Megah, mewah dan
indahnya bangunan kuburan wali,ulama dan orang-orang shalih
Keterangan gambar :
Kubur Syaikh Abdul Qadir Jailani
Dibeberapa Negara di Timur Tengah dijumpai adanya banyak peninggalan bangunan bersejarah tidak saja istana dan masjid-masjid tetapi juga kuburan para ulama dan orang-orang shalih serta sufi terkenal dalam bentuk bangunan yang megah, mewah dan indah serta menarik. Pada masa lalu beberapa generasi jauh dibawahnya generasi sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in oleh kaum muslimin pada saat itu apabila ulama dan orang-orang shalih termasuk para sufi apabila meninggal dunia kuburannya dibuatkan bangunan berupa kubah yang mewah dan diberi hiasan sehingga nampak sangat indah dan menarik.
Dibangunnya
kubur sedemikian rupa disebutkan untuk menunjukkan bukti kecintaan dan penghormatan dan
pengagungan masyarakat terhadap para ulama dan dan orang-orang shalih atas jasa-jasanya
dalam Islam. Terhadap kubur-kubur ulama dan orang shalih tersebut banyak pula
masyarakat yang membangun masjid
diatasnya, sehingga kuburan berada di dalam masjid. Kuburan-kuburan tersebut
berikutnya diagung-agungkan dan diberikan penghormatan yang berlebihan karena
dianggap berkramat dimana banyak pula
orang-orang datang berziarah
untuk meminta pertolongan dan mengharap baraqah darinya.
Tidak
hanya kuburan ulama dan orang shalih,terhadap penguasa atau raja yang meninggal
kuburannya pun dibuatkan bangunan yang megah dan bahkan diantara para penguasa
atau raja tersebut ada pula yang di kubur didalam masjid, sehingga orang shalat
harus menghadap ke kubur tersebut.
Kondisi
yang serupaberkembang kemana-mana termasuk di Indonesia, sehingga hampir seluruh
kuburan yang disebut sebagai wali dibangunkan kubah diatasnya serta diberikan
hiasan berupa berbagai macam pernik-pernik sedemikian rupa. Demikian pula
kuburan para ulama dan orang-orang shalih lainnya yang dikramatkan tidak
ketinggalan pula dibuatkan bangunan yang megah diatasnya, kemudian orang
berduyun-duyun datang berziarah dengan berbagai keperluan, seperti minta
pertolongan diberikan rezeki, diberikan perlindungan dan keselamatan , minta
diberikan jabatan dan kekuasaan serta lain-lainnya.
Membangun
kuburan yang megah dengan menghabiskan dana ratusan juta rupiah tidak saja
dilakukan orang terhadap kuburnya para wali,ulama dan orang-orang shalih,
tetapi juga terhadap kuburnya mantan presiden seperti kuburnya almarhum Sukarno
Di
Blitar dan kuburnya almarhum Suharto. Kubur-kubur tersebut juga berduyun-duyun
diziarahi karena dianggap pula kubur yang kramat.
Apakah
terhadap kubur-kubur para wali,ulama dan orang-orang shalih tersebut yang
dibangun kubah dan dibuat megah memang diperkenankan dalam Islam ? Untuk
menjawab pertanyaan tersebut maka perlu ditelaah apakah ada ada dasarnya dan
bersesuaian dengan as-Sunnah ataukah malah sebaliknya, dimana Islam sebenarnya
tidak menganjurkannya bahkan melarangnya karena berlawanan dengan apa yang
diperintahkan.
Bagaimana dengan
kuburnya para sahabat Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam?
Keterangan gambar :
Kuburan Baqi di Madinah
Meskipun
mereka-mereka para sahabat dan keluarga Rasullullah shallallahu’alaihi wa
sallam mempunyai kedudukan dan derajat yang begitu tinggi tidak saja
didepan manusia tetapi juga didepan
Allah ta’ala, namun kubur-kubur mereka tidak berbeda dengan hamba-hamba Allah
yang lainnya. Tidak ada satupun yang dibuatkan bangunan dan kubah sebagaimana
yang dilakukan oleh orang-orang belakangan terhadap para wali,ulama dan
orang-orang shalih karena memiliki ilmu yang dalam tentang agama dan berjasa
dalam mengembangkan Islam. Kalau hitung-hitungan tentunya kedalaman ilmu agama
para sahabat tentunya tidaklah sebanding dengan ilmunya para ulama dan orang-orang
shalih tersebut. Begitu juga dengan jasa-jasa para sahabat tidaklah dapat
dibandingkan dengan jasanya para ulama dalam mengembangkan Islam.
Timbul
pertanyaan kenapa kuburnya para sahabat dan keluarga dekat Rasullullah
shallallahu’alaihi wa sallam tidak
dibuatkan bangunan dan kubah yang megah-megah sebagai bentuk penghargaan dan
kecintaan umat terhadap beliau-beliau karena yang lebih pantas mendapatkan
penghargaan, pengaggungan dan kehormatan tentunya adalah para sahabat dan
keluarga Rasullullah dibandingkan dengan para wali, ulama dan orang-orang
shalih.
Jawabannya
tiada lain adalah karena dalam Islam memang mengharamkan untuk membangun dan
membina kuburan. Karena dikuatirkan akan membuka pintu perbuatan syirik.Dan
ternyata apa yang dikuatirkan tersebut terbukti sekarang ini,bagaimana sikap
orang-orang yang jahil terhadap ilmu agama menjadikan kuburnya para wali,ulama
dan orang-orang shalih tempat untuk beribadah dan meminta pertolongan.
Hukum Membangun dan Membina
Kubur Menurut Syari’at Islam
Sejak
awal Islam telah melarang terhadap umatnya untuk membuat bangunan diatas
kuburan , dimana larangan tersebut bersifat menyeluruh dan tidak hanya terbatas
pada kuburan-kuburan tertentu saja. Larangan tersebut dilandasi kepada hadits
yang diriwayatkan oleh imam Muslim :
صحيح
مسلم ١٦١٠: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ
عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ
نَهَى
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ
يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
و
حَدَّثَنِي هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مُحَمَّدٍ ح و حَدَّثَنِي
مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ جَمِيعًا عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ
قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو الزُّبَيْرِ أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُا
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ
Shahih
Muslim 1610: dari Ibnu Juraij dari Abu Zubair dari Jabir ia berkata;
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang mengapur kuburan, duduk
dan membuat bangunan di atasnya."
Asal dari larangan Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam menunjukkan keharaman sebagaimana telah dimaklumi dalam
ilmu ushul fiqh. Larangan sebagaimana hadits tersebut diatas juga diperkuat
lagi dengan perkataan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu– adalah
salah seorang shahabat yang sangat bersemangat melaksanakan perintah Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam tersebut sebagaimana terdapat dalam riwayat :
عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ الْأَسَدِيِّ،
قَالَ: قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ: " أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا
بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا
تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ، وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ
"
Dari Abul-Hayyaaj Al-Asadiy, ia
berkata : ‘Aliy bin Abi Thaalib pernah
berkata kepadaku : “Maukah engkau aku utus sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah
mengutusku ? Hendaklah engkau tidak meninggalkan gambar-gambar kecuali engkau
hapus dan jangan pula kamu meninggalkan kuburan yang ditinggikan kecuali kamu
ratakan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 969, Abu Daawud no. 3218, At-Tirmidziy
no. 1049, An-Nasaa’iy no. 2031, dan yang lainnya].
Berikutnya larangan membuat bangunan
diatas kubur sebagaimana yang disebutkan dalam hadits diatas, dilanjutkan pula
oleh para ulama seluruh mazhab dengan
mengingatkan kepada umat seluruh umat Muslim, antara lain dikalangan madzhab
Syaafi’iyyah berdasarkan perkataan Imam
Muhammad bin Idris Asy-Syafii rahimahullah :.
وأحب أن لا يبنى ولا يجصص فإن ذلك
يشبه الزينة والخيلاء وليس الموت موضع واحد منهما ولم أر قبور المهاجرين والانصار
مجصصة ...... وقد رأيت من الولاة من يهدم بمكة ما يبنى فيها فلم أر الفقهاء يعيبون
ذلك
“Dan
aku senang jika kubur tidak dibangun dan tidak dikapur/disemen,
karena hal itu menyerupai perhiasan dan kesombongan. Orang yang mati bukanlah
tempat untuk salah satu di antara keduanya. Dan aku pun tidak pernah
melihat kubur orang-orang Muhaajiriin dan Anshaar dikapur..... Dan aku telah
melihat sebagian penguasa meruntuhkan bangunan yang dibangunan di atas kubur di
Makkah, dan aku tidak melihat para fuqahaa’
mencela perbuatan tersebut” [Al-Umm, 1/316 – via Syamilah].
Hadits dari Ali bin Thalib
radhyallahu’anhu diberi komentar pula imam An-Nawawiy rahimahullah sebagai salah seoreang ulama besar dari
madzhab Syafi’iyah dimana beliau berkata :
فيه أن السنة أن القبر لا يرفع على
الأرض رفعاً كثيراً ولا يسنم بل يرفع نحو شبر ويسطح وهذا مذهب الشافعي ومن وافقه،
“Pada
hadits tersebut terdapat keterangan bahwa yang disunnahkan kubur tidak terlalu
ditinggikan di atas permukaan tanah dan tidak dibentuk seperti punuk onta, akan
tetapi hanya ditinggikan seukuran sejengkal dan meratakannya. Ini adalah
madzhab Asy-Syaafi’iy dan orang-orang yang sepakat dengan beliau” [Syarh An-Nawawiy ‘alaa Shahih
Muslim, 3/36].
Di tempat lain ia berkata :
وَاتَّفَقَتْ نُصُوصُ الشَّافِعِيِّ
وَالْأَصْحَابِ عَلَى كَرَاهَةِ بِنَاءِ مَسْجِدٍ عَلَى الْقَبْرِ سَوَاءٌ كَانَ
الْمَيِّتُ مَشْهُورًا بِالصَّلَاحِ أَوْ غَيْرِهِ لِعُمُومِ الْأَحَادِيثِ
“Nash-nash
dari Asy-Syaafi’iy dan para shahabatnya telah sepakat tentang dibencinya
membangun masjid di atas kubur. Sama saja, apakah si mayit masyhur dengan
keshalihannya ataupun tidak berdasarkan keumuman hadits-haditsnya” [Al-Majmuu’, 5/316].
Adapun madzhab Hanafiyyah, berikut
perkataan Muhammad bin Al-Hasan rahimahullah :
أَخْبَرَنَا أَبُو حَنِيفَةَ، قَالَ:
حَدَّثَنَا شَيْخٌ لَنَا يَرْفَعُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى عَنْ تَرْبِيعِ الْقُبُورِ، وَتَجْصِيصِهَا ". قَالَ
مُحَمَّدٌ: وَبِهِ نَأْخُذُ، وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu
Haniifah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami seorang syaikh kami yang
memarfu’kan riwayat sampai pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bahwasannya beliau melarang untuk membangun dan mengapur/menyemen kubur.
Muhammad (bin Al-Hasan) berkata : Dengannya kami berpendapat, dan ia juga
merupakan pendapat Abu Haniifah” [Al-Aatsaar no. 257].
Juga Ibnu ‘Aabidiin Al-Hanafiy rahimahullah
yang berkata :
وَأَمَّا الْبِنَاءُ عَلَيْهِ فَلَمْ
أَرَ مَنْ اخْتَارَ جَوَازَهُ.... وَعَنْ أَبِي حَنِيفَةَ : يُكْرَهُ أَنْ
يَبْنِيَ عَلَيْهِ بِنَاءً مِنْ بَيْتٍ أَوْ قُبَّةٍ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ
“Adapun membangun di atas kubur,
maka aku tidak melihat ada ulama yang memilih pendapat membolehkannya..... Dan
dari Abu Haniifah : Dibenci membangun bangunan di atas kubur, baik berupa
rumah, kubah, atau yang lainnya” [Raddul-Mukhtaar, 6/380 – via
Syamilah].
Madzhab Maalikiyyah, maka Maalik bin
Anas rahimahullah berkata :
أَكْرَهُ تَجْصِيصَ الْقُبُورِ
وَالْبِنَاءَ عَلَيْهَا
“Aku membenci mengapur/menyemen
kubur dan bangunan yang ada di atasnya” [Al-Mudawwanah, 1/189].
Juga Al-Qurthubiy rahimahullah yang
berkata :
فاتخاذ المساجد على القبور والصلاة
فيها والبناء عليها، إلى غير ذلك مما تضمنته السنة من النهي عنه ممنوع لا يجوز
“Membangun masjid-masjid di atas
kubur, shalat di atasnya, membangun bangunan di atasnya, dan yang lainnya
termasuk larangan dari sunnah, tidak diperbolehkan” [Tafsiir Al-Qurthubiy,
10-379].
Madzhab Hanaabilah, maka Ibnu
Qudaamah rahimahullah berkata :
ويكره البناء على القبر وتجصيصه
والكتابة عليه لما روى مسلم في صحيحه قال : [ نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم
أن يجصص القبر وأن يبنى عليه وأن يقعد عليه ] - زاد الترمذي - [ وأن يكتب عليه ]
وقال : هذا حديث حسن صحيح ولأن ذلك من زينة الدنيا فلا حاجة بالميت إليه
“Dan dibenci bangunan yang ada di
atas kubur, mengkapurnya, dan menulis tulisan di atasnya, berdasarkan riwayat
Muslim dalam Shahiih-nya : ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
telah melarang kubur untuk dikapur, diduduki, dan dibangun sesuatu di atasnya’.
At-Tirmidziy menambahkan : ‘Dan menulis di atasnya’, dan ia berkata :
‘Hadits hasan shahih’. Karena itu semua merupakan perhiasan dunia yang tidak
diperlukan oleh si mayit” [Al-Mughniy, 2/382].
Juga Al-Bahuutiy Al-Hanbaliy rahimahullah
yang berkata :
ويحرم اتخاذ المسجد عليها أي: القبور
وبينها لحديث أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لعن الله اليهود اتخذوا
قبور أنبيائهم مساجد. متفق عليه
“Dan diharamkan menjadikan masjid di
atas kubur, dan membangunnya berdasarkan hadits Abu Hurairah bahwasannya Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Allah melaknat orang Yahudi yang telah
menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid-masjid’. Muttafaqun
‘alaih” [Kasysyaaful-Qinaa’, 3/774].
Juga Al-Mardawiy rahimahullah yang
berkata :
وَأَمَّا الْبِنَاءُ عَلَيْهِ :
فَمَكْرُوهٌ ، عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ الْمَذْهَبِ ، سَوَاءٌ لَاصَقَ الْبِنَاءُ
الْأَرْضَ أَمْ لَا ، وَعَلَيْهِ أَكْثَرُ الْأَصْحَابِ قَالَ فِي الْفُرُوعِ :
أَطْلَقَهُ أَحْمَدُ ، وَالْأَصْحَابُ
“Adapun
bangunan di atas kubur, hukumnya makruh berdasarkan pendapat yang shahih dari
madzhab (Hanaabilah), sama saja, apakah bangunan itu menempel tanah ataukah
tidak. Pendapat itulah yang dipegang kebanyakan shahabat Ahmad. Dalam kitab
Al-Furuu’ dinyatakan : Ahmad dan shahabat-shahabatnya memutlakkan
(kemakruhan)-nya” [Al-Inshaaf, 2/549].
Madzhab Dhaahiriyyah, maka Ibnu Hazm
rahimahullah berkata :
مَسْأَلَةٌ: وَلاَ يَحِلُّ أَنْ
يُبْنَى الْقَبْرُ, وَلاَ أَنْ يُجَصَّصَ, وَلاَ أَنْ يُزَادَ عَلَى تُرَابِهِ
شَيْءٌ, وَيُهْدَمُ كُلُّ ذَلِكَ
“Permasalahan
: Dan tidak dihalalkan kubur untuk dibangun, dikapur/disemen, dan ditambahi
sesuatu pada tanahnya. Dan semuanya itu (bangunan, semenan, dan tanah tambahan)
mesti dirobohkan”
[Al-Muhallaa, 5/133].
itu.....
Dari penjelasan para ulama dari
berbagai madzhab sebagaimana yang
dikemukakan diatas maka sangatlah jelas keharamannya membuat bangunan dan membina
kubur dengan kemegahan dan kemewahan yang menghabiskan biaya cukup besar
sebagaimana yang nampak pada banyak kuburan para ulama dan orang-orang shalih
yang bertebaran di seluruh negeri Islam.
Membuat Bangunan dan Membina Kubur Para Ulama dan Orang-Orang
Shalih Perbuatan Berlebihan ( Ghuluw) yang Terlarang Dalam Islam
Keterangan gambar: Kubur sufi terkenal Jalaludin ar-Rumi
Sebelum memasuki pembicaraan tentang
inti persoalan mengenai membuat bangunan dan membina kubur para ulama dan
orang-orang shalih termasuk perbuatan ghulur yang terlarang dalam agama, maka
terlebih dahulu disinggung tentang pengertian ghuluw.
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa
ghuluw dalam agama berarti melampaui batas dengan menambah-nambah dalam memuji
sesuatu atau mencela sesuatu sehingga menyimpang jauh dari apa yang menjadi
haknya
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
al-‘Utsaimin memberikan definisi yang
semakna dengan apa yang dinyatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah . Dr.
Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, secara syariat
ghuluw berarti berlebihan dalam mengangkat seseorang lebih dari kedudukan yang
sepantasnya, seperti mengangkat seorang nabi atau orang-orang saleh ke martabat
rububiyyah dan uluhiyyah (ketuhanan).
Ada juga ulama yang mengatakan,
"Ghuluw berarti melampaui batas dengan menambah-nambah dalam memuji
sesuatu atau mencelanya sehingga melampaui apa yang menjadi haknya."
Ghuluw dalam Pandangan Agama
Sikap berlebih-lebihan (ghuluw)
merupakan perbuatan yang dibenci agama. Sikap ghuluw merupakan salah satu ciri
agama jahiliah dan merupakan asas kesesatan orang-orang Nasrani. Oleh karena
itu, Allah subhanahu wa ta’ala
menerangkan kebencian-Nya terhadap perbuatan ghuluw di dua tempat di
dalam Al-Qur’an, agar umat Rasulullah n tidak terjatuh dalam perbuatan tersebut,
utamanya dalam menyikapi diri beliau shallallahu’alaihi wa sallam. Begitu juga
Rasulullah shallahu’alahi wa sallam dalam banyak kesempatan—bahkan ketika di
akhir hayat—dengan tegas mengingatkan umatnya dari hal tersebut.
Ghuluw dengan makna di atas telah dijelaskan
oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya:
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ
تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلاَ تَتَّبِعُواْ أَهْوَاء قَوْمٍ قَدْ
ضَلُّواْ مِن قَبْلُ وَأَضَلُّواْ كَثِيرًا وَضَلُّواْ عَن سَوَاء السَّبِيلِ
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab,
janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam
agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat
dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan
(manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus".(QS. Al Maidah : 77 )
Mencintai
dan memuliakan sesama muslim merupakan perintah syari’at yang mulia ini.
Terlebih kepada orang-orang shalih dan ulama. Allah menyepadankan persaksian
mereka dengan persaksian Diri-Nya, dan mereka adalah teman yang terbaik. Tetapi
perlakuan ini harus dalam koridor yang benar dan proporsional, tidak ghuluw
atau berlebih-lebihan. Sebab mereka adalah manusia biasa, tidak memiliki
kemaksuman seperti para nabi dan tidak pula memiliki sifat ketuhanan.
Hal ini perlu
ditegaskan lantaran gejala atau praktek ghuluw ini masih terus menggelayuti
sebagian masyarakat. Ada yang mempunyai persepsi bahwa ulama itu tidak mungkin
keliru.
Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahab At-Tamimi dalam kitab beliau “Prilaku & Akhlak Jahilliyah mengatakan ; bahwa orang-orang jahilliyah
mereka telah berbuat ghuluw terhadap pribadi-pribadi tertentu ,yakni dengan
mengangkat mereka dari kedudukannya. Sampai-sampai pada tingkatan menjadikan
mereka sebagai sembahan bersama Allah . Sebagaimana orang Yahudi berbuat ghuluw
kepada Uzair, mereka berkata “ Dia adalah anak Allah “. Demikian juga perbuatan
ghuluw orang-orang orang Nasrani. Mereka menjunjung tinggi dan menyanjung Isa
bin Maryam’alaihisallam dari kedudukannya sebagai seoramng manusia biasa dan
pengemban risalah kepada derajat keuluhiyahan (sesembahan) dan mereka
berkata “ Dia adalah anak Allah “
Demikian pula dengan
kaum Nabi Nuh’alaihissallam sepeninggal beliau , mereka bersikap ghuluw kepada
orang shalih, dengan membuat gambar dan patung mereka. Kemudian mereka
mengibadahinya sebagai sesembahan selain Allah, lalu mereka mengangkat
orang-orang shalih sampai kepada tingkat uluhiyyah.Sebagaimana yang disebutkan
dalam firman
Allah subhanahu wa
ta’ala :
وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ
آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا
Dan
mereka berkata: "Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan)
tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan)
wadd, dan jangan pula suwwa', yaghuts, ya'uq dan nasr[1521]".(QS.Nuh
: 23 )
K e t e r a n g a n
:
[1521] Wadd, Suwwa',
Yaghuts, Ya'uq dan Nasr adalah nama-nama berhala yang terbesar pada
qabilah-qabilah kaum Nuh.
Berdasar ayat diatas
mereka telah menjadikan orang-orang shalih tersebut sebagai sesembahan. Dan demikian
juga selain mereka dari kelompok kelompok kaum musyrikin sampai hari ini.
Mereka telah bersikap ghuluw kepada orang-orang shalih dengan melakukan tawaf
di kiburan mereka, menyembelihj dan bernazar untuk mereka, dan memohon
pertolongan ketika dalam keadaan sulit kepada orang yang telah mati. Mereka
bersungguh-sungguh dalam memohon kepada oarnmg-orang shalih tersebut agar
memenuhi kebutuhan dan keperluan mereka. Perbuatan ghuluw seperti ini akan
menyeret para pelakunya kepada kesyirikan.Maka tidak diperbolehkan bersikap
ghuluw terhadap seluruh makhluk dan mengangkat mereka diatas kedudukan yang
btelah Allah berikan.Karena hal ini akan menyeret kepada perbuatan menyekutukan
Allah subhanahu wa ta’ala.Demikian pula ghuluw kepada para ulama dan ahli ibadah.
Syari’at telah melarang
umat islam untuk berbuat ghuluw kepada Rasullullah shallalahu ‘alaihi wasallam
yang jelas dan nyata sebagai nabinya tercinta umat islam, apalagi terhadap para
ulama larangan itu tentunya semakin keras.
Termasuk ke dalam
perbuatan ghuluw terhadap ulama yang dilakukan oleh sebagian umat Muslim di
berbagai negeri termasuk di Indonesia adalah membuat bangunan yang megah dan
mewah diatas kubur dan bahkan ada yang membangunkan masjid kemudian diziarahi
dan berdoa serta meminta pertolongan kepada orang yang telah mati yang menghuni
kubur tersebut. Sedangkan as-Sunnah sebagai syari’at Islam melarang membuat
bangunan diatas kubur.
Sehingga membuat bangunan diatas kubur selain
sebagai perbuatan ghuluw terhadap ulama, juga merupakan pelanggaran terhadap
larangan yang sudah digariskan oleh agama.
K e s i m p u l a n
Hampir di seluruh
tempat di negeri-negeri Muslim termasuk di Indonesia terdapat kuburan para
ulama dan orang-orang shalih yang diatasnya dibuatkan bangunan yang megah dan
mewah dengan berbagai pernik- perniknya. Kubur-kubur tersebut dianggap sebagai
kubur yang berkramat sehingga banyak orang-orang Muslim yang datang berziarah
sambil beribadah disana dan meminta pertolongan kepada penghuni kubur.
Apa yang dilakukan oleh
sebagian orang-orang Muslim tersebut sesungguhnya telah mengangkat kedudukan para ulama dan orang-orang shalih
yang telah meninggal tersebut pada kedudukan yang tidak semestinya. Hal ini
merupakan perbuatan yang berlebih-lebihan ( ghuluw ) terhadap para ulama dan orang-orang
shalih.
Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam melarang kepada seluruh umat Muslim untuk tidak berbuat ghuluw
terhadap diri beliau, maka larangan itu juga tentunya berlaku untuk semua
kalangan termasuk dalam hal ini terhadap para ulama dan orang-orang shalih.
Sebagai seorang Muslim
yang ta’at dan patuh kepada Alllah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, maka
seyogyanya sebagai umat Muslim bersikaplah yang wajar dan hormati dan hargailah
ulama sesuai dengan kedudukannya, tidak lebih dari itu, janganlah memuji dan
menyanjung ulama melebihi kapasitasnya sebagai ulama.Karena sikap yang yang berlebih lebihan (
ghuluw ) inilah yang menjadikan pintu masuk dan menjerumuskan ke dalam kesyirikan lantaran
melabeli mereka dengan sifat-sifat ketuhanan yang hanya pantas bagi Allah.
(Wallahu’alam ).
Naskah bersumber dari:
1. Al-Qur’an dan Terjemahan,
www.Salafi-DB.com
2. Kitab Hadits 9 Imam, www Lidwa Pusaka .com
3.Fathul Majid ( Terjemahan
),Penjelasan Kitab Tauhid,Dyaikh Abdurrahman Hasan Alu Syaikh,Penerbit Pustaka
Azzam
4.Perilaku & Akhlak
Jahiliyah,Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab At-Tamimi, penerbit Pustaka Sumayah
5.Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i
6. Ayat-ayat Larangan dan Perintah dalam
Al-Qur’an KH.Qomaruddin dkk, penerbit Diponogoro
7. Ghuluw Benalu Dalam Ber-Islam
Abdurrahman bin MNU’alla Al-Luwaihiq,penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i
8. Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat
& Dzikir Syirik H.Mahrus Ali, penerbit Laa Tasyuki Press
9. Bahaya Mengekor Non Muslim
Muhammad bin ‘Ali Adh Dhabi’I, penerbit
Media Hidayah
10. www.Konsultasi Syariah.com
11.www.Asysyariah.com
Selesai disusun, Ahad, ba’da ashar,
12 Dzulhijjah 1433 H/28 Oktober 2012
( Musni Japrie)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar