: bahwa Umar bin Al Khathab
radliallahu 'anhu berada di atas mimbar dan berkata, "Wahai para manusia,
sesungguhnya jika pendapat itu berasal dari Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam maka ia benar adanya, sebab Allah memperlihatkan kepadanya, dan
pendapat yang berasal dari kita hanyalah prasangka dan takalluf (membebani diri)."
Syaikh
Salim al Hilali berkomentar, (Hadits ini menunjukkan dilarangnya , bersikap
keras dan memaksa diri untuk hal yang tidak perlu.
3.Macam-Macam Ghuluw
Sikap
ghuluw kaitannya dengan perbuatan-perbuatan hamba, dapat dibagi menjadi dua
kategori, yaitu:
Pertama, ghuluw i’tiqadi.
Ghuluw
dalam i’tiqad ini dilakukan oleh orang Nasrani terhadap ‘Isa bin Maryam ‘alaihisallam.
Seperti juga ghuluw Syi’ah Rafidhah terhadap ‘Ali radhyallahu’anhu atau terhadap imam yang 12. Termasuk juga
ghuluw Khawarij dalam mengafirkan orang-orang Islam hanya karena melakukan
kemaksiatan-kemaksiatan atau dosa-dosa besar.
Kedua, ghuluw amali.
Yaitu
ghuluw yang terkait dengan amalan-amalan, baik amalan lisan maupun amalan
anggota badan yang tidak terkait dengan i’tiqad. Contohnya, melempar jumrah
dengan batu besar, melakukan puasa wishal (puasa terus-menerus), atau bangun
malam untuk shalat semalam suntuk.
Dari
kedua jenis ghuluw ini, yang paling berbahaya dan besar adalah ghuluw i’tiqadi.
(Bida’il I’tiqad wa Akhtharuha, hlm. 94)
4.Ghuluw dalam Pandangan Agama
Sikap
berlebih-lebihan (ghuluw) merupakan perbuatan yang dibenci agama. Sikap ghuluw
merupakan salah satu ciri agama jahiliah dan merupakan asas kesesatan
orang-orang Nasrani. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan kebencian-Nya terhadap perbuatan
ghuluw di dua tempat di dalam Al-Qur’an, agar umat Rasulullah n tidak terjatuh
dalam perbuatan tersebut, utamanya dalam menyikapi diri beliau shallallahu’alaihi
wa sallam. Begitu juga Rasulullah shallahu’alahi wa sallam dalam banyak
kesempatan—bahkan ketika di akhir hayat—dengan tegas mengingatkan umatnya dari
hal tersebut.
Ghuluw dengan makna di atas telah dijelaskan oleh
Allah ta’ala pada dua tempat:
Pertama,
Allah ta’ala berfirman:
يَا
أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ وَلاَ تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ إِلاَّ
الْحَقِّ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا
إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِّنْهُ فَآمِنُواْ بِاللّهِ وَرُسُلِهِ وَلاَ تَقُولُواْ ثَلاَثَةٌ
انتَهُواْ خَيْرًا لَّكُمْ إِنَّمَا اللّهُ إِلَـهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَن يَكُونَ
لَهُ وَلَدٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَات وَمَا فِي الأَرْضِ وَكَفَى بِاللّهِ وَكِيلاً
Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu
melampaui batas dalam agamamu [383], dan janganlah kamu mengatakan terhadap
Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, 'Isa putera Maryam itu, adalah
utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya [384] yang
disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya [385]. Maka
berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan
: "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik
bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai
anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah
menjadi Pemelihara.(QS.
An Nisaa : 171 )
K e t e r a n g a n :
[383]
Maksudnya : janganlah kamu mengatakan Nabi 'Isa u itu Allah, sebagai yang
dikatakan oleh orang-orang Nasrani. [384] Lihat not 193. [385] Disebut tiupan
dari Allah karena tiupan itu berasal dari perintah Allah.
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلاَ
تَتَّبِعُواْ أَهْوَاء قَوْمٍ قَدْ ضَلُّواْ مِن قَبْلُ وَأَضَلُّواْ كَثِيرًا وَضَلُّواْ
عَن سَوَاء السَّبِيلِ
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan
(melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan
Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka
tersesat dari jalan yang lurus".(QS. Al Maidah : 77 )
Asy-Syaikh Abdurrahman bin
Hasan dalam syarahnya terhadap Kitab at-Tauhid mengatakan, “Sekalipun yang diajak berbicara
oleh Allah ta’ala adalah ahli kitab, namun arahannya umum untuk setiap umat
sebagai suatu bentuk peringatan dari sifat ghuluw, sebagaimana perbuatan
Nasrani terhadap Nabi ‘Isa’alaihissallam dan perbuatan orang Yahudi terhadap
‘Uzair.” (Fathul Majid, 1/371)
Al-Hafizh
Ibnu Katsir t mengatakan, “Allah subhanahu wa ta’ala melarang ahli kitab dari ghuluw dan kultus
individu. Hal ini banyak terjadi di kalangan Nasrani yang melampaui batas
terhadap diri ‘Isa’alaihissallam, sehingga mereka mengangkatnya lebih dari
martabat yang telah diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala pada diri beliau. Mereka memosisikan beliau
dari kedudukannya sebagai seorang nabi menjadi sesembahan yang mereka sembah
selain Allah .Bahkan, mereka juga berlebih-lebihan dalam menyikapi para
pengikut Nabi Isa ‘alaihissallam(di antaranya para pendeta) yang mereka
meyakini pada diri para pengikut tersebut, kesucian dari dosa. Mereka mengikuti
setiap apa yang dipetuahkan oleh (para pendetanya), baik itu benar ataupun
salah, kesesatan ataupun petunjuk, benar ataupun dusta. Oleh karena itu, Allah
l mengatakan, ‘Mereka menjadikan ulama-ulama dan pendeta-pendeta tersebut
sebagai sesembahan-sesembahan selain Allah’.” [an-Nisa: 171] (Tafsir Ibnu
Katsir, 1/603)
Asy-Syaikh Abdurrahman
as-Sa’di (Taisir al-Karimirrahman, hlm. 179) mengatakan hal yang semakna dengan
ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t yang berkata, “Barang siapa dari umat ini
yang menyerupai Yahudi dan Nasrani, serta dia berlebih-lebihan di dalam agama
baik dengan cara menambah maupun mengurangi, maka dia telah sama seperti
mereka.” (Minhaj as-Sunnah, 1/28, Majmu’ Fatawa, 3/370—394)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di
t juga mengatakan, “Barang siapa berlebih-lebihan dalam menyikapi seorang makhluk sehingga
menjadikannya memiliki kekuasaan tunggal dalam mengatur dan sebagainya, maka
sesungguhnya dia telah menyamakannya dengan Rabbul ‘alamin. Hal itu termasuk sebesar-besar
dosa syirik, karena hak-hak itu ada tiga:
1.Hak
yang hanya khusus bagi Allah ta’ala dan
tidak ada seorang pun yang menyamai-Nya dalam hak ini. Itulah hak peribadatan
hanya kepada-Nya semata dan tidak kepada selain-Nya, baik dengan cinta, bertaubat,
takut, berharap dsb.
2. Hak yang khusus bagi rasul-rasul-Nya, yaitu memuliakan mereka, melaksanakan
hak-hak mereka, dan sebagainya.
3. Hak yang dimiliki bersama, yaitu hak beriman kepada Allah l dan beriman
kepada rasul Allah. Cinta kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan cinta kepada rasul-Nya, menaati Allah subhanahu
wa ta’ala dan menaati rasul-Nya. Namun pada asalnya hak ini terkait dengan
Allah. Adapun kepada rasul-Nya hanya sebatas mengikuti hak Allah.” (al-Qaulus
Sadid, hlm. 73)
Dari
dua ayat di atas, jelaslah bahwa ghuluw dalam beragama, menyikapi sesuatu atau
seorang yang alim dengan cara berlebihan sehingga meletakkannya pada martabat
lebih dari kedudukannya sebagai manusia, merupakan perbuatan yang dibenci oleh
Allah l dan Rasul-Nya .Rasulullah n bersabda dalam sebuah hadits dari ‘Umar
ibnul Khaththab radhyallahu’anhu:
لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى عِيْسَى بْنِ مَرْيَمَ،
إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ
“Janganlah kalian memujiku sebagaimana
orang-orang Nasrani memuji ‘Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku adalah seorang
hamba, maka katakanlah: hamba Allah dan rasul-Nya.” (Sahih, HR. al-Bukhari
no. 3445 dan 6830, Muslim no. 1691, at-Tirmidzi no. 284)
Makna
dari hadits ini: “Janganlah kalian memujiku sehingga kalian berlebih-lebihan
terhadapku, sebagaimana kaum Nasrani berlebih-lebihan terhadap ‘Isa ‘alaihissallam
yang pada akhirnya mereka mengakui adanya hak peribadatan bagi ‘Isa bin Maryam.
Aku ini tidak lebih dari seorang hamba Allah ta’ala. Maka sifatilah diriku
sebagaimana Rabb-ku mensifatiku. Katakanlah: hamba Allah dan rasul-Nya.”
shallallahu’alaihi
wa sallam dan pengagungan kepadanya, serta menampakkan ketauhidan dan
keikhlasan (seolah-olah) sebagai bentuk mengurangi serta meremehkan beliau.”
(Fathul Majid, 1/381)
Di
dalam hadits dari Ibnu ‘Abbas c, Rasulullah n bersabda:
إِيَّاكُمْ وَاْلغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ، فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ
كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّيْنِ
“Hati-hatilah kalian dari sikap
ghuluw di dalam agama, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena
ghuluw di dalam agama.” (HR. Ahmad, dalam al-Musnad, 1/215 dan 347, Ibnu Majah no. 3064,
an-Nasa’i )
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t (al-Iqtidha, 1/289—290) mengatakan, ”(Makna)
hadits ini adalah umum mencakup segala macam ghuluw, baik di dalam i’tiqad
(keyakinan) maupun amalan-amalan.”
Beliau
menyebutkan alasan menjauhi langkah orang-orang sebelum kita adalah agar tidak
terjatuh pada perkara yang menyebabkan kebinasaan, dan bahwa mengikuti mereka
pada sebagian ciri mereka dikhawatirkan akan menyebabkan tertimpa kebinasaan.
III. Hukum Ghuluw
Allah
berfirman,
قُلْ
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلاَ تَتَّبِعُواْ
أَهْوَاء قَوْمٍ قَدْ ضَلُّواْ مِن قَبْلُ وَأَضَلُّواْ كَثِيرًا وَضَلُّواْ عَن سَوَاء
السَّبِيلِ
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab,
janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam
agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat
dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan
(manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus". (QS.Al Maidah : 77 )
Ayat
serupa disebutkan pula dalam firman Allah ta’ala dalam surat An Nisa: 171.
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ وَلاَ تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ
إِلاَّ الْحَقِّ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللّهِ وَكَلِمَتُهُ
أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِّنْهُ فَآمِنُواْ بِاللّهِ وَرُسُلِهِ وَلاَ تَقُولُواْ
ثَلاَثَةٌ انتَهُواْ خَيْرًا لَّكُمْ إِنَّمَا اللّهُ إِلَـهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ
أَن يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَات وَمَا فِي الأَرْضِ وَكَفَى بِاللّهِ
وَكِيلاً
Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu
melampaui batas dalam agamamu [383], dan janganlah kamu mengatakan terhadap
Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, 'Isa putera Maryam itu, adalah
utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya [384] yang
disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya [385]. Maka
berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan
: "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik
bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai
anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah
menjadi Pemelihara.(QS,An
Nisaa: 171 )
K e
t e r a n g a n :
[383]
Maksudnya : janganlah kamu mengatakan Nabi 'Isa u itu Allah, sebagai yang
dikatakan oleh orang-orang Nasrani. [384] Lihat not 193. [385] Disebut tiupan
dari Allah karena tiupan itu berasal dari perintah Allah.
Imam
Al Qurthubi menegaskan dengan ayat di atas, Allah mengharamkan sikap
ghuluw di atas. Sedangkan ghuluw itu sendiri adalah melampaui batas. Dia
mencontohkan, bahwa di antara bentuk ghuluw seperti sikap ghuluwnya
orang-orang Yahudi terhadap Maryam binti Imran yang sampai - sampai
menuduhnya berzinah. Sebaliknya juga sikap ghuluw-nya orang-orang
Nashrani terhadap dia (Maryam) sehingga menganggapnya sebagai Tuhan.
Ibnu
Katsir menambahkan banyak golongan lain yang menuruti jejak orang-orang
Nashrani tersebut. Di mana mereka bersikap ghuluw terhadap
pemimpin-pemimpin yang dianggap berkompeten dalam urusan agamanya, yang
kemudian mereka yakini sebagai yang ma'shum.
Ucapan
merekapun diikuti, baik itu benar maupun
salah, baik berpedoman (pada yang haq) maupun yang sesat, baik jujur
maupun dusta!
Sementara
dalam hadits Ibnu Abbas disebutkan, bahwa Rasulullah bersabda, Wahai
manusia, waspadalah kamu sekalian terhadap ghuluw di dalam Islam. Sesungguhnya
yang membinasakan umat-umat sebelum kamu hanyalah sikap ghuluw dalam agama
mereka.
IV.Dasar Hukum/Dalil
Tentang Larangan Berbuat Ghuluw
Adanya
larangan untuk berbuat ghuluw terhadap nabi, para sahabat,para Imam , para wali
Allah, syaikh, ulama, tuan guru dan orang-orang shalih merupakan ketentuan
syari’at yang mempunyai dasar/landasan hukum sebagai dalil yang syar’I, bukan
karena pertimbangan akal semata. Dalil tersebut ada di dalam al-Qur’an dan
as-Sunnah.
1.Dalil dalam al-Qur’an
a.Firman
Allah ta’ala :
Allah ta’ala berfirman :
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ وَلاَ
تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ إِلاَّ الْحَقِّ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ
رَسُولُ اللّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِّنْهُ فَآمِنُواْ
بِاللّهِ وَرُسُلِهِ وَلاَ تَقُولُواْ ثَلاَثَةٌ انتَهُواْ خَيْرًا لَّكُمْ إِنَّمَا
اللّهُ إِلَـهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَن يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَات
وَمَا فِي الأَرْضِ وَكَفَى بِاللّهِ وَكِيلاً
Wahai
Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu [383], dan janganlah
kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, 'Isa
putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya
[384] yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya
[385]. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu
mengatakan : "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu)
lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari
mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya.
Cukuplah Allah menjadi Pemelihara.(QS. An Nisaa : 171 )
________________________________________
[383] Maksudnya : janganlah kamu mengatakan Nabi
'Isa u itu Allah, sebagai yang dikatakan oleh orang-orang Nasrani.
[384] Lihat not 193.
[385] Disebut tiupan dari Allah karena tiupan itu
berasal dari perintah Allah.
b .Firman
Allah ta’ala :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُحَرِّمُواْ طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللّهُ لَكُمْ
وَلاَ تَعْتَدُواْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu,
dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas.(QS.Al Maidah : 87)
c. firman Allah dalam al-Qur’an surah at-Taubah ayat
31 :
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا
مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ
إِلَـهًا وَاحِدًا لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Mereka
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain
Allah [639] dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal
mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.(Qs.At
Taubah:31)
K e t e r a n
g a n :
[639] Maksudnya: mereka mematuhi ajaran-ajaran
orang-orang alim dan rahib-rahib mereka dengan membabi buta, biarpun
orang-orang alim dan rahib-rahib itu menyuruh membuat maksiat atau mengharamkan
yang halal.
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan
rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah[639] dan (juga mereka
mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah
Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci
Allah dari apa yang mereka persekutukan.”
d.Allah ta’ala berfirman :
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ وَلاَ
تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ إِلاَّ الْحَقِّ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ
رَسُولُ اللّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِّنْهُ فَآمِنُواْ
بِاللّهِ وَرُسُلِهِ وَلاَ تَقُولُواْ ثَلاَثَةٌ انتَهُواْ خَيْرًا لَّكُمْ إِنَّمَا
اللّهُ إِلَـهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَن يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَات
وَمَا فِي الأَرْضِ وَكَفَى بِاللّهِ وَكِيلاً
Wahai
Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu [383], dan janganlah
kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, 'Isa
putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya
[384] yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya
[385]. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu
mengatakan : "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu)
lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari
mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya.
Cukuplah Allah menjadi Pemelihara.(QS. An Nisaa : 171 )
________________________________________
[383] Maksudnya : janganlah kamu mengatakan Nabi
'Isa u itu Allah, sebagai yang dikatakan oleh orang-orang Nasrani.
[384] Lihat not 193.
[385] Disebut tiupan dari Allah karena tiupan itu
berasal dari perintah Allah.
1.5.
Allah berfirman,
قُلْ
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلاَ تَتَّبِعُواْ
أَهْوَاء قَوْمٍ قَدْ ضَلُّواْ مِن قَبْلُ وَأَضَلُّواْ كَثِيرًا وَضَلُّواْ عَن سَوَاء
السَّبِيلِ
Katakanlah:
"Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan
cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka
telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang
lurus". (QS.Al Maidah : 77
e. firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam al-Qur’an
surah Hud : 112 :
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَن
تَابَ مَعَكَ وَلاَ تَطْغَوْاْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Maka
tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan
(juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
(QS.Huud:112)
f.Firman Allah ta’ala :
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا
مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ
إِلَـهًا وَاحِدًا لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Mereka
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain
Allah [639] dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal
mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.(QS.At
Taubah : 31 )
K
e t e r a n g a n :
[639] Maksudnya: mereka mematuhi ajaran-ajaran
orang-orang alim dan rahib-rahib mereka dengan membabi buta, biarpun
orang-orang alim dan rahib-rahib itu menyuruh membuat maksiat atau mengharamkan
yang halal.
2.Dalil Dari As- Sunnah
a.
Hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad Rasullullah shallallahu’alahi wa
sallam bersabda :
حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ قَالَ زَعَمَ الزُّهْرِيُّ عَنْ عُبَيْدِ
اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ
عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلَام
فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
“Telah
menceritakan kepada kami Husyaim dia berkata; Az Zuhri telah menganggap
(meriwayatkan) dari 'Ubaidillah Bin Abdullah Bin 'Utbah Bin Mas'ud dari Ibnu
Abbas dari Umar bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Janganlah kalian mengkultuskan aku sebagaimana orang-orang Nasrani
mengkultuskan Isa Bin Maryam, aku hanyalah hamba Allah dan Rasul-Nya.”
b.
Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ عَنْ حَمَّادِ
بْنِ سَلَمَةَ عَنْ حُمَيْدٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ
مَا كَانَ شَخْصٌ أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانُوا إِذَا رَأَوْهُ لَمْ يَقُومُوا لِمَا
يَعْلَمُوا مِنْ كَرَاهِيَتِهِ لِذَلِكَ
“Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman
bin Mahdi dari Hammad bin Salamah dari Humaid dari Anas, ia berkata;
"Tidak seorangpun dari mereka yang lebih dicintainya selain Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam, namun jika mereka melihat beliau, mereka tidak
berdiri karena mereka tahu beliau tidak menyukai hal itu."(HR. Ahmad
dan At-Timidzi )
c.Hadits
diriwayatkan oleh Imam Bukhari Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda :
صحيح البخاري ٣١٨٩: حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ حَدَّثَنَا
سُفْيَانُ قَالَ سَمِعْتُ الزُّهْرِيَّ يَقُولُ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ
عَبْدِ اللَّهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ سَمِعَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ عَلَى
الْمِنْبَرِ
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا
عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
Shahih Bukhari 3189: dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhua bahwa dia mendengar 'Umar
radliallahu 'anhum berkata di atas mimbar, "Aku mendengar Nabi shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah kalian melampaui batas dalam
memujiku (mengkultuskan) sebagaimana orang Nashrani mengkultuskan 'Isa bin
Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka itu katakanlah 'abdullahu wa
rasuuluh (hamba Allah dan utusan-Nya").
d. Hadits diriwayatkan
oleh Imam Ahmad Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :
مسند أحمد ٣٠٧٨: حَدَّثَنَا يَحْيَى وَإِسْمَاعِيلُ الْمَعْنَى
قَالَا حَدَّثَنَا عَوْفٌ حَدَّثَنِي زِيَادُ بْنُ حُصَيْنٍ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ
الرِّيَاحِيِّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ يَحْيَى لَا يَدْرِي عَوْفٌ عَبْدُ اللَّهِ
أَوْ الْفَضْلُ قَالَ
قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
غَدَاةَ الْعَقَبَةِ وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى رَاحِلَتِهِ هَاتِ الْقُطْ لِي فَلَقَطْتُ
لَهُ حَصَيَاتٍ هُنَّ حَصَى الْخَذْفِ فَوَضَعَهُنَّ فِي يَدِهِ فَقَالَ بِأَمْثَالِ
هَؤُلَاءِ مَرَّتَيْنِ وَقَالَ بِيَدِهِ فَأَشَارَ يَحْيَى أَنَّهُ رَفَعَهَا وَقَالَ
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي
الدِّينِ
Musnad Ahmad 3078: dari Ibnu Abbas. Yahya berkata; 'Auf tidak tahu itu Abdullah atau Al
Fadlal, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadaku
di pagi hari Aqabah, sedangkan saat itu beliau duduk di atas unta beliau:
"Ambilkan kerikil untukku." Maka aku pun memungutkan kerikil untuk
beliau gunakan melempar jumrah. Kemudian beliau meletakkan kerikil itu di tangannya,
lalu beliau bersabda: "Seperti mereka." beliau mengucapkan dua kali.
Ia Yahya mengatakan; Dengan tangannya, lalu Yahya mengisyaratkan bahwa beliau
mengangkatnya. Beliau bersabda: "Janganlah kalian berlaku ghuluw (sikap
berlebih-lebihan), karena sesungguhnya kebinasaan orang-orang sebelum kalian
adalah karena bersikap ghuluw dalam agama."
V.Bahaya Sifat Ghuluw
Sebagaimana
pembahasan di atas, ghuluw dalam agama merupakan perkara yang sangat dibenci
karena akan mengakibatkan kerusakan agama, diri, dan masyarakat. Di antara bahaya dan
kerusakan dari sifat ghuluw ini adalah:
Pertama,
melanggar larangan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, sebagaimana larangan Allah subhanahu
wa ta’ala yang ditujukan kepada Yahudi
dan Nasrani, namun pada hakikatnya larangan tersebut untuk seluruh umat.
Sebagaimana firman-Nya:
يَا
أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ وَلاَ تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ إِلاَّ
الْحَقِّ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا
إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِّنْهُ فَآمِنُواْ بِاللّهِ وَرُسُلِهِ وَلاَ تَقُولُواْ ثَلاَثَةٌ
انتَهُواْ خَيْرًا لَّكُمْ إِنَّمَا اللّهُ إِلَـهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَن يَكُونَ
لَهُ وَلَدٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَات وَمَا فِي الأَرْضِ وَكَفَى بِاللّهِ وَكِيلاً
Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu
melampaui batas dalam agamamu [383], dan janganlah kamu mengatakan terhadap
Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, 'Isa putera Maryam itu, adalah
utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya [384] yang
disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya [385]. Maka
berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan
: "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik
bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai
anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah
menjadi Pemelihara.(QS.An
Nisaa : 171 )
K e
t e r a n g a n :
[383]
Maksudnya : janganlah kamu mengatakan Nabi 'Isa u itu Allah, sebagai yang
dikatakan oleh orang-orang Nasrani. [384] Lihat not 193. [385] Disebut tiupan
dari Allah karena tiupan itu berasal dari perintah Allah.
Firman
Allah ta’ala :
قُلْ
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلاَ تَتَّبِعُواْ
أَهْوَاء قَوْمٍ قَدْ ضَلُّواْ مِن قَبْلُ وَأَضَلُّواْ كَثِيرًا وَضَلُّواْ عَن سَوَاء
السَّبِيلِ
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab,
janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam
agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat
dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan
(manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus".(QS. Al Maidah : 77 )
Rasulullah
n bersabda:
إِيَّاكُمْ وَاْلغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ
“Hati-hatilah kalian dari sikap
ghuluw di dalam agama.”
(HR. Ahmad, 1/215 dan 437, an-Nasa’i no. 3057, Ibnu Majah no. 3029, serta
disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani sebagaimana di atas)
Kedua,
ghuluw telah membinasakan umat-umat terdahulu. Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam, bersabda sebagaimana telah
disebutkan di atas:
فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّيْنِ
“Maka sesungguhnya orang-orang sebelum kalian
binasa disebabkan ghuluw di dalam agama.”
Ketiga,
ghuluw merupakan jembatan menuju kekufuran dan kesyirikan kepada Allah l.
Asy-Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab rahimahullahG, di dalam kitabnya at-Tauhid, menulis sebuah judul “Di Antara
Sebab-Sebab Kekufuran Bani Adam dan Sikap Meninggalkan Agama oleh Mereka,
adalah Berlebih-lebihan dalam Menyikapi Orang-Orang Saleh.” Di dalam Masa’il
al-Jahiliah beliau juga menyebutkan, “Masalah ketiga belas (sebagai ciri
kehidupan jahiliah): berlebih-lebihan dalam menyikapi ulama dan orang-orang saleh.”
Keempat,
ghuluw merupakan asas tunggal kesyirikan orang-orang musyrik jahiliah serta
kekufuran orang-orang Yahudi dan Nasrani berikut kesesatan firqah-firqah yang
ada di tengah-tengah kaum muslimin.
Kelima,
ghuluw akan mengangkat orang yang dikultuskan hingga mencapai martabat yang
sangat tinggi atau menghinakannya hingga ke martabat yang sangat rendah.
Keenam,
ghuluw akan mengantarkan kepada penyembahan yang dipuja-puja.
Ketujuh,
ghuluw akan menghalangi atau melalaikan (seseorang) untuk mengagungkan Allah subhanahu
wa ta’ala ,
Kedelapan,
ghuluw akan menimbulkan keangkuhan dan kesombongan orang yang dikultuskan.
(lihat sebagian faedah dalam al-Qaulul Mufid, 1/469)
VI.Bersikap Ghuluw
Terhadap Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam
Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas dalam Syarah Aqidah Ahlus Dunnah Wa Jama’ah dalam bab tentang Wajibnya Men cintai dan Mengagungkan Nabi
Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam serta Larangan Ghuluw (berlebih-lebihan) menyebutkan
bahwa Pertama-tama, wajib bagi setiap
hamba mencintai Allah dan ini merupakan bentuk ibadah yang paling agung. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمِنَ
النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللّهِ أَندَاداً يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللّهِ
وَالَّذِينَ آمَنُواْ أَشَدُّ حُبًّا لِّلّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُواْ
إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلّهِ جَمِيعاً وَأَنَّ اللّهَ
شَدِيدُ الْعَذَابِ
Dan
diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain
Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada
Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu
[106] mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan
itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya
mereka menyesal).(QS.Al Baqarah:165)
K e t e r a n g a n :
[106] Yang
dimaksud dengan orang yang zalim di sini ialah orang-orang yang menyembah
selain Allah.
Ahlus
Sunnah mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengagungkannya
sebagaimana para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum mencintai beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam lebih dari kecintaan mereka kepada diri dan anak-anak mereka,
sebagai-mana yang terdapat dalam kisah ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu
‘anhu, yaitu sebuah hadits dari Sahabat ‘Abdullah bin Hisyam Radhiyallahu
‘anhu, ia berkata:
صحيح البخاري
٦١٤٢: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سُلَيْمَانَ قَالَ حَدَّثَنِي ابْنُ وَهْبٍ قَالَ أَخْبَرَنِي
حَيْوَةُ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو عَقِيلٍ زُهْرَةُ بْنُ مَعْبَدٍ أَنَّهُ سَمِعَ جَدَّهُ
عَبْدَ اللَّهِ بْنَ هِشَامٍ قَالَ
كُنَّا مَعَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ آخِذٌ بِيَدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ
فَقَالَ لَهُ عُمَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ
إِلَّا مِنْ نَفْسِي فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا وَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ
فَإِنَّهُ الْآنَ وَاللَّهِ لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي فَقَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْآنَ يَا عُمَرُ
Shahih
Bukhari 6142: Abdullah bin Hisyam
menuturkan; kami pernah bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang saat itu
beliau menggandeng tangan Umar bin Khattab, kemudian Umar berujar: "ya
Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala-galanya selain diriku
sendiri." Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak, demi
Dzat yang jiwa berada di Tangan-Nya, hingga aku lebih engkau cintai daripada
dirimu sendiri." Maka Umar berujar; 'Sekarang demi Allah, engkau lebih aku
cintai daripada diriku'. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"sekarang (baru benar) wahai Umar."
Berdasarkan
hadits di atas, maka mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
wajib dan harus didahulukan daripada kecintaan kepada segala sesuatu selain
kecintaan kepada Allah, sebab mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah mengikuti sekaligus keharusan dalam men-cintai Allah. Mencintai
Rasulullah adalah cinta karena Allah. Ia bertambah dengan bertambahnya
kecintaan kepada Allah dalam hati seorang mukmin, dan berkurang dengan
berkurangnya kecintaan kepada Allah.
Orang yang
beriman akan merasakan manisnya iman apabila hanya Allah dan Rasul-Nya yang
paling ia cintai.
Disebutkan
pula oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas bahwa :Ahlus Sunnah wal Jama’ah
sepakat tentang wajibnya mencintai dan mengagungkan Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam melebihi kecintaan dan pengagungan terhadap seluruh makhluk
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi dalam mencintai dan mengagungkan beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak boleh melebihi apa yang telah ditentukan
syari’at, karena bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam seluruh perkara agama
akan menye-babkan kebinasaan.
Orang-orang
di masa kini banyak kita temui dengan dalih cinta kepada Rasullullah
shallallahu’alaihi wa sallam mengamalkan bershalawat kepada beliau shallallahu’alaihi
wa sallam secara rutin dengan menggunakan bacaan shalawat berdasarkan tuntunan
Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam,melainkan bershalawat dengan
syair-syair yang dikarang oleh
ulama-ulama sedangkan isi shalawat tersebut sangat berlebihan menyanjung dan
mengangkat kedudukan Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam menyamai
kedudukan Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka menyerupai orang Nasrani dalam
sifat ghuluw mereka berikut kesyirikannya. Mereka terjatuh pada perkara yang
jelas-jelas dilarang. Mereka menampakkan sikap ghuluw terhadap beliau shallallahu’alaihi wa
sallam dan menampakkan kesyirikannya,
seperti dalam lantunan bait-bait syair yang disusun oleh ulama.
Syair-syair yang dimaksud
antara lain yang disusun oleh al-Bushiri
dan ucapan kufurnya dalam qashidah-nya al-Burdah ketika (dia seolah) mengajak
berbicara kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Dimana isi syair
tersebut antara lain:
Wahai semulia-mulia makhluk Siapa lagi tempat aku berlindung selainmu
Ketika terjadinya malapetaka yang menyeluruh
Jika engkau tidak menyelamatkan tanganku pada hari kiamat
Sebagai keutamaan darimu maka katakanlah, wahai orang yang tergelincir
kakinya
sesungguhnya termasuk dari kedermawananmu adalah dunia dan akhirat
Dan termasuk ilmumu adalah ilmu al-Lauh (catatan takdir) dan al-Qalam (pena
penulis takdir)
Begitu juga shalawat Nariyah yang
begitu terkenal oleh banyak kaum muslimin yang dijadikan amalan rutin
membacanya setiap kesempatan karena shalawat tersebut dipercaya mempunyai
khasiat yang luar biasa.Shalawat jenis ini banyak tersebar dan diamalkan di
kalangan kaum muslimin. Bahkan ada yang menuliskan lafadznya di sebagian
dinding masjid. Mereka berkeyakinan, siapa yang membacanya 4444 kali, hajatnya
akan terpenuhi atau akan dihilangkan kesulitan yang dialaminya. Berikut nash
shalawatnya:
اللَّهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً
وَسَلِّمْ سَلاَمًا تَامًّا عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الَّذِيْ تُنْحَلُ بِهَ الْعُقَدُ
وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ
وَحُسْنُ الْخَوَاتِيْمِ وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَعَلىَ
آلِهِ وَصَحْبِهِ عَدَدَ كُلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ
“Ya Allah, berikanlah shalawat yang sempurna
dan salam yang sempurna kepada Baginda kami Muhammad yang dengannya terlepas
dari ikatan (kesusahan) dan dibebaskan dari kesulitan. Dan dengannya pula
ditunaikan hajat dan diperoleh segala keinginan dan kematian yang baik, dan
memberi siraman (kebahagiaan) kepada orang yang sedih dengan wajahnya yang
mulia, dan kepada keluarganya, para shahabatnya, dengan seluruh ilmu yang
engkau miliki.”
Muhammad Jamil Zainu dalam Minhaj Al-Firqatin Najiyah berkata :”Ada
beberapa hal yang perlu dijadikan catatan kaitannya dengan shalawat ini:
1- Sesungguhnya aqidah tauhid
yang diseru oleh Al Qur’anul Karim dan yang diajarkan kepada kita dari
Rasulullah shallallahu laiahi wasallam, mengharuskan setiap muslim untuk
berkeyakinan bahwa Allah-lah satu-satunya yang melepaskan ikatan (kesusahan),
membebaskan dari kesulitan, yang menunaikan hajat, dan memberikan manusia apa
yang mereka minta.
Tidak diperbolehkan bagi seorang
muslim berdo’a kepada selain Allah untuk menghilangkan kesedihannya atau
menyembuhkan penyakitnya, walaupun yang diminta itu seorang malaikat yang dekat
ataukah nabi yang diutus. Telah disebutkan dalam berbagai ayat dalam Al Qur’an
yang menjelaskan haramnya meminta pertolongan, berdo’a, dan semacamnya dari
berbagai jenis ibadah kepada selain Allah Azza wajalla. Firman Allah:
قُلِ ادْعُوا الَّذِيْنَ زَعَمْتُمْ
مِنْ دُوْنِهِ فَلاَ يَمْلِكُوْنَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنْكُمْ وَلاَ تَحِْويْلاً
“Katakanlah:
‘Panggillah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah. Maka mereka
tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak pula
memindahkannya.” (Al-Isra: 56)
Para ahli tafsir menjelaskan
bahwa ayat ini turun berkenaan dengan segolongan kaum yang berdo’a kepada Al
Masih ‘Isa, atau malaikat, ataukah sosok-sosok yang shalih dari kalangan jin.
(Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/47-48)
2- Bagaimana mungkin Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam rela dikatakan bahwa dirinya mampu melepaskan
ikatan (kesulitan), menghilangkan kesusahan, dsb, sedangkan Al Qur’an menyuruh
beliau untuk berkata:
قُلْ لاَ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعاً
وَلاَ ضَرًّا إِلاَّ مَا شَاءَ اللهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاَسْتَكْثَرْتُ
مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوْءُ إِنْ أَنَا إِلاَّ نَذِيْرٌ وَبَشِيْرٌ لِقَوْمٍ
يُؤْمِنُوْنَ
“Katakanlah:
‘Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak
kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang
ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan
ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa
berita gembira bagi orang-orang yang beriman’.” (Al-A’raf: 188)
Seorang laki-laki datang kepada
Nabi shallallahu alaihi wasallam, lalu mengatakan, “Berdasarkan kehendak Allah
dan kehendakmu”. Maka beliau bersabda:
أَجَعَلْتَنِيْ للهِ نِدًّا؟ قُلْ مَا
شَاءَ اللهُ وَحْدَهُ
“Apakah
engkau hendak menjadikan bagi Allah sekutu? Ucapkanlah: Berdasarkan kehendak
Allah semata.” (HR. An-Nasai dengan sanad
yang hasan)
Ustadz Ammi Nur
Baits dalam artikelnya tentang syirik dalam shalawat Nariyah mengemukakan bahwa
Pertama, pada shalawat ini terdapat beberapa lafadz yang maknanya telah
melanggar pengertian syirik di atas. Lafadz tersebut adalah:
تـُــنْحَلُ بِهِ
العُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الحَوَائِجُ وَ تُنَالُ بِهِ
الرَّغَائِبُ
Rincian:
(تنحل به العقد)
1.Segala
ikatan dan kesulitan bisa lepas karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
(وتنفرج به الكرب)
2. Segala
bencana bisa tersingkap dengan adanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
(وتقضى به الحوائج)
3.Segala
kebutuhan bisa terkabulkan karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
(و تنال به
الرغائب)
4.Segala
keinginan bisa didapatkan dengan adanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
Empat
kalimat di atas merupakan pujian yang ditujukan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika kita perhatikan, empat
kemampuan di atas merupakan kemampuan yang hanya dimiliki oleh Allah dan tidak
dimiliki oleh makhluk-Nya siapa pun orangnya. Karena yang bisa menghilangkan
kesulitan, menghilangkan bencana, memenuhi kebutuhan, dan mengabulkan keinginan
serta doa hanyalah Allah.
Seorang
Nabi atau bahkan para malaikat tidak memiliki kemampuan dalam hal ini. Oleh
karena itu, ketika pujian-pujian ini ditujukan kepada selain Allah (termasuk
kepada Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam)
maka berarti telah menyamakan makhluk tersebut dengan Allah dalam perkara yang
menjadi hak khusus bagi Allah. Cukuplah kita ingat firman Allah yang
memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengatakan:
قُلْ إِنِّي لَا
أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلَا رَشَدًا
“Katakanlah (wahai Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam): Aku
tidak memiliki kemampuan untuk menghindarkan kalian dari bahaya dan tidak pula
mampu memberi kebaikan pada kalian.” (QS. Al-Jin:
21)
Dalam ayat yang lain, Allah juga
menegaskan:
قُلْ لَا أَمْلِكُ
لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ
الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا
إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Katakanlah (wahai Muhammad), aku tidak mampu memberikan manfaat
maupun menimpakan bahaya untuk diriku, selain apa yang dikehendaki Allah.
Andaikan aku tahu hal yang gaib, tentu aku akan memperbanyak untuk mendapatkan
kebaikan dan tidak mungkin ada bencana yang menimpaku. Aku hanyalah pemberi
peringatan dan pemberi kabar gembira bagi kaum yang beriman.” (QS.
Al-A’raf: 188)
Itulah
pengakuan beliau yang sesuai dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Artinya, beliau sama sekali tidak
memiliki sifat-sifat ketuhanan. Beliau sama sekali tidak memiliki kemampuan
sebagaimana yang dimiliki Allah, seperti mengabulkan doa atau menghilangkan
bencana.
Bukankah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri juga pernah mengatakan kepada
Fatimah, “Wahai Fatimah, lakukanlah apa yang kamu inginkan, (namun ingat)
saya tidak mampu melindungimu dari (adzab) Allah sedikit pun.” (HR.
Al Bukhari dan Muslim).
Bahkan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak bisa menghalangi
keburukan dan kondisi kekurangan yang menimpa beliau dan para sahabat.
Sebagaimana disebutkan dalam sejarahperjalanan beliau, bahwasanya beliau pernah
terluka ketika Perang Uhud, kaki beliau berdarah-darah karena dilempari
orang-orang kafir, beliau merasakan lapar hingga perut beliau
diganjal dengan dua batu, beliau pernah jatuh dari kendaraan, beliau pernah
tersihir dan masih banyak bencana dan kesulitan yang beliau alami ketika
berdakwah.
Jika
beliau sendiri tidak mampu menyelamatkan diri beliau sendiri dari segala bentuk
kesulitan, bagaimana mungkin diri beliau bisa menyelamatkan orang lain dari
kesulitan. Semua ini terjadi karena beliau adalah seorang hamba dan manusia
biasa. Hanya saja perintah dan larangan beliau ditaati karena kedudukan beliau
sebagai seorang utusan Allah Ta’ala.
Kedua, dalam shalawat ini terdapat pujian yang berlebihan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Sementara
pujian berlebihan kepada beliau merupakan salah satu sikap yang dilarang keras
oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Suatu
ketika ada seorang sahabat memuji Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengatakan: “Engkau adalah
manusia terbaik di antara kami, putra dari manusia terbaik kami,…” kemudian
beliau bersabda, “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana
orang-orang Nasrani berlebih-lebihan dalam memuji Nabi Isa ‘alaihi wa sallam. Aku hanyalah seorang hamba, maka
sebutlah Aku: Hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh
Syaikh Syu’aib Al Arnauth).
Jika
pujian semacam ini dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal di sana tidak mengandung
ungkapan kesyirikan, maka bagaimana lagi dengan pujian yang mengandung
kalimat-kalimat kesyirikan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai manusia, hati-hatilah kalian (jangan sampai) melakukan
ghuluw (bersikap berlebihan) dalam beragama. Karena sesungguhnya sikap ini
telah menghancurkan umat-umat sebelum kalian.” (HR. Ibn Majah dan
dishahihkan Syaikh Al Albani).
Ketiga, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengajarkan bentuk
shalawat semacam ini.
Shalawat
yang beliau ajarkan adalah shalawat yang sering dibaca ketika shalat pada saat duduk tasyahud.
Dalam
sebuah hadis riwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim, Dari sahabat Ka’ab bin
‘Ujrahradhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Wahai
Rasulullah, Allah telah mengajari kami bagaimana cara memberi salam kepadamu,
tapi bagaimanakah cara memberikan shalawat kepadamu?” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bacalah:
اللَّهُمَّ صَلِّ
عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ
، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ،
اللَّهُمَّ بَارِكْ
عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ،
إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
Dari hadis di atas dapat disimpulkan
bahwa shalawat ini adalah shalawat terbaik, dengan ditinjau dari beberapa sisi:
-
Shalawat ini diajarkan langsung oleh Nabi kepada sahabat yang bertanya tentang
shalawat. Padahal setiap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang masalah agama, maka
beliau akan memberikan jawaban terbaik sesuai dengan apa yang Allah ajarkan.
-
Dzahir hadis menunjukkan bahwa sebelumnya sahabat tidak tahu cara bershalawat,
kemudian baru diajari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini menunjukkan bahwa shalawat
tersebut adalah cara bershalawat kepada beliau yang ditetapkan oleh syariat
Islam. Oleh karena itu, orang yang membaca shalawat yang tidak diajarkan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dikhawatirkan sudah dianggap telah
mengganti ajaran beliau dengan ajaran yang lain.
-
Shalawat ini dibaca pada saat shalat. ini men
Asy-Syaikh Muhammad bin
Shalih al-‘Utsaimin mengatakan, “Sikap berlebih-lebihan mereka melebihi
orang Nasrani. Orang Nasrani mengatakan, ‘Isa adalah anak Allah’ dan
‘Sesungguhnya Allah adalah yang ketiga dari yang tiga’.” (al-Qaulul Mufid,
1/81)
Demikianlah setan menampakkan kesyirikan yang besar di hadapan mereka sebagai
bentuk cinta kepada Rasul shallallahu’alaihi wa sallam dan pengagungan
kepadanya, serta menampakkan ketauhidan dan keikhlasan (seolah-olah) sebagai
bentuk mengurangi serta meremehkan beliau.” (Fathul Majid, 1/381)
Ustadz
Yazid bin Abdul Qadir Jawas mengemukan bahwa Sebuah hadits dari Anas :
Anas bin Malik Radhiyallahu a’nhu
berkata, “Sebagian orang berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, wahai orang
yang terbaik di antara kami dan putera orang yang terbaik di antara kami! Wahai
sayyid kami dan putera sayyid kami!’ Maka seketika itu juga Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Wahai manusia, ucapkanlah dengan
yang biasa (wajar) kalian ucapkan! Jangan kalian terbujuk oleh syaithan, aku
(tidak lebih) adalah Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak suka kalian
mengangkat (menyanjung)ku di atas (melebihi) kedudukan yang telah Allah berikan
ke-padaku.”
Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci jika orang-orang memujinya dengan
berbagai ungkapan seperti: “Engkau adalah sayyidku, engkau adalah orang yang
terbaik di antara kami, engkau adalah orang yang paling utama di antara kami,
engkau adalah orang yang paling agung di antara kami.” Padahal sesungguhnya
beliau adalah makhluk yang paling utama dan paling mulia secara mutlak.
Meskipun demikian, beliau melarang mereka agar menjauhkan mereka dari sikap
melampaui batas dan berlebih-lebihan dalam menyanjung hak beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam, juga untuk menjaga kemurnian tauhid. Selanjutnya beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan mereka agar menyifati beliau dengan
dua sifat yang merupakan derajat paling tinggi bagi hamba yang di dalamnya
tidak ada ghuluw serta tidak membahayakan ‘aqidah. Dua sifat itu adalah
‘Abdullaah wa Rasuuluh (hamba dan utusan Allah).
Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka disanjung melebihi dari apa yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala berikan dan Allah ridhai. Tetapi banyak manusia yang
melanggar larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, sehingga mereka
berdo’a kepadanya, meminta pertolongan kepadanya, bersumpah dengan namanya
serta meminta kepadanya sesuatu yang tidak boleh diminta kecuali kepada Allah.
Hal itu sebagaimana yang mereka lakukan ketika peringatan maulid Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam kasidah atau nasyid, di mana mereka tidak
membedakan antara hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hak Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
VII. Bersikap Ghuluw
Kepada Ulama dan Orang-Orang Shalih
Mencintai dan memuliakan sesama
muslim merupakan perintah syari’at yang mulia ini. Terlebih kepada orang-orang
shalih dan ulama. Allah menyepadankan persaksian mereka dengan persaksian
Diri-Nya, dan mereka adalah teman yang terbaik. Tetapi perlakuan ini harus
dalam koridor yang benar dan proporsional, tidak ghuluw atau berlebih-lebihan.
Sebab mereka adalah manusia biasa, tidak memiliki kemaksuman seperti para nabi
dan tidak pula memiliki sifat ketuhanan.
Hal
ini perlu ditegaskan lantaran gejala atau praktek ghuluw ini masih terus
menggelayuti sebagian masyarakat. Ada yang mempunyai persepsi bahwa ulama itu
tidak mungkin keliru.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At-Tamimi dalam
kitab beliau “Prilaku & Akhlak Jahilliyah “ memuat masalah ke 13 dibawah
judul mereka bersikap ghuluw kepada ulama dan orang shalih mengatakan bahwa orang-orang jahilliyah mereka telah
berbuat ghuluw terhadap pribadi-pribadi tertentu ,yakni dengan mengangkat
mereka dari kedudukannya. Sampai-sampai pada tingkatan menjadikan mereka
sebagai sembahan bersama Allah . Sebagaimana orang Yahudi berbuat ghuluw kepada
Uzair, mereka berkata “ Dia adalah anak Allah “. Demikian juga perbuatan ghuluw
orang-orang orang Nasrani. Mereka menjunjung tinggi dan menyanjung Isa bin
Maryam’alaihisallam dari kedudukannya sebagai seoramng manusia biasa dan
pengemban risalah kepada derajat keuluhiyahan (sesembahan) dan mereka
berkata “ Dia adalah anak Allah “
Demikian pula dengan kaum Nabi Nuh’alaihissallam
sepeninggal beliau , mereka bersikap ghuluw kepada orang shalih, dengan membuat
gambar dan patung mereka. Kemudian mereka mengibadahinya sebagai sesembahan
selain Allah, lalu mereka mengangkat orang-orang shalih sampai kepada tingkat
uluhiyyah.Sebagaimana yang disebutkan dalam firman
Allah subhanahu wa ta’ala :
وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا
وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا
Dan
mereka berkata: "Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan)
tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan)
wadd, dan jangan pula suwwa', yaghuts, ya'uq dan nasr[1521]".(QS.Nuh
: 23 )
K e t e r a n g a n
:
[1521] Wadd, Suwwa', Yaghuts, Ya'uq dan Nasr adalah
nama-nama berhala yang terbesar pada qabilah-qabilah kaum Nuh.
Berdasar ayat diatas mereka telah menjadikan
orang-orang shalih tersebut sebagai sesembahan. Dan demikian juga selain mereka
dari kelompok kelompok kaum musyrikin sampai hari ini. Mereka telah bersikap
ghuluw kepada orang-orang shalih dengan melakukan tawaf di kiburan mereka,
menyembelihj dan bernazar untuk mereka, dan memohon pertolongan ketika dalam
keadaan sulit kepada orang yang telah mati. Mereka bersungguh-sungguh dalam
memohon kepada oarnmg-orang shalih tersebut agar memenuhi kebutuhan dan
keperluan mereka. Perbuatan ghuluw seperti ini akan menyeret para pelakunya
kepada kesyirikan.Maka tidak diperbolehkan bersikap ghuluw terhadap seluruh
makhluk dan mengangkat mereka diatas kedudukan yang btelah Allah berikan.Karena
hal ini akan menyeret kepada perbuatan menyekutukasn Allah subhanahu wa ta’ala.Demikian
pula ghuluw kepada para ulama dan ahli ibadah.
Syari’at telah melarang umat islam untuk berbuat
ghuluw kepada Rasullullah shallalahu ‘alaihi wasallam yang jelas dan nyata
sebagai nabinya tercinta umat islam, apalagi terhadap para ulama larangan itu
tentunya semakin keras.
Bersikaplah yang wajar dan hormati dan hargailah
ulama sesuai dengan kedudukannya, tidak lebih dari itu, janganlah memuji dan
menyanjung ulama melebihi kapasitasnya sebagai ulama.
Perhatikanlah bagaimana perilaku orang-orang yang fanatik kepada
madzhab. Sedangkan lainnya meyakini bahwa seorang ulama itu mampu menjamin
pengikutnya masuk surga. Lihat kitab Manaqib Syaikh Abdul Qodir Jailani. Bahkan
dikisahkan beliau mengancam malaikat Munkar dan Nakir agar tidak menyiksa pengikutnya.
Subhanallah! Begitu dalamnya mereka tercebur ke dalam jurang kesyirikan!
Itulah sekelumit fenomena ghuluw
yang terus berkembang dan diyakini sebagian masyarakat. Sikap inilah yang
menjerumuskan ke dalam kesyirikan lantaran melabeli mereka dengan sifat-sifat
ketuhanan yang hanya pantas bagi Allah.
Fenomena
ghuluw terhadap para wali, syaikh, ulama,
tuan guru, habib dan orang-orang shalih di tengah-tengah masyarakat Muslim
sangat nampak di negeri ini antara lain :
a.Sangat
Mengagungkan dan memuji Yang tidak
sesuai dengan kedudukan mereka
Banyak sekali kita jumpai bahwa
sebagian umat Islam yang sangat mengagungkan terhadap baik wali, syaikh, habib,
ulama, tuan guru dan orang shalih. Mereka beranggapan bahwa oarng yang
diagungkan dan dipuji tersebut mempunyai kelebihan dalam hal ilmu agama yang
tidak dimiliki orang lain.Mereka yang diagungkan tersebut dapat mengetahui
hal-hal yang ghaib,
Dapat menyembuhkan berbagai macam
penyakit,mempunyai karomah sehingga orang datang berbondong-bondong untuk
sekedar bertemu serta yang datang untuk
menyampaikan bermacam hajat .
Banyak
sekali diantara umat Islam yang sangat mengagung-agungkan dan memuji-muji serta
menyanjung secara berlebihan para
wali,syaikh, ulama, kiai,tuan guru dan orang-orang shalih yang mereka idolajan
dengan perkataan serta ucapan yang sangat berlebihan.Sebagai contoh mereka pada
malam-malam tertentu atau pada acara tertentu berkumpul membaca manaqib Syaikh
Abdul Qadir Jailani yang berisi puji-pujian terhadap syaikh secara berlebihan.
Begitu juga banyak sekali orang-orang yang memuji tuan guru, ulama, syaikh,
kiai dengan menceritakan hal ikhwal tentang mereka-mereka tersebut secara
berlebihan dan kadang-kadang tidak masuk diakal, seperti cerita tentang adanya
ulama yang setiap hari Jum’at shalatnya di Masjidil Haram.
Rasullullah
shallallahu’alaihi wa sallam saja sangat tidak menyukai orang-orang yang memuji
beliau .
Rasulullah
shallallahu’alahi wa sallam bersabda
dalam sebuah hadits dari ‘Umar ibnul Khaththab radhyallahu’anhu:
لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى عِيْسَى بْنِ مَرْيَمَ،
إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ
“Janganlah kalian memujiku sebagaimana
orang-orang Nasrani memuji ‘Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku adalah seorang
hamba, maka katakanlah: hamba Allah dan rasul-Nya.” (Sahih, HR. al-Bukhari
no. 3445 dan 6830, Muslim no. 1691, at-Tirmidzi no. 284)
Sabda
Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam :
سنن
الترمذي ١٠١٠: حَدَّثَنَا حُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ الْبَصْرِيُّ حَدَّثَنَا بِشْرُ
بْنُ الْمُفَضَّلِ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ ذَكْوَانَ عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذٍ
قَالَتْ
جَاءَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَخَلَ عَلَيَّ غَدَاةَ بُنِيَ
بِي فَجَلَسَ عَلَى فِرَاشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي وَجُوَيْرِيَاتٌ لَنَا يَضْرِبْنَ
بِدُفُوفِهِنَّ وَيَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مِنْ آبَائِي يَوْمَ بَدْرٍ إِلَى أَنْ قَالَتْ
إِحْدَاهُنَّ وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ
فَقَالَ
لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْكُتِي عَنْ هَذِهِ وَقُولِي
الَّذِي كُنْتِ تَقُولِينَ قَبْلَهَا
قَالَ
أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Sunan
Tirmidzi 1010: dari Ar Rubai' binti
Mu'awwidz berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menemuiku pada
pagi hari setelah saya digauli. Beliau duduk pada tempat dudukku seperti tempat
dudukmu itu dariku. Anak-anak perempuan kami memukul gendang dan menyanjung
orang-orang tua kami yang telah terbunuh pada Perang Badar. Salah seorang dari
mereka ada yang mendendangkan (syair); 'Di antara kami ada seorang Nabi yang
mengetahui hari esok hari'." Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Berhentilah (diamlah) dari ucapan itu, katakanlah sebagaimana
yang kamu ucapakan tadi."
Dari
hadits tersebut tersurat adanya larangan dari Rasullullah shallallahu’alaihi wa
sallam agar tidak memuji beliau. Rasullullah
shallallahu’alaihi wa sallam saja sangat tidak menyukai orang-orang yang memuji
beliau, lalu bagaimanakah dengan orang-orang yang memuji secara berlebihan para
wali,syaikh, tuan guru, kiai, ulama, habib dan orang shalih, tentunya lebih
terlarang lagi.
Al-hafizh Ibnu Hajar menerangkan:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari ucapan mereka hanyalah
karena mereka berlebih-lebihan dalam memuji dimana mereka mengatakan bahwa
beliau mengetahui semua ilmu ghaib. Padahal ilmu ini hanya khusus bagi Allah.
Firman-Nya:
قُل لَّا يَعْلَمُ مَن
فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ
أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di
langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan
mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. (QS. An-Naml [27]: 65)
قُل لاَّ أَمْلِكُ
لِنَفْسِي نَفْعاً وَلاَ ضَرّاً إِلاَّ مَا شَاء اللّهُ وَلَوْ كُنتُ أَعْلَمُ
الْغَيْبَ لاَسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَاْ
إِلاَّ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Katakanlah: “Aku tidak berkuasa
menarik kemanfa’atan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali
yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku
membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan.
Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi
orang-orang yang beriman“.
(QS. al-A’raf [7]: 188)
Adapun ilmu ghaib yang diketahui
beliau karena informasi dari Allah, bukannya beliau mengetahui dengan
sendirinya, seperti firman Allah:
عَالِمُ الْغَيْبِ
فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَداً* إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِن رَّسُولٍ
فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَداً
(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui
yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib
itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia
mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. (QS. al-Jin [72]: 26-27)
(Lihat Fathul Bari 9/255
cet. Darus Salam). Allahu A’lam.
b.Menta’ati, mengikuti dan mengekor kepada
ulama,tuan guru, syaikh, kiai dan orang shalih yang jadi panutan (taqlid)
Orang-orang yang berbuat ghuluw
kepada mereka yang jadi panutannya ( bertaqlid) ta’at, mengikuti dan mengekor
dengan mengikuti segala apa saja yang dikatakan atau diucapkan oleh para ulama,tuan guru, syaikh, habib dan
kiai yang mana ucapan dan perkataan
mereka tersebut tidak berlandaskan
atau bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka yang berbuat
ghuluw lebih memilih untuk menuhankan
ulama yaitu dengan mengikuti pendapat
mereka sekalipun bertentangan dengan ayat al-Qur’an atau al-Hadits.Fenomena
semacam ini banyak sekali terjadi dikalangan yang mengaku dirinya sebagai
muslim. Mereka bersikukuh kepada pendapat guru-guru mereka sekalipun
bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits . Bahkan ada dikalangan
mereka yang enggan mengaji kepada guru-guru lain. Ada tanda-tanda bahwa hanya
guru mereka yang benar dan guru lain sesat. Marilah kita berfsikap sederhana
dan yang kita tonjolkan hanyalah dalil. Siapapun yang tak punya dalil harus
ditinggalkan dan yang punya dalil harus diikuti. Ingatlah firman Allah dalam
al-Qur’an surah at-Taubah ayat 31 :
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا
مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ
إِلَـهًا وَاحِدًا لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Mereka
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain
Allah [639] dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal
mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.(Qs.At
Taubah:31)
K e t e r a n
g a n :
[639] Maksudnya: mereka mematuhi ajaran-ajaran
orang-orang alim dan rahib-rahib mereka dengan membabi buta, biarpun
orang-orang alim dan rahib-rahib itu menyuruh membuat maksiat atau mengharamkan
yang halal.
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan
rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah[639] dan (juga mereka
mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah
Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci
Allah dari apa yang mereka persekutukan.”
Maksudnya: mereka mematuhi ajaran-ajaran orang-orang
alim dan rahib-rahib mereka dengan membabi buta, biarpun orang-orang alim dan
rahib-rahib itu menyuruh membuat maksiat atau mengharamkan yang halal.
Mereka menghormati para pemimpin atau ulama melebihi
kedudukan Allah Subhanahu Wata’ala tanpa mereka sadari, dimana perintah Allah
di tinggalkan untuk taat kepada pimpin atau ulama . Bila dikatakan kepada
mereka ikutilah ayat-payat Allah atau hadits-hadits Rasul,mereka menjawab: kita
tidak mampu mengerti maksud ayat-ayat Qur’an atau dalil hadits, kita harus ikut
ulama atau tokoh –tokoh kita.
c.Mengagungkan dan mengistimewakan kedudukan
akhlul bait turunan Rasullullah ( para sayyid dan habib)
Dimata mereka yang berbuat ghuluw sangat mengagungkan
dan menghormati Orang-orang yang keturunan Arab yang bergelar sayyid dan habib
karena dianggap sebagai keturunan dari Rasullullah
shallallahu’alaihi salam.Mereka- tersebut dianggap mempunyai kedudukan yang
istimewa karenanya patut diberikan penghormatan yang berlebih, apabila tidak
maka akan menjadi kualat. Setiap bertemu dengan para sayyid dan habib
orang-orang pada berebut mencium tangan mereka untuk berebur baraqah. Apa yang
dikatakan oleh sayyid dan habib yang berkaitan dengan hal-hal agama meskipun
bertentangan dengan syari’at ( al-Qur’an dan as-Sunnah) selalu akan diikuti
d.Menjadikan kubur-kubur para wali,
syaikh,kiai,tuan guru,ulama dan habib sebagai kubur yang berkeramat untuk
ngalap berkah
Orang-orang yang berbuat ghuluw
menjadikan kubur-kubur yang dianggap wali, syaikh, tuan guru, kiai,ulama,
habib, dan orang shalih sebagai tempat yang berqaromah ( berkeramat ).Sehingga
mereka yang jahil berduyun-duyun
mendatangi kubur orang-orang yang dianggap berqaromah mencari berkah dan berdoa
menyampaikan berbagai hajat keperluan. Padalah menurut syari’at bahwa mencari
baroqah itu terbatas hanya kepada Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam
ketika beliau masih hidup, begitu juga mencari baroqah kepada orang-orang shalih
yang masih hidup dengan mengambil ilmu yang bermanfaat dari mereka dan doa
mereka . Sedangkan bertabaruk ( mencari baroqah) pada kubur-kubur yang dianggap
berqaromah dilarang oleh syari’at.
e.Bepergian (
melakukan safar ) untuk ziarah kubur
Banyak diantara
umat Muslim di seluruh Nusantara ini yang berkeyakinan bahwa makam/kuburan para
wali Allah, ulama, kiai, tuan guru dan orang-orang shalih mempunyai karomah
sehingga patut untuk diziarahi, meskipun untuk itu harus melakukan perjalanan
yang jauh yang memerlukan waktu,tenaga dan biaya. Perhatikanlah betapa banyak
hampir setiap hari kuburan wali songo didatangi ribuan penjiarah dari berbagai
daerah. Para peziarah itu mempunyai maksud-maksud untuk berdo’a di sisi kubur
wali karenalebih berkah, terkabul, menjadikan mereka wasilah (perantara) kepada
Allah, bahkan sampai meminta kepada para wali itu. Bentuk ghuluw yang sangat
nyata. Akibatnya mereka akan terjatuh ke dalam kesyirikan atau minimal
terjerembab ke dalam bid’ah.Mereka yang datang secara berombongan dengan
dipimpin seseorang ustadz membaca beramai-ramai bacaan untuk berziarah yaitu
yang diberi nama “ Salamullah Ya Sadah
“
f. Membangun masjid di
kuburan
Membangun masjid di kuburan termasuk
tindakan ghuluw, sebab ketika Ummu Habibah dan Ummu Salamah menceritakan kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang gereja yang mereka lihat di
Habasyah (Ethiopia), dan banyak gambar (patung) di dalamnya, baliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
إن أولئك إذا كان
فيهم الرجل الصالح فمات بنوا على قبره مسجدا، وصوروا فيه تلك الصور، فأولئك
شرار الخلق عند الله يوم القيامة
Mereka itu (orang Nasrani) jika ada
seorang shalih yang meninggal, mereka membangun masjid di atas kuburnya, dan
membuat gambar (patung)nya, mereka itu makhluk paling jelek di sisi Allah pada
hari kiamat.
(HR. Bukhari 427, Muslim 528).
Allah melaknat orang-orang Yahudi
dan Nasrani karena mereka menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid,
(Aisyah berkata): “Kalau bukan karena hal itu, niscaya kubur beliau akan
dinampakkan, hanya saja beliau takut atau ditakutkan kuburannya akan dijadikan
masjid. (HR.
Bukhari 435)
Dalam redaksi lain beliau
mengatakan:
Camkan, sesungguhnya aku melarang
perbuatan itu. (HR.
Muslim 532).
Beberapa hadits di atas menunjukkan
bahwa membangun masjid di kubur atau mengubur mayit dalam masjid adalah
dilarang karena termasuk tindakan kelewat batas. Selain itu, bisa menyeret
kepada kesyirikan. Sebab orang yang shalat di dalam masjid tersebut akan
menghadap kepada kubur, adanya ta’aluq (keterkaitan) hati dengan mereka dan
akhirnya beribadah kepada penghuni kubur dengan minta berkah, syafaat dan lain
sebagainya. Imam Qurthubi mengatakan: “Semua (larangan) itu bertujuan memutus
jalan menuju peribadatan kepada penghuni kubur, sebab larangan ini sama halnya
dengan sebab dilarangnya membuat patung orang-orang shalih karena akhirnya
patung itu juga diibadahi.” (Lihat Fathul Majid, hal. 277)
Imam Syafi’i berkata: “Saya benci
bila ada makhluk yang diagungkan hingga kuburnya dijadikan sebagai masjid.
Sebab ditakutkan akan terjadi fitnah yang menimpa pelakunya juga orang-orang
sesudahnya.” (al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab, 1/456)
Maksud menjadikan masjid di sini
tidak sebatas membangun masjid tetapi mencakup mendirikan shalat di kubur
walaupun tidak ada masjidnya, sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
سنن أبي داوود ١٧٤٦: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ
بْنُ صَالِحٍ قَرَأْتُ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نَافِعٍ أَخْبَرَنِي ابْنُ أَبِي
ذِئْبٍ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا وَلَا تَجْعَلُوا قَبْرِي
عِيدًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ
Sunan Abu Daud 1746: dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah kalian jadikan
rumah-rumah kalian sebagai kuburan (tidak pernah dilaksanakan di dalamnya
shalat dan juga tidak pernah dikumandangkan ayat-ayat Al Quran, sehingga
seperti kuburan), dan jangan kalian jadikan kuburanku sebagai 'id (hari raya,
yakni tempat yang selalu dikunjungi dan didatangi pada setiap waktu dan saat),
bershalawatlah kepadaku, sesungguhnya shalawat kalian akan sampai kepadaku di
manapun kalian berada."
Sabdanya pula:
Kalian jangan shalat menghadap kubur
dan mendudukinya.
(HR. Muslim 1614)
Imam al-Albani menyimpulkan: “Makna
menjadikan kubur sebagai masjid ada tiga:
1. Shalat di atas kubur, yaitu sujud
di atasnya.
2. Sujud dengan menghadap kubur,
baik dengan melakukan shalat atau berdo’a.
3. Membangun masjid di atas kubur
dan shalat di dalamnya.” (Tahdzirus Sajid Liman Itakhadza al-Kubura Masajida,
hal. 33)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan: “Peringatan dari beliau dan laknat terhadap penyerupaan kepada ahli
kitab di dalam membangun masjid di atas kubur orang shalih merupakan larangan
yang sangat gamblang dari penyerupaan dalam masalah ini dan merupakan dalil
agar waspada dari perbuatan mereka. Karena tidak ada jaminan bahwa seluruh
perbuatan orang muslim tidak akan sama dengan mereka. Dan sudah diketahui bahwa
umat ini telah tertimpa musibah ini berupa pembangunan masjid di atas kubur dan
menjadikan masjid tempat shalat meski tidak dibangun masjid.” (Iqtidho
Sirothol Mustaqim, 1/335).
Imam al-Albani mengatakan:
“Sesungguhnya setiap orang yang mencermati semua hadits yang mulia tadi akan
jelas baginya, tiada keraguan lagi bahwa menjadikan kuburan sebagai masjid
adalah haram, bahkan termasuk dosa besar yang paling besar, sebab adanya laknat
dan disifatinya orang yang melakukan perbuatan tersebut sebagai makhluk yang
terjelek di sisi Allah, tidaklah mungkin kecuali bagi orang yang melakukan dosa
besar. Hal ini tidak samar lagi.” (Tahdzirus Sajid, hal. 33)
g. Membangun kuburan
dengan diberi kubah, dikijing, dicat dan ditulisi
Perhatikanlah
bagaimana keadaan kubur umat muslim
dinegeri ini yang dibuat dan dibangun sedemikian rupa, apalagi yang namanya
kubur-kubur orang-orang yang dianggap berkeramat seperti kuburnya para
wali,syaikh, habib, ulama,tuan guru dan orang shalih dibangun sedemikian rupa
dengan diberi kubah dan diberi berbagai hiasan-hiasan indah berupa kaligrafi
islam. Padahal rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam melarang hal tersebut
sebagaimana yang tersebut dalam hadits :
صحيح مسلم
١٦١٠: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ
عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ
نَهَى رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ
عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
و حَدَّثَنِي
هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مُحَمَّدٍ ح و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ
بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ جَمِيعًا عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ أَخْبَرَنِي
أَبُو الزُّبَيْرِ أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُا سَمِعْتُ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ
Shahih Muslim 1610: dari Jabir ia
berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang mengapur
kuburan, duduk dan membuat bangunan di atasnya."
Imam Syafi’i mengatakan, “Saya benci
dibangunnya masjid di atas kubur, tetapi harus diratakan (disisakan sejengkal,
sebagaimana ditunjukkan hadits yang shahih, -pen), saya membenci shalat di
atasnya sedang kubur itu tidak diratakan, atau shalat menghadap kubur”. (Al-Umm,
1/278).
Kata beliau juga: “Dibenci apabila
kubur ini dicat, ditulis namanya, atau selain itu dan dibenci kubur itu
dibangun.” (Al-Majmu’, an-Nawawi 5/266).
Imam Nawawi menambahkan, “Dibenci
apabila kubur dicat, dibangun, dan ditulis nama si mati. Jika kubur itu
dibangun maka harus dihancurkan.” (as-Sirajul Wahhaj 1/114)
Imam al-Haitami malah menganjurkan
agar merobohkan kubah dan bangunan yang ada di kubur. Sebab perbuatan tersebut
lebih jelek ketimbang pembangunan masjid Dhirar, dan dilandasi durhaka kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena beliau telah melarang
pembangunan tersebut dan memerintahkan agar merobohkan dan menghilangkan segala
macam lampu yang ada di sana.” (az-Zawajir, 1/195).
Perlu diperhatikan bahwa ulama salaf
sering menggunakan istilah “saya benci”, “hal itu dibenci” diambil dari kata
bahasa Arab “makruh”, lantas apa maksudnya? Al-‘Allamah al-Mubarokfuri
dalam Tuhfatul Ahwadzi Syarah Tirmidzi jilid I, memaparkan:
“Kata ini sangat sering diucapkan para salaf dan seringkali makna yang dimaksud
adalah haram.” Lalu beliau menukil perkataan al-‘Allamah al-‘Aini
(pensyarah Shahih Bukhari): “Para ulama terdahulu memutlakkan kata
karohah (makruh) dan makna yang dikehendaki adalah haram.” Usai itu menukil
dari Ibnul Qoyyim dan ulama lainnya. (hal. 324)
Adapun hadits tentang pelarangan
meninggikan tanah kubur adalah hadits Ali bin Abi Thalib, beliau berkata kepada
Abul Hayyaj al-Asadi:
سنن أبي داوود ٢٨٠١: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا حَبِيبُ بْنُ أَبِي ثَابِتٍ عَنْ أَبِي
وَائِلٍ عَنْ أَبِي هَيَّاجٍ الْأَسَدِيِّ قَالَ
بَعَثَنِي عَلِيٌّ قَالَ لِي أَبْعَثُكَ
عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ
لَا أَدَعَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتُهُ وَلَا تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتُهُ
Sunan
Abu Daud 2801: dari Abu Wail dari Abu Hayyaj Al Asadi, ia berkata; Ali telah
mengutusku, ia berkata; aku mengutusmu sebagaimana Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam telah mengutusku, agar aku tidak meninggalkan kuburan yang
ditinggikan kecuali aku meratakannya, dan tidak meninggalkan berhala kecuali
aku hancurkan.
Imam Nawawi mengatakan, “Termasuk
sunnah (bukan sunnah dalam definisi fiqih, -pen) tidak meninggikan kubur
terlalu tinggi, tidak boleh menjulang, tetapi hanya sekitar satu jengkal.
Inilah madzhab Syafi’i dan orang-orang yang menyetujui beliau. Qodhi Iyadh
menukil bahwa ini juga termasuk madzhab Imam Malik.” (Syarh Muslim 3/32 cet.
Darul Khair).
h. Menjadikan mereka
perantara kepada Allah ( bertawasul)
Sudah
menjadi kebiasaan bagi sebagian orang-orang Muslim dalam memanjatkan doa mereka
bertwasul dengan menyebutkan para wali, ulama dan orang-orang shalih yang sudah
meninggal sebagai perantara kepada Allah subhanahu wa ta’ala.Padahal bertawasul
kepada orang-orang yang sudah meninggal tidak dibenarkan dan terlarang dalam
Islam, termasuk bertawasul kepada Rasullullah shallaahu’alaihi wa sallam yang
sudah tiada, apalagi bertawasul kepada selain beliau.
Sementara orang membolehkan
bertawasul dengan orang-orang shalih yang telah mati, baik para Nabi atau
selainnya, dengan anggapan mereka kuasa memfasilitasi permintaan mereka kepada
Allah. Anggapan ini muncul didasari keyakinan bahwa mereka adalah wali
Allah sehingga dekat dengan Allah, niscaya permintaan mereka lebih mungkin
terkabul. Memang tidak sekedar itu argumen mereka. Banyak ayat dan hadits yang
disodorkan untuk menguatkan pendapat mereka. Namun ternyata dalil-dalil
tersebut kalau tidak dha’if, salah dalam istidlal (penyimpulan dalil) atau
dalil tersebut tidak ada hubungannya dengan tawasul. Tawasul semacam ini
termasuk bid’ah. Tetapi bila mereka meyakini bahwa orang shalih tersebut mampu
dengan sendirinya mengabulkan permintaan mereka maka digolongkan ke dalam
kesyirikan. Anehnya mereka menamakannya sebagai tawasul. (Lihat Al-Furqon edisi
10 Th. II, lihat juga kitab at-Tawasul oleh Imam al-Albani
dan at-Tawashul ila Haqiqatit Tawasuloleh Syaikh Muhammad Nashib
Rifa’i).
Karena terlarangnya bertawasul
kepada orang yang telah mati, maka disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa
dizaman khalifah ‘Umar bin Khaththab terjadi kemarau panjang maka beliau
meminta hujan dengan berwasilah ( bertawasul ) melalui ‘Abbas bin ‘Abdul
Muthalib paman Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam , karena pada saat
tersebut Rasullullah shallallahu’alai wa sallam telah wafat. Sesuai dengan
hadits riwayat Bukhari :
صحيح البخاري ٣٤٣٤: حَدَّثَنَا الْحَسَنُ
بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيُّ حَدَّثَنِي
أَبِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُثَنَّى عَنْ ثُمَامَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَنَسٍ
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ إِذَا
قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا
كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَسْقِينَا
وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ فَيُسْقَوْنَ
Shahih Bukhari 3434: dari Anas radliallahu 'anhu bahwa 'Umar bin
Al Khaththab ketika mereka ditimpa musibah kekeringan dia meminta hujan dengan
berwasilah kepada 'Abbas bin 'Abdul Muththalib seraya berdo'a; "ALLOOHUMMA
INNAA KUNNA NATAWASSALU ILAIKA BIN ABIYYINAA MUHAMMAD
SHALLALLAHU'ALAIHIWASALLAM FATASQIINAA WA-INNAA NATAWASSALU ILAIKA BI'AMMI
NABIYYINAA FASQINAA" Ya Allah, kami dahulu pernah meminta hujan kepada-Mu
dengan perantaraan Nabi kami kemudian Engkau menurunkan hujan kepada kami. Maka
sekarang kami memohon kepada-Mu dengan perantaraan paman Nabi kami, maka
turunkanlah hujan untuk kami". Anas berkata; "Kemudian turunlah
hujan.
1.Melestarikan peninggalan
Telah disinggung di muka tentang
pengagungan kaum Nuh –‘alaihis salam- terhadap tokoh mereka. Allah mengkisahkan
dalam firman-Nya:
وَقَالُوا لَا
تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدّاً وَلَا سُوَاعاً وَلَا يَغُوثَ
وَيَعُوقَ وَنَسْراً
Dan mereka berkata: “Jangan
sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula
sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa’,
yaghuts, ya’uq dan nasr “.
(QS. Nuh: 23)
Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu
Abbas, berkata: “Nama-nama itu (Wadd, dll –pen) adalah orang-orang shalih pada
masa Nabi Nuh. Tatkala mereka meninggal, setan membisikkan kepada pengikut
mereka agar membuat patung perwujudan mereka, dinamakan dengan nama-nama mereka
lalu memasangnya di majelis para pengikut itu. Rencana ini dilaksanakan, namun
ketika itu belum disembah. Akhirnya ketika para pengikut ini mati dan ilmu
telah dicabut, disembahlah patung-patung tersebut.” (Kitab Tafsir no.
4920)
Ibnu Hajar mengomentari, “Dan kisah
orang-orang shalih ini merupakan titik awal penyembahan patung-patung ini oleh
kaum Nuh, kemudian diikuti oleh umat sesudah mereka.” Kata beliau juga, “Amr
bin Rabi’ah mempunyai khadam jin, dia menginformasikan kepada Amr tempat
patung-patung itu. Lalu Amr bin Rabi’ah mendatangi tempatnya yaitu di pantai
Jedah (Saudi Arabia) dan dia menemukan patung Wadd, Suwwa’, Yaghuts,
Ya’uq dan Nasr. Ini adalah nama-nama patung yang disembah pada zaman Nabi
Nuh dan Idris, namun angin topan telah membawanya ke pantai itu lalu tertimbun
pasir. Amr sangat mengagungkan patung-patung itu lantas dibawanya ke Tihamah
(Makkah). Ketika musim haji, dia mengajak orang-orang untuk menyembahnya.
Ternyata ajakannya disambut baik. Amr bin Rabi’ah ini adalah Amr bin Luhai
seperti (yang, -ed) telah disebutkan di muka.” (Fathul Bari 8/852-853
cet. Darus Salam)
Al-Qurthubi mengatakan:
“Pematungan mereka itu tiada lain agar pengikutnya dapat meneladani dan
mengingat amalan-amalan mereka yang baik sehingga dapat
bersungguh-sungguh seperti kesungguhan mereka dan beribadah kepada Allah
di sisi kubur mereka. Akan tetapi generasi penerus mereka tidak mengetahui
maksud pematungan tersebut. Lalu setan membisiki mereka bahwa para pendahulu
menyembah dan mengagungkan patung-patung itu.” (Fathul Majid, hal. 265)
Syaikh Abdurrahman mengatakan, “Hal
ini merupakan peringatan dari sikap ghuluw dan dari sarana-sarana kesyirikan,
meskipun bertujuan baik. Karena setan menjerumuskan mereka ke dalam lembah
kesyirikan lewat pintu ghuluw kepada orang-orang shalih dan berlebih-lebihan
dalam mencintai mereka. Dan akhir-akhir ini perilaku ini telah muncul pula di
tengah umat. Setan menampakkan sikap ghuluw dan bid’ah-bid’ah kepada orang
tersebut di balik nama pengagungan dan kecintaan kepada orang-orang shalih
dengan maksud ingin menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan yang lebih
berbahaya, yaitu penyembahan kepada orang-orang shalih. Disebutkan dalam suatu
riwayat, orang-orang itu mengatakan: “Pendahulu kita tidaklah mengagungkan
mereka melainkan karena mengharap syafa’at mereka di sisi Allah.” Yaitu mereka
mengharap syafa’at orang-orang shalih yang mereka patungkan sesuai nama
mereka.” (Fathul Majid hal. 264).
Lantaran itu ketika ada sekelompok
penulis yang menyuarakan agar peninggalan Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para suhada Uhud dilestarikan, maka Imam Abdul Aziz bin Baz membantah mereka
dalam fatwanya (1/139)
VIII. K h a t i m a h
Sikap berlebih-lebihan (ghuluw)
merupakan perbuatan yang dibenci agama. Sikap ghuluw merupakan salah satu ciri
agama jahiliah dan merupakan asas kesesatan orang-orang Nasrani. Oleh karena
itu, Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan
kebencian-Nya terhadap perbuatan ghuluw di dua tempat di dalam Al-Qur’an, agar
umat Rasulullah shallallahu’alaihiwa sallam tidak terjatuh dalam perbuatan tersebut,
utamanya dalam menyikapi diri beliau shallallahu’alaihi wa sallam. Begitu juga Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam dalam banyak kesempatan—bahkan ketika di akhir
hayat—dengan tegas mengingatkan umatnya dari hal tersebut.
Pengkultusan terhadap diri
Rasullulla shallallahu’alaihi wa sallam saja tidak diperkenankan, tentunya
lebih-lebih terhadap individu selain beliau seperti wali, syaikh, tuan guru,
kiai, ulama dan orang shalih sangatlah terlarang dan haram hukumnya.
Sehubungan dengan itu marilah kita
jauhkan dan hindarkan diri kita dari sikap ghuluw baik kepada Rasullullah
shallallahu’alaihi wa sallam terlebih lagi terhadap individu selain
beliau.(Wallahu’alam)
Sumber :
1. Al-Qur’an dan Terjemahan, www.Salafi-DB.com
2. Kitab Hadits 9 Imam, www Lidwa Pusaka .com
3.Fathul Majid ( Terjemahan ),Penjelasan Kitab
Tauhid,Dyaikh Abdurrahman Hasan Alu Syaikh,Penerbit Pustaka Azzam
4.Perilaku & Akhlak Jahiliyah,Al-Imam Muhammad
bin Abdul Wahab At-Tamimi, penerbit Pustaka Sumayah
5.Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Yazid bin
Abdul Qadir Jawas, penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i
6. Ayat-ayat Larangan dan Perintah dalam Al-Qur’an
KH.Qomaruddin dkk, penerbit Diponogoro
7. Ghuluw Benalu Dalam Ber-Islam Abdurrahman bin
MNU’alla Al-Luwaihiq,penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i
8. Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir
Syirik H.Mahrus Ali, penerbit Laa Tasyuki Press
9. Bahaya Mengekor Non Muslim Muhammad bin ‘Ali Adh
Dhabi’I, penerbit Media Hidayah
11.www.Asysyariah.com
Selesai
disusun,Selasa, 7 Dzulhijjah 1433H/24 Oktober 2012
(
Musni Japrie )