Tidak ada seorangpun
diantara kaum Muslimin yang tidak dapat mengucapkan kalimat Laa Ilaaha
Illallaah, yaitu bagian dari kalimat Syahadat, yaitu kalimat kesaksian dan
pengakuan adanya Allah . Kalimat tersebut merupakan ucapan yang sering
dilafazdzkan terutama dalam setiap shalat yaitu pada saat membaca tahiyat
sesuai dengan yang diperintahkan oleh syari’at. Namun sangat disayangkan banyak
diantara saudara-saudara kita kaum muslimin yang belum atau kurang memahami
makna yang benar dari arti kalimat tersebut
Sebagaimana yang masyhur
di kalangan masyarakat muslim Indonesia, bahwa kalimat tauhid laa ilaaha
illallah (لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ) diartikan dengan “tiada Tuhan selain Allah”.
Namun, benarkah terjemahan kalimat tauhid tersebut?
Bahwa sesungguhnya kalimat
persaksian dan pengakuan tersebut adalah
kalimat dalam bahasa Arab. Ketahuilah, pemahaman yang benar tentang kalimat laa
ilaaha illallah tersebut tasal kalimat
ini yaitu dari sisi bahasa Arab. Oleh karena itu, jika kita ingin mengetahui
terjemahan dan makna yang benar dari kalimat tersebut, tentunya menggunakan kaidah-kaidah bahasa Arab.
Kurang tepatnya dalam
menterjemahkan dan memaknai kalimat Laa Ilaaha Illallaah sebagai kalimat tauhid
sebenarnya tanpa disadari oleh kaum muslimin menyebabkan terjadinya
penyimpangan dalam mentauhidkan ( mengesakan ) Allah, yaitu berupa adanya
perilaku syirik yang banyak dilakukan oleh mereka-mereka yang telah mengucapkan
Syahadat.
Pentingnya Mengetahui Makna
Kalimat Laa Ilaaha Illallaah Yang Benar
Mengetahui makna kalimat yang mulia ini merupakan salah satu
prinsip yang sangat mendasar pada ‘aqidah seorang muslim. Bagaimana tidak,
karena jika seseorang mengucapkan kalimat tauhid ini maka dia tidak akan bisa
melaksanakan konsekuensinya sebelum mengetahui apa maknanya serta dia tidak
akan mendapatkan berbagai keutamaan kalimat yang mulia ini sampai dia
mengetahui apa maknanya, mengamalkannya dan meninggal di atasnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا يَمْلِكُ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الشَّفَاعَةَ إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat
memberi syafa`at; akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa`at ialah) orang
yang mengakui yang hak (tauhid) dalam keadaan mereka mengetahui(nya).” (QS.
Az-Zukhruf: 86)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah
menegaskan:
صحيح البخاري ١٢٥: حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ قَتَادَةَ قَالَ حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمُعاذٌ رَدِيفُهُ عَلَى الرَّحْلِ قَالَ يَا مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ قَالَ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَسَعْدَيْكَ قَالَ يَا مُعَاذُ قَالَ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَسَعْدَيْكَ ثَلَاثًا قَالَ مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلَّا حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا أُخْبِرُ بِهِ النَّاسَ فَيَسْتَبْشِرُوا قَالَ إِذًا يَتَّكِلُوا وَأَخْبَرَ بِهَا مُعَاذٌ عِنْدَ مَوْتِهِ تَأَثُّمًا
Shahih Bukhari 125: Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin
Ibrahim berkata, telah menceritakan kepada kami Mu'adz bin Hisyam berkata,
telah menceritakan kepadaku Bapakku dari Qatadah berkata, telah menceritakan
kepada kami Anas bin Malik bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menunggang
kendaraan sementara Mu'adz membonceng di belakangnya. Beliau lalu bersabda:
"Wahai Mu'adz bin Jabal!" Mu'adz menjawab, "Wahai Rasulullah,
aku penuhi panggilanmu." Beliau memanggil kembali: "Wahai Mu'adz!"
Mu'adz menjawab, "Wahai Rasulullah, aku penuhi panggilanmu." Hal itu
hingga terulang tiga kali, beliau lantas bersabda: "Tidaklah seseorang
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan Muhammad
adalah Rasulullah, tulus dari dalam hatinya, kecuali Allah akan mengharamkan
baginya neraka." Mu'adz lalu bertanya, "Apakah boleh aku
memberitahukan hal itu kepada orang, sehingga mereka bergembira
dengannya?" Beliau menjawab: "Nanti mereka jadi malas (untuk beramal)."
Mu'adz lalu menyampaikan hadits itu ketika dirinya akan meninggal karena takut
dari dosa."
Pentingnya mengetahui makna yang benar dari Kalimat tauhid yang disebutkan diatas terkait erat
dengan aqidah yang berujung kepada keselamatan seseorang diakhirat kelak.
Dimana setiap muslim tentunya berharap bahwa diakhirat kelak yang bersangkutan
dapat menempati surga sebagaimana yang dijanjikan. Tetapi harapan tersebut akan
menjadi harapan yang hampa belaka, apabila di dalam penerapan aqidahnya
terdapat penyimpangan berupa kesyirikan, sehingga akhirnya nerakalah yang
diperoleh, karena dosa yang diakibatkan olehg perbuatan syirik merupakan dosa
yang tidak terampuni, sebagaimana ditegaskan oleh Allah subhanahu wa ta’ala
dalam firman-Nya :
إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاء وَمَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah
berbuat dosa yang besar.(QS. An Nisaa : 48 ).
Berkaitan dengan itu maka dalam upaya kita meneguhkan tauhid dan
menjauhkan diri serta menghindar dari perilaku yang bertentangan dengan kalimat
Laa Ilaaha Illallaah, maka setiap muslim wajib untuk mengetahui makna yang
benar dari kalimat tauhid yang dimaksud. Karena sesungguhnya dengan adanya
kekeliruan dan memaknai kalimat tauhid sebagaimana yang banyak ditemui
ditengah-tengah kita ternyata meskipun mereka mengakui adanya Allah tetapi
mereka juga melakukan penyembahan kepada selain-Nya.
Kekeliruan Dalam Memaknai
Ucapan Laa Ilaaha Illallaah
Makna syahadat Laa Ilaaha Illaallah
adalah meyakini bahwa tidak ada yang berhak mendapatkan ibadah kecuali Allah,
konsisten dengan pengakuan itu dan
mengamalkannya. La ilaaha menolak keberhakkan untuk diibadahi pada diri selain
Allah, siapapun orangnya. Sedangkan Illallah merupakan penetapan bahwa yang
berhak diibadahi hanyalah Allah. Sehingga makna kalimat ini adalah la ma’buda
haqqun illallah atau tidak ada sesembahan yang benar selain Allah. Sehingga
keliru apabila la ilaha illallah diartikan tidak ada sesembahan/tuhan selain
Allah, karena ada yang kurang. Harus disertakan kata ‘yang benar’ Karena pada
kenyataannya sesembahan selain Allah itu banyak. Dan kalau pemaknaan ‘tidak ada
sesembahan selain Allah’ itu dibenarkan maka itu artinya semua peribadahan
orang kepada apapun disebut beribadah kepada Allah, dan tentu saja ini adalah
kebatilan yang sangat jelas.
Sesungguhnya sudah sejak
lama ditemui bahwa kalimat syahadat ini
telah mengalami penyimpangan penafsiran di antaranya adalah :
Pemaknaan la ilaaha illalaah dengan ‘la
ma’buda illallah’ tidak ada sesembahan selain Allah, hal ini jelas salahnya
karena yang disembah oleh orang tidak hanya Allah namun beraneka ragam
Pemaknaan la ilaha illallah dengan ‘la khaliqa
illallah’ tidak ada pencipta selain Allah. Makna ini hanya bagian kecil dari
kandungan la ilaha illallah dan bukan maksud utamanya. Sebab makna ini hanya
menetapkan tauhid rububiyah dan itu belumlah cukup.
Pemaknaan la ilaha illallah dengan ‘la
hakimiyata illallah’ tidak ada hukum kecuali hukum Allah, maka inipun hanya
sebagian kecil maknanya bukan tujuan utama dan tidak mencukupi.
Sehingga
penafsiran-penafsiran di atas adalah keliru. Hal ini perlu diingatkan karena
kekeliruan semacam ini telah tersebar melalui sebagian buku yang beredar di
antara kaum muslimin. Sehingga penafsiran yang benar adalah sebagaimana yang
sudah dijelaskan yaitu : ‘la ma’buda haqqun illallah’ tidak ada sesembahan yang
benar selain Allah.
( Lihat Kitab Tauhid li Shafil Awwal hal. 45)
Makna Yang Benar Dari Kalimat Laa Ilaaha Illallaah
Syahadat adalah bagian
yang sangat mendasar dalam aqidah seorang muslim, dan syahadat ini memiliki
nilai-nilai dan pengaruh yang besar dalam kehidupan. Pentingnya aqidah yang jelas dalam akal dan
hati sehingga dapat melakukan ibadah kepada Allah dengan hujjah yang nyata.
Oleh karena itu merupakan suatu kewajiban bagi kita untuk mengenal lebih dalam
makna syahadat serta rukun-rukun dan syarat-syaratnya.
Makna syahadat ‘La Ilaaha
Illallaah’ ( لا إله إلا الله ) adalah bahwa tidak ada sesembahan yang berhak
untuk disembah kecuali Allah SWT.
Kalimat Laa Ilaaha
Illallah mengandung dua rukun asasi yang harus terpenuhi sebagai syarat
diterimanya syahadat seorang muslim:
Pertama: An-nafyu
(peniadaan) yang terkandung dalam kalimat ‘laa ilaaha’. Yaitu menafikan,
menolak dan meniadakan seluruh sembahan yang haq selain Allah, apapun jenis dan
bentuknya, baik yang masih hidup apalagi yang sudah mati, baik dari kalangan
malaikat yang terdekat dengan Allah maupun Rasul yang terutus, terlebih lagi
makhluk yang derajatnya di bawah keduanya.
Kedua: Al-itsbat (penetapan)
yang terkandung dalam kalimat ‘Illallah’. Yaitu menetapkan seluruh ibadah hanya
milik Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Baik yang zhahir seperti sholat,
zakat, haji, menyembelih dan lain-lain maupun yang batin seperti tawakkal,
harapan, ketakutan, kecintaan dan lain-lain. Baik berupa ucapan seperti dzikir,
membaca Al-Qur’an, berdoa dan sebagainya maupun perbuatan seperti ruku dan
sujud sewaktu sholat, tawaf dan sa`i ketika haji dan lain-lain.
Terkait dengan itu maka
sesungguhnya syahadat seseorang belumlah benar jika salah satu dari dua rukun
itu atau kedua-duanya tidak terlaksana. Misalnya ada orang yang hanya meyakini
Allah itu berhak disembah (hanya menetapkan) tetapi juga menyembah yang lain
atau tidak mengingkari penyembahan selain Allah (tidak menafikan). Berikut
penyebutan beberapa ayat Al-Qur`an yang menerangkan dua rukun laa ilaha
illallah ini,firman Allah subhanahu wa ta’ala :
وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ
إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى
وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُورًا
Sembahlah Allah dan
janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah
kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh [294], dan teman sejawat, ibnu sabil
[295] dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong dan membangga-banggakan diri,(QS. An Nisaa : 36 )
K e t e r a n g a n :
[294] Dekat dan jauh di
sini ada yang mengartikan dengan tempat, hubungan kekeluargaan, dan ada pula
antara yang muslim dan yang bukan muslim. [295] Ibnus sabil ialah orang yang
dalam perjalanan yang bukan ma'shiat yang kehabisan bekal. Termasuk juga anak
yang tidak diketahui ibu bapaknya.
Al-Imam Ibnul Qoyyim
berkata dalam Madarij As-Salikin (1/18): “Nama “Allah” menunjukkan bahwa Dialah
yang merupakan ma’luh (yang disembah) ma’bud (yang diibadahi). Seluruh makhluk
beribadah kepadanya dengan penuh kecintaan, pengagungan dan ketundukan”.
Makna ‘laa ilaaha illallah’ adalah ‘laa ma’buda
bihaqqin/haqqun illallah’ (tidak ada sembahan yang berhak untuk disembah
kecuali Allah). Al-Wazir Abul Muzhoffar berkata dalam Al-Ifshoh, “Lafazh
“Allah” sesudah “illa” menunjukkan bahwasanya penyembahan wajib (diperuntukkan)
hanya kepada-Nya, maka tidak ada (seorang pun) selain-Nya yang berhak
mendapatkannya”. Dan beliau juga berkata, “Dan termasuk faedah dari hal ini
adalah hendaknya kamu mengetahui bahwa kalimat ini mencakup kufur kepada
thaghut (semua yang disembah selain Allah) dan beriman hanya kepada Allah. Maka
tatkala engkau menafikan penyembahan dan menetapkan kewajiban penyembahan itu
hanya kepada Allah, maka berarti kamu telah kufur kepada thaghut dan beriman
kepada Allah”.
Makna inilah yang dipahami
oleh para sahabat dan para ulama setelah mereka sampai akhir zaman. Bahkan
makna inilah yang dipahami oleh kaum musyrikin Quraisy semacam Abu Jahl, Abu
Lahab dan selainnya. Sebagaimana yang diungkap oleh Allah Ta’ala pencipta
mereka dalam sebuah firman :
إِنَّهُمْ كَانُوا
إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
يَسْتَكْبِرُونَ وَيَقُولُونَ أَئِنَّا
لَتَارِكُوا آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَّجْنُونٍ
Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka:
"Laa ilaaha illallah" (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan
Allah) mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata: "Apakah sesungguhnya
kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair
gila?"(QS. Ash-Shaffat :
35-36 )
Dalam ayat lain Allah ta’ala juga berfirman :
أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
Mengapa ia menjadikan
tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal
yang sangat mengherankan. ”. (QS. Shad : 5)
Bagaimana jawaban kaum
musyrikin tatkala diperintah mengucapkan kalimat tauhid, spontan mereka menolak
seruan tersebut. Mereka menolak bukan karena jahil dan bodoh tentangnya, akan
tetapi justru karena mereka sangat mengetahui apa makna dan konsekwensi kalimat
ini yaitu harusnya meninggalkan semua sembahan mereka dan menjadikannya hanya
satu sembahan yaitu hanya Allah Ta’ala. Maka betapa celakanya seseorang yang
mengaku muslim, akan tetapi Abu Jahl lebih tahu dan lebih faham tentang makna
laa Ilaha illallah daripada dirinya{Lihat : Fathul Majid hal. 52-54 dan Kifayatul
Mustazid bisyarhi Kitabit Tauhid Bab. Tafsirut Tauhid karya Syaikh Shaleh Alu
Asy-Syaikh}
Berkata Syaikh ‘Abdul
‘Aziz bin Baz rahimahullah dalam Majmu’ Fatawabeliau (2/5): “Sesungguhnya saya
telah melihat tulisan yang ditulis oleh saudara kita di jalan Allah Al-‘Allamah
Asy-Syaikh ‘Umar bin Ahmad Al-Malibary tentang makna laa ilaha illallah, dan
saya memperhatikan apa yang beliau jelaskan tentang pendapat 3 kelompok dalam
maknanya. Dan penjelasannya:
Pertama: Laa Ma’buda
bihaqqin illallah (Tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali Allah).
Kedua: Laa Mutho’a
bihaqqin illallah (Tidak ada yang berhak ditaati kecuali Allah).
Ketiga: Laa Roba illallah
(Tidak ada Tuhan selain Allah).
Dan yang benar adalah
(makna) yang pertama sebagaimana yang beliau jelaskan. Dan (makna) inilah yang
ditunjukkan oleh Kitab Allah Subhanahu dalam beberapa tempat dalam Al-Qur`anul
Karim, seperti dalam firmanNya Subhanahu:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Hanya Engkaulah yang kami
sembah [*], dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. [**] (QS. Al Fatihah: 5 )
Keterangan :
[*] Na'budu diambil dari
kata 'ibaadat: kepatuhan dan ketundukkan yang ditimbulkan oleh perasaan
terhadap kebesaran ALlah, sebagai Tuhan yang disembah, karena berkeyakinan
bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya. [**] Nasta'iin (minta
pertolongan), terambil dari kata isti'aanah: mengharapkan bantuan untuk dapat
menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga
sendiri.
Dan firmanNya ‘Azza wa
Jalla:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ
إِحْسَانًا
“Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra`: 23)
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ
هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah
karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja
yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah,
Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al-Hajj: 62)
Sesungguhnya
maka Kalimat Laa Ilaaha Illallaah benar sebagai mana diuraikan diatas maka bagi
setiap muslim dituntut untuk melakukan ibadah
hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, karena hanya Hanya Allah lah
yang berhak untuk diibadahi secara benar. Sedangkan menurut syaikhul Islam
IbnuTaimiyah rahimahullaah makna dari ibadat adalah taat kepada Allah dengan
menjalankan apa yang telah diperintahkan-Nya melalui lisan-lisan para rasul.
Ibadah adalah hal-hal yang mencakup segala perkataan dan perbuatan, baik zhahir
maupun yang bathin yang dicintai dan diridhai oleh Allah.
Ibnu
Katsir rahimahullaah berkata “ beribadah kepada-Nya adalah taat kepada-Nya
dengan menjalankan perintah dan meninggalkan laranmgan. Yang sedemikian itulah
substansi dari agama Islam, sebab makna Islam adalah menyerahkan diri mkepada Allah
ta’ala mencakup kepatuhan, kerendahan dan ketundukan dengan penuh “ Beliau juga
berkata bahwa Allah menciptakan seluruh makhluk agar mereka menyembah-Nya
semata, tidak ada sekutu baginya. Barang siapa yang ta’at kepada-Nya, maka Dia
akan membalasnya dengan imbalan yang paling sempurna; dan barang siapa yang
berbuat maksiat kepada-Nya, maka Dia akan mengazabta dengan azab yang paling
pedih. Allah ta’ala juga memberitahukan,
bahwasa-Nya Dia tidak memiliki hajat kepada mereka. Bahkan merekalah orang-orang
yang amat berhajat kepada-Nya dalam setiap kondisi mereka, sebab Dia adalah
pencipta dan pemberi rezeki mereka.”
Implementasi Kalimat Laa Ilaaha Illallaah Dalam
Kehidupan Seorang Muslim
Kalimat Laa Illaaha
Illaallah yang merupakan kalimat pengakuan yang bukan saja merupakan kalimat yang dilafadzkan di bibir
tetapi sebenarnya ia wajib lahir lubuk
hati yang paling dalam pada diri setiap
kaum muslimin secara sadar dan ikhlas .Untuk itu maka konsekwensinya perlu diimplementasikan/direalisasikan oleh
setiap mulim dalam kehidupan sehari-harinya .
Bagi setiap yang mengaku
sebagai muslim wajib mengimplementasi (menerapkan ) kalimat syahadat Laa
Illaaha Illallah dalam kehidupan sehari-hari yaitu ditunjukjan dengan dua sikap
yaitu :
1 .Hanya Allah Subhanahu wa ta’ala Yang Maha
Pencipta Sebagai Satu-Satunya yang Wajib Untuk Disembah.
Hanya Allah subhanahu wa
ta’ala satu-satunya yang berhak untuk diibadahi. Dalam hal ini seluruh bentuk
peribadatan yang disyari’atkan dalam Islam berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah
hanyalah semata-mata diperuntukkan dan ditujukan hanya kepada Allah ta’ala,
baik shalat, berdoa, melakukan penyembelihan, bernazar, beristighasah, meminta
perlindungan, meminta pertolongan serta
apa saja yang digolongkan dan termasuk di
dalam peribadatan .
Allah ta’ala berfirman
:
وَمَا خَلَقْتُ
الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariyat:56)
Maksud dari kata
“menyembah” di ayat ini adalah mentauhidkan Allah dalam segala macam bentuk
ibadah, sebagaimana telah dijelaskan oleh Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu, seorang
sahabat dan ahli tafsir. Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa tujuan
penciptaan jin dan manusia di dunia ini hanya untuk beribadah kepada Allah
saja. Tidaklah mereka diciptakan agar menghabiskan waktu untuk bermain-main dan
bersenang-senang belaka. Sebagaimana firman Allah:
وَمَا خَلَقْنَا
السَّمَاء وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لَاعِبِينَ
لَوْ أَرَدْنَا أَن
نَّتَّخِذَ لَهْوًا لَّاتَّخَذْنَاهُ مِن لَّدُنَّا إِن كُنَّا فَاعِلِينَ
Dan tidaklah Kami
ciptakan Iangit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan
bermain-main [955].
Sekiranya Kami hendak
membuat sesuatu permainan, (isteri dan anak), tentulah Kami membuatnya dari
sisi Kami [956]. Jika Kami menghendaki berbuat demikian, (tentulah Kami telah
melakukannya). ( QS. Al Anbiyaa’ : 16-17 )
K e t e r a n g a n :
[955] Maksudnya:
Allah menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya itu
adalah dengan maksud dan tujuan yang mengandung hikmat.\
[956] Maksud:
"dari sisi Kami" ialah yang sesuai dengan sifat-sifat Kami
Allah subhanahu wa
ta’ala yang menciptakan manusia mempunyai hak atas hamba-Nya yaitu di
ibadahinya Allah oleh hamba, sebagaimana dijelaskan dalam hadits dari Mu’adz
bin Jabal radhyallahu’anhu :
صحيح البخاري ٢٦٤٤:
حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ سَمِعَ يَحْيَى بْنَ آدَمَ حَدَّثَنَا
أَبُو الْأَحْوَصِ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ عَمْرِو بْنِ مَيْمُونٍ عَنْ مُعَاذٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
كُنْتُ رِدْفَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى حِمَارٍ يُقَالُ لَهُ
عُفَيْرٌ فَقَالَ يَا مُعَاذُ هَلْ تَدْرِي حَقَّ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ وَمَا
حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ
فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ
شَيْئًا وَحَقَّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ
بِهِ شَيْئًا فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا أُبَشِّرُ بِهِ النَّاسَ قَالَ
لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا\
Shahih Bukhari 2644:
dari Mu'adz radliallahu 'anhu berkata: "Aku pernah membonceng di belakang
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam diatas seekor keledai yang diberi nama 'Uqoir
lalu Beliau bertanya: "Wahai Mu'adz, tahukah kamu apa hak Allah atas para
hamba-Nya dan apa hak para hamba atas Allah?" Aku jawab: "Allah dan
Rosul-Nya yang lebih tahu". Beliau bersabda: "Sesungguhnya hak Allah
atas para hamba-Nya adalah hendaklah beribadah kepada-Nya dan tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun dan hak para hamba-Nya atas Allah adalah
seorang hamba tidak akan disiksa selama dia tidak menyekutukan-Nya dengan
sesuatu apapun". Lalu aku berkata: "Wahai Rasulullah, apakah boleh
aku menyampaikan kabar gembira ini kepada manusia?" Beliau menjawab:
"Jangan kamu beritahukan mereka sebab nanti mereka akan berpasrah saja".
2.Meninggalkan dan
Menjauhi Segala Bentuk Menyekutukan Allah Subhanahu wa ta’ala
Syirik bukanlah hanya
sekedar diartikan dengan seseorang menyembah berhala atau mengakui ada
pencipta selain Allah. Meskipun menyembah berhala memang termasuk syirik.
Namun kesyirikan sebenarnya lebih luas daripada itu. Yaitu yang berkaitan
dengan masalah ibadah, jika ada satu ibadah dipalingkan kepada selain Allah,
itu pun sudah termasuk syirik.
Syirik merupakan
bahaya yang terbesar dan penyakit yang paling berbahaya. Syirik sebagai
penyakit hati, karena sumber kesyirikan bermula dari keyakinan (i’tiqad)
yang ada di dalam hati
Berbagai tradisi
warisan budaya yang selama ini masih banyak dilaksanakan dalam kehidupan
sehari-hari oleh masyarakat yang mengaku dirinya sebagai muslim seperti
keyakinan m ereka terhadap benda-benda kuno dan pusaka atau benda-benda- yang
bertuah , memberikan sesajen dalam berbagai acara ritual pesta adat ternyata
mengandung kesyirikan yang nyata. Karena dalam tradisi tersebut mengandung
banyak sekali perilaku keyakinan bahwa ada kekuatan atau kekuasaan lain selain
Allah yang dapat memberikan kemaslahatan dan kemudharatan bagi manusia.
Dilihat dari segi
syari’at agama perbuatan yang mempercai adanya kekuatan lain yang dapat
menimbulkan kemudharatan dan dapat memberian perlindungan kepada manusia
sebagai makhluk adalah suatu perbuatan yang sama dengan mengadakan tandingan
atas Allah Yang Maha Esa. Kepercayaan ini dinamakan syirik. Karena syirik itu
tidak hanya sebatas menyembah atau sujud kepada selain Allah Subhanahu
Wata’ala, tetapi segala macam perbuatan yang mengarah kepada pengakuan adanya
kekuatan dan kekuasaan lain yang menyamai kekuasaan dan kekuatan Allah
Subhanahu Wata’ala dikatagorikan dengan syirik.
Setiap muslim wajib
baginya untuk meninggalkan dan menjauhi segala perbuatan menyekutukan Allah (
syirik) karena perbuatan tersebut bertentangan dengan kalimat Laa Ilaaha
Illallaah. Dengan meninggalkan perbuatan syirik berarti telah menegakkan
kalimat tauhid dalam hidupnya.
Syirik Perbuatan Yang Bertolak Belakang Dengan Kalimat Laa
Ilaaha Illaah
Islam telah
mensyari’atkan sebagai kewajiban yang mutlak tanpa bisa ditawar-tawar bagi setiap
pemeluknya untuk mentauhidkan Allah Yang Maha Esa, baik tauhid Uluhiyah yaitu
mengesakan Allah Subhanahu Wata’ala dengan segala bentuk ibadah yang lahir
maupun bathin, dalam wujud ucapan maupun perbuatan, lalu menolak segala bentuk
ibadah terhadap selain Allah Ta’ala bagaimanapun bentuk dan perwujudannya.
Islam juga mensyari’atkan kewajiban mutlak bagi pemeluknya untuk mentauhidkan Allah dalam tauhid Rububiyah, yaitu pengakuan sejati bahwa Allah adalah Rabb dari segala sesuatu dan raja dari segala sesuatu,pencipta dan pemelihara segala sesuatu, yang berhak mengatur segala sesuatu. Allah tidak memiliki sekutu dalam kekuasaannya, tidak ada yang menolong-Nya, karena Dia Lemah ( tapi justeru Dia Maha Mampu), Tidak ada yang bisa menolak keputusan-Nya. Tidak ada yang bisa melawan-Nya, tidak ada yang bisa menandingi-Nya. Tidak ada yang bisa nenentang-Nya.
Islam juga mensyari’atkan kewajiban mutlak bagi pemeluknya untuk mentauhidkan Allah dalam tauhid Rububiyah, yaitu pengakuan sejati bahwa Allah adalah Rabb dari segala sesuatu dan raja dari segala sesuatu,pencipta dan pemelihara segala sesuatu, yang berhak mengatur segala sesuatu. Allah tidak memiliki sekutu dalam kekuasaannya, tidak ada yang menolong-Nya, karena Dia Lemah ( tapi justeru Dia Maha Mampu), Tidak ada yang bisa menolak keputusan-Nya. Tidak ada yang bisa melawan-Nya, tidak ada yang bisa menandingi-Nya. Tidak ada yang bisa nenentang-Nya.
Syaikh Abdurrahman
Hasan Alu Syaikh dalam kitabnya Fathul Majid menyebutkan “Setiap ibadah yang
diarahkan kepada selain Allah berupa doa dan lainnya, maka ia adalah bathil dan
syirik yang tidak diampuninya. Maka barang siapa menjadikan sekutu bagi Allah,
berarti ia menyeru kepada selain Allah, mencintainya dan berharap sesuatu yang
ia cita-citakan darinya untuk memenuhi hajatnya dan menyingkirkan petakanya-
seperti perilaku penyembah-penyembah kuburan, taghut dan berhala-berhala-tentu
mereka mengagungkan dan mencintai mereka karena permintaannya itu.Sesungguhnya
mereka mencintai sesembahan beserta Allah, meskipun mereka mencintai Allah
ta’ala dan mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah , mengerjakan shalat dan berpuasa.Mereka telah menyekutukan Allah
dam sisi kecintaan dengan mencintaidan menyembah selain-Nya,karena m ereka
telah menjadikan sekutu-sekutu. Mereka mencintai sekutu-sekutu tersebut
sebagaimana cinta kepada Allah.Maka batallah segala apa yang mereka ucapkan dan
amalkan. Karena orang musyrik amalnya tidak akan diterima dan tidak sah
darinya, meskipun mereka mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah.Mereka telah
meninggalkan segala ikatan, dimana kalimat yang agung ini diikat dengannya,
yaitu pengetahuan dan keyakinan, karena orang musyrik itu bodoh terhadap
maknanya.
Syaikh Al- Allamah Hafizh bin Ahmad Al-Hikami dalam buku Pintar Aqidah Ahlussunnah, menyebutkan bahwa kebalikan/lawan dari tauhid Uluhiyah adalah syirik.Syirik sendiri ada dua macam,pertama adalah syirik b esar yang berlawanan secara totaliktas dengan tauhid uluhiyah. Yang kedua adalah syirik kecil yang bisa merusak kesempurnaan tauhid..Selanjutnya dijelaskan bahwa syirik besar terjadi apabila seorang hamba menjadikan selain Allah sebagai sekutu-Nya yang ia menyamakannya dengan Rabbul ‘alamin, mencintainya seperti mencintai Allah, takut kepadanya seperti takutnya kepada Allah,minta perlindungan dan berdoa kepadanya . Takut dan berharap kepadanya, mencinta dan bertawakkal kepadanya, menaatinya dalam bermaksiat kepada Allah, atau mengikutinya meski berlawanan dengan keridhaan Allah.
Atas dasar itu maka bandingkanlah apa yang dilakukan oleh kebanyakan orang-orang yang mempunyai tradisi menyediakan sesajen bagi roh-roh halus, ghaib, jin dan syetan atau sesuatu yang dianggap dapat mendatangkan marabahaya/kemudharatan kalau tidak diberikan sesajen, dan akan terlindungi oleh mereka. Sangatlah jelas dan nampak terang benderang tidak terselubung bahwa apa yang diperbuat itu suatu kesyirikan besar.
Sungguh manusia sudah berbuat keterlaluan dan melakukan sesuatu yang tidak ada tuntunannya kecuali hanya sekedar mengikuti hawa nafsu yang didalamnya ada bisikan dan godaan syetan yang dilaknat, dan itu mereka lakukan berdasarkan tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang yang masih jahiliyah, tidak kenal akan tauhid, atau mereka ikuti dari meniru perbuatan orang-orang non muslim.
Mereka-mereka yang terbiasa dengan pekerjaan berbuat syirik kepada Allah, diancam oleh Allah berupa ancaman tidak akan diberikan ampunan, sebagaimana dengan melakukan perbuatan dosa lainnya selain syirik. Ini ditegaskan dalam al-Qur’an surah An- Nisaa ayat 48 :
إِنَّ اللّهَ لاَ
يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ
مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاء وَمَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا
عَظِيمًا
Sesungguhnya Allah
tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain
dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang
mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.(QS. An Nisaa: 48 )
Terhadap orang-orang yang berbuat syirik disebut Allah sebagai orang yang tersesat sejauh-jauhnya sebagaima bunyiAl-Qur’an surah An-Nisaa’ ayat 116 :
إِنَّ اللّهَ لاَ
يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاء وَمَن
يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً بَعِيدًا
Sesungguhnya Allah
tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni
dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang
mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat
sejauh-jauhnya. (QS. An Nisaa:
116 )
Orang-orang yang
melakukan kesyirikan seperti mereka-mereka yang mempertahankan budaya tradisi
syirik dalam kehidupannya sehari-hari diancam oleh Allah
SubhanahuWata’ala dengan hukuman api neraka, sebagaimana yang tercantum dalam
al-Qur’an surah Al-Maa-idah ayat 72 :
- إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّهُ عَلَيهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ
Sesungguhnya orang
yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan
kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang
zalim itu seorang penolongpun.(QS. Al Maa’idah : 72 )
Hadits Rasullullah
shallallahu’alaihi wa salam juga menyinggung hal yang sama sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Abdullah radhyallahu’anhu :
صحيح مسلم ١٢٤: حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ
وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا جَرِيرٌ وَقَالَ
عُثْمَانُ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ عَمْرِو
بْنِ شُرَحْبِيلَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ
الذَّنْبِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ قَالَ أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ
خَلَقَكَ قَالَ قُلْتُ لَهُ إِنَّ ذَلِكَ لَعَظِيمٌ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ
قَالَ ثُمَّ أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ مَخَافَةَ أَنْ يَطْعَمَ مَعَكَ قَالَ قُلْتُ
ثُمَّ أَيٌّ قَالَ ثُمَّ أَنْ تُزَانِيَ حَلِيلَةَ جَارِكَ
Shahih Muslim
124: dari Abdullah dia berkata, "Aku bertanya Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam, "Dosa apakah yang paling besar di sisi
Allah?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Kamu
membuat tandingan bagi Allah (syirik), sedangkan Dialah yang menciptakanmu."
Aku berkata, "Sesungguhnya dosa demikian memang besar. Kemudian apa
lagi?" Beliau bersabda: "Kemudian kamu membunuh anakmu karena
khawatir dia makan bersamamu." Aku bertanya lagi, "Kemudian apa
lagi?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. bersabda: "Kamu
berzina dengan isteri tetanggamu."
Kepada mereka-mereka akhlus syirik yang meskipun tanpa sadar telah melakukan kesyirikan karena kejahilannya terhadap ilmu agama, maka tidak ada cara lain yang harus dipilih dan ditempuh kecuali melakukan taubat meminta ampun atas prilaku sesat yang telah dilakukan, karena taubat dapat menghapus segala dosa, karena Allah telah menjanjikannya dalam Al-Qur’an sesuai dengan yang tercantum dalam surah Az-Zumar ayat 53:
-قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa ] semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS.Az-Zumar : 53 )
Menurut Allah Ta’ala setiap orang bertaubat niscaya mendapatkan ampunan termasuk mereka yang melakukan kesyirikan, asalkan mereka bertaubat sebelum nafasnya tinggal ditenggorokan ( sebelum ajal/kematian ) dan matahari terbit dari sebelah barat (kiamat). Apabila mati dalam keadaan syirik dan tidakbertaub at sebelumnya maka Allah tidak akan mengampuninya lagi.
K e s i m p u l a n
Makna syahadat Laa Ilaaha Illaallah
adalah meyakini bahwa tidak ada yang berhak mendapatkan ibadah kecuali Allah,
konsisten dengan pengakuan itu dan
mengamalkannya. La ilaaha menolak keberhakkan untuk diibadahi pada diri selain
Allah, siapapun orangnya. Sedangkan Illallah merupakan penetapan bahwa yang
berhak diibadahi hanyalah Allah. Sehingga makna kalimat ini adalah la ma’buda
haqqun illallah atau tidak ada sesembahan yang benar selain Allah. Sehingga
keliru apabila la ilaha illallah diartikan tidak ada sesembahan/tuhan selain
Allah, karena ada yang kurang. Harus disertakan kata ‘yang benar’ Karena pada
kenyataannya sesembahan selain Allah itu banyak. Dan kalau pemaknaan ‘tidak ada
sesembahan selain Allah’ itu dibenarkan maka itu artinya semua peribadahan orang
kepada apapun disebut beribadah kepada Allah, dan tentu saja ini adalah
kebatilan yang sangat jelas.
Kalimat Laa Illaaha
Illaallah yang merupakan kalimat pengakuan yang bukan saja merupakan kalimat yang dilafadzkan di bibir
tetapi sebenarnya ia wajib lahir lubuk
hati yang paling dalam pada diri setiap
kaum muslimin secara sadar dan ikhlas .Untuk itu maka konsekwensinya perlu diimplementasikan/direalisasikan oleh
setiap mulim dalam kehidupan sehari-harinya .( Wallaahu ta’ala ‘alam )
S u m b e r :
1.Al-Qur’an dan Terjemah,
www//salafi.db.04.com
2.Ensiklopedi
Hadits Kitab 9 Imam, www//lidwapusaka.com
3.Kitab
Tauhid ( Terjemahan ), Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab At-tamimi.
4.Fathul
Majid ( Terjemahan ). Syaikh Abdurrahman Hasan
Alu Syaikh
5.
Artikel
Jurnal Al-Atsariyyah Vol. 01/Th01/2006
6.Artikel
Al-Atsyariyah.com
Samarinda,
4 Rabiul Akhir 1434 H/ 15 Pebruari 2013
(
Musni Japrie )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar