Memperingati hari kelahiran yang lazim disebut
dengan ulang tahun di masyarakat muslim
di negeri ini selama beberapa dekade ini sudah berkembang semakin meluasnya, tidak
saja dilakukan oleh mereka-mereka kaum
yang berada, tetapi juga dilaksanakan oleh mereka-mereka yang hidupnya yang
tidak berkecukupan. Peringatan hari ulang tahun oleh sebagian kalangan kaum
muslim sepertinya sudah menjadi sebuah keharusan dan dianggap sebagai
perwujudan rasa syukur . Peringatan hari ulang tahun sudah menjadi tuntutan
dalam hidup bermasyarakat agar tidak disebut sebagai orang yang ketinggalan
zaman. Banyak diantara orang-orang di kalangan muslim yang memaksakan diri
menyelenggarakan minimal pesta atau hajatan kecil-kecilan untuk memperingati
hari ulang tahun anaknya dengan mengundang tetangga, dimana dalam cara ulang tahun tersebut
dilakukan peniupan lilin yang disediakan diatas kue ulang tahun kemudian
dinyanyikan lagu selamat ulang tahun, selanjutnya dilakukan pemotongan kue.
Tradisi dan budaya peringatan ulang tahun yang
banyak dilakukan oleh orang orang muslim dewasa ini yang dianggap sebagai wujud
rasa syukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala
sesungguhnya bukan bagian dari syari’at Islam, melainkan tradisi dan budaya
kaum kafir yang ditiru-tiru atau diikuti oleh orang-orang muslim yang jahil
akan agamanya.,
PERINGATAN HARI KELAHIRAN (ULANG TAHUN ) BUKAN
TRADISI DAN BUDAYA DALAM ISLAM
Setiap perbuatan yang dilakukan oleh anak manusia
tentunya dilatar belakangi oleh motivasi yang mendorong orang untuk melakukan
perbuatan tersebut. Termasuk dalam hal menyelenggarakan peringatan hari
kelahiran ( ulang tahun ) baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya (
anak-anak), dimana motivasi penyelenggaraan peringatan hari kelahiran ( ulang
tahun ) tersebut adalah adanya rasa kegembiraan dan terimakasih kepada Yang
Maha Pencipta atas adanya anugerah nikmat berupa kesehatan sehingga
bertambahnya umur .
Perwujudan rasa syukur yang ditujukan kepada Allah
berkaitan dengan nikmat umur dan kesehatan dalam Islam termasuk bagian dari
ibadah dan agama. Sedangkan setiap apa saja yang namanya terkait dengan ibadah
(agama dalam pengertian yang luas) sudah ada penetapan syari’at untuk dijadikan
pedoman. Hal-hal apa saja yang tidak termasuk dalam syari’at maka ia bukan
merupakan bagian dari agama.
Berkaitan dengan masalah penyelenggaraan peringatan
hari ulang tahun kelahiran, maka tidak ada satupun dalil yang dapat dijadikan
sandaran untuk memasukkannya sebagai bagian dari agama ( syari’at). Tidak ada
satupun hadits baik yang mau’dhu, dha’if apalagi yang shahih yang membicarakan
tentang peringatan hari ulang tahun.
Baik Rasullullah shallallahuu’alaihi wa sallam, para
sahabat-sahabat radhyallahu’anhu, para tabi’in dann tabi’ut tabi’in maupun para ulama salafus shalih yang pernah
melakukan peringatan hari kelahiran mereka, hal ini dapat dibuktikan dengan
tidak ada satupun riwayat tentang hal itu.
Seandainya peringatan hari ulang tahun termasuk
dalam bagian dari agama, maka tentunya Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam
tentunya Rasullullah akan menyebutkannya dan para sahabat radhyallahu’anhu
pasti mengikutinya.
Mengingat bahwa tidak adanya dalil yang dapa
dijadikan pegangan, maka sangatlah jelas bahwa peringatan hari kelahiran (
ulang tahun ) bukanlag bagian dari syari’at Islam, dan apa-apa yang dilakukan
oleh sebagian kalangan kaum muslimin yang selama ini menyelenggarakan
peringatan kelahiran ( ulang tahun ) merupakan perbuatan yang mengada-ada (
bid’ah ) dalam agama.
Apabila ditelusuri dari mana asalnya peringatan hari
kelahiran ( ulang tahun ) yang dilakukan oleh sebagian kalangan masyarakat
muslim, ternyata mereka contoh atau tiru dari tradisi dan budaya kaum kuffar.
Meniru atau mencontoh atau menyerupai
perbuatan orang-orang kuffar seperti penyelenggaraan peringatan hari kelahiran
dalam Islam disebut sebagai perbuatan tasyabbuh terhadap kaum kuffar, perbuatan
yang terlarang dalam Islam. . Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang
menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk darinya”. (HR. Abu Daud no. 4031 dari Ibnu Umar
-radhiallahu anhuma- dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (1/676)
dan Al-Irwa` no. 2384)
Sikap
meniru-niru atau mencontoh atau menyerupai kepada kalangan agama lain oleh
orang-orang islam , jauh-jauh hari telah disinyalir oleh Rasullulah shalalahu
alaihi wasallam yang tergambar dalam hadits beliau yang diriwayatkan oleh
Muslim dari Abu Sa’id bin Al-Khudri :
دَّثَنِي سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ مَيْسَرَةَ
حَدَّثَنِي زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ
قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَتَتَّبِعُنَّ
سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ
دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لَاتَّبَعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ
وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
و حَدَّثَنَا عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ
أَخْبَرَنَا أَبُو غَسَّانَ وَهُوَ مُحَمَّدُ بْنُ مُطَرِّفٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ
بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ قَالَ أَبُو إِسْحَقَ إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ حَدَّثَنَا أَبُو غَسَّانَ
حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ وَذَكَرَ الْحَدِيثَ نَحْوَهُ
Telah menceritakan kepadaku Suwaid bin Sa'id telah menceritakan
kepada kami Hafsh bin Maisarah telah menceritakan kepadaku Zaid bin Aslam dari
'Atha bin Yasar dari Abu Sa'id Al Khudri dia berkata
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sungguh,
kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian
sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka
masuk ke dalam lubang biawak pun kalian pasti kalian akan mengikuti
mereka." Kami bertanya; "Wahai Rasulullah, apakah mereka itu yahudi
dan Nasrani?" Beliau menjawab: "Siapa lagi kalau bukan
mereka.".- (HR.MUSLIM )
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab shahih
beliau dari Abu Hurairah radhyallahu’anhu :
صحيح البخاري ٦٧٧٤: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا ابْنُ
أَبِي ذِئْبٍ عَنْ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَقُومُ
السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِي بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا شِبْرًا بِشِبْرٍ
وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ فَقَالَ وَمَنْ
النَّاسُ إِلَّا أُولَئِكَ
Shahih Bukhari 6774: Telah
menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus telah menceritakan kepada kami Ibn Abu
Dzi'b dari Al Maqburi dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu, dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Hari kiamat tidak akan terjadi
hingga umatku meniru generasi-generasi sebelumnya, sejengkal demi sejengkal,
sehasta demi sehasta." Ditanyakan, "Wahai Rasulullah, seperti Persi
dan Romawi?" Nabi menjawab: "Manusia mana lagi selain mereka
itu?"
ASAL MUASAL PERINGATAN ULANG TAHUN DIKALANGAN KAUM KUFFAR
Ulang tahun pertama kali dimulai di Eropa. Dimulai
dengan ketakutan akan adanya roh jahat yang akan datang pada saat seseorang
berulang tahun, untuk menjaganya dari hal-hal yang jahat, teman-teman dan
keluarga diundang datang saat seseorang berulang tahun untuk memberikan do’a
serta pengharapan yang baik bagi yang berulang tahun. Memberikan kado juga
dipercaya dapat memberikan rasa gembira bagi orang yang berulang tahun sehingga
dapat mengusir roh-roh jahat tersebut.
Banyak simbol-simbol yang diasosiasikan atau
berhubungan dengan ulang tahun sejak ratusan tahun lalu. Ada sedikit penjelasan
mengapa perayaan ulang tahun harus menggunakan kue.
Dalam sebuah riwayat disebutkan waktu dulu bangsa Yunani menggunakan kue untuk
persembahan ke kuil DEWI BULAN,yang mereka sebut dewi Artemis. Mereka
menggunakan kue berbentuk bulat yang merepresentasikan bulan purnama. Cerita
lainnya tentang kue ulang tahun yang bermula di Jerman yang disebut sebagai
“Geburtstagorten” adalah salah satu tipe kue ulang tahun yang biasa digunakan
saat ulang tahun. Kue ini adalah kue dengan beberapa layer yang rasanya lebih
manis dari kue berbahan roti.
Simbol lain yang selalu menyertai kue ulang tahun
adalah penggunaan lilin ulang tahun di atas kue. Orang Yunani yang
mempersembahkan kue mereka ke Dewi Artemis juga meletakan lilin-lilin di
atasnya karena membuat kue tersebut terlihat terang menyala sepeti bulan .
Orang Jerman terkenal sebagai orang yang ahli membuat lilin dan juga mulai
membuat lilin-lilin kecil untuk kue mereka. Beberapa orang mengatakan bahwa
lilin diletakan dengan alasan keagamaan/religi. Beberapa orang jerman meletakan
lilin besar di tengah-tengah kue mereka untuk menandakan “Terangnya Kehidupan”
Yang lainnya percaya bahwa asap dari lilin tersebut akan membawa pengharapan
mereka ke surga.
Saat ini banyak orang hanya mengucapkan pengharapan
di dalam hati sambil meniup lilin. Mereka percaya bahwa meniup semua lilin yang
ada dalam satu hembusan akan membawa nasib baik. Pesta ulang tahun biasanya
diadakan supaya orang yang berulang tahun dapat meniup lilinnya.
Ada juga mitos yang mengatakan bahwa ketika kita
memakan kata-kata yang ada di atas kue, kata-kata tersebut akan menjadi
kenyataan. Jadi dengan memakan “Happy Birthday” akan membawa kebahagiaan.
Dapat disimpulkan bahwa melalui sejarahnya perayaan
ulang tahun ini adalah ritual kaum kuffar ( paganism ) terhadap DEWI BULAN (
Artemis
HUKUM MERAYAKAN ULANG TAHUN MENURUT PARA ULAMA
1.Hukum merayakan ulang tahun menurut Syaikh Abdul
Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah ta’ala :
Tidak diragukan lagi bahwa Allah telah
mensyari'atkan dua hari raya bagi kaum muslimin, yang pada kedua hari tersebut
mereka berkumpul untuk berdzikir dan shalat, yaitu hari raya ledul Fitri dan
ledul Adha sebagai pengganti hari raya-hari raya jahiliyah. Di samping itu
Allah pun mensyari'atkan hari raya-hari raya lainnya yang mengandung berbagai
dzikir dan ibadah, seperti hari Jum'at, hari Arafah dan hari-hari tasyriq.
Namun Allah tidak mensyari'atkan perayaan hari kelahiran, tidak untuk kelahiran
Nabi dan tidak pula untuk yang lainnya. Bahkan dalil-dalil syar'i dari Al-Kitab
dan As-Sunnah menunjukkan bahwa perayaan-perayaan hari kelahiran merupakan
bid'ah dalam agama dan termasuk tasyabbuh (menyerupai) musuh-musuh Allah dari
kalangan Yahudi, Nashrani dan lainnya. Maka yang wajib atas para pemeluk Islam
untuk meninggalkannya, mewaspadainya, mengingkarinya terhadap yang melakukannya
dan tidak menyebarkan atau menyiarkan apa-apa yang dapat mendorong
pelaksanaannya atau mengesankan pembolehannya baik di radio, media cetak maupun
televisi, berdasarkan sabda Nabi Saw dalam sebuah hadits shahih.
صحيح مسلم ٣٢٤٢: حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ
وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَوْنٍ الْهِلَالِيُّ جَمِيعًا عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ
قَالَ ابْنُ الصَّبَّاحِ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ
فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Shahih Muslim 3242: dari 'Aisyah dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Barangsiapa mengada-ngada sesuatu yang baru dalam
urusan (agama) kami, padahal kami tidak perintahkan, maka hal itu
tertolak."
Kemudian disebutkan dalam Shahih Muslim dari Jabir
Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa dalam salah
satu khutbah Jum'at beliau mengatakan.
"Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah
Kitabullah, sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru yang diada-adakan dan
setiap hal baru adalah sesat."[
Dan masih banyak lagi hadits-hadits lainnya yang
semakna. Disebutkan pula dalam Musnad Ahmad dengan isnad jayyid dari Ibnu Umar
, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang
menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk darinya”. (HR. Abu Daud no. 4031 dari Ibnu Umar
-radhiallahu anhuma- dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (1/676)
dan Al-Irwa` no. 2384)
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam
kitab shahih beliau dari Abu Hurairah radhyallahu’anhu :
صحيح البخاري ٦٧٧٤: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا ابْنُ
أَبِي ذِئْبٍ عَنْ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَقُومُ
السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِي بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا شِبْرًا بِشِبْرٍ
وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ فَقَالَ وَمَنْ
النَّاسُ إِلَّا أُولَئِكَ
Shahih Bukhari 6774: Telah
menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus telah menceritakan kepada kami Ibn Abu
Dzi'b dari Al Maqburi dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu, dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Hari kiamat tidak akan terjadi
hingga umatku meniru generasi-generasi sebelumnya, sejengkal demi sejengkal,
sehasta demi sehasta." Ditanyakan, "Wahai Rasulullah, seperti Persi
dan Romawi?" Nabi menjawab: "Manusia mana lagi selain mereka
itu?"
Masih banyak lagi hadits-hadits lainnya yang semakna
dengan ini, semuanya menunjukkan kewajiban untuk waspada agar tidak menyerupai
musuh-musuh Allah dalam perayaan-perayaan mereka dan lainnya. Makhluk paling
mulia dan paling utama, Nabi kita Muhammad, tidak pernah merayakan hari
kelahirannya semasa hidupnya, tidak pula para sahabat beliau pun, dan tidak
juga para tabi'in yang mengikuti jejak langkah mereka dengan kebaikan pada tiga
generasi pertama yang diutamakan. Seandainya perayaan hari kelahiran Nabi, atau
lainnya, merupakan perbuatan baik, tentulah para sahabat dan tabi'in sudah
lebih dulu melaksanakannya daripada kita, dan sudah barang tentu Nabi Saw
mengajarkan kepada umatnya dan menganjurkan mereka merayakannya atau beliau
sendiri melaksanakannya. Namun ternyata tidak demikian, maka kita pun tahu,
bahwa perayaan hari kelahiran termasuk bid'ah, termasuk hal baru yang
diada-adakan dalam agama yang harus ditinggalkan dan diwaspadai, sebagai
pelaksanaan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan perintah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagian ahli ilmu menyebutkan, bahwa yang pertama
kali mengadakan perayaan hari kelahiran ini adalah golongan Syi'ah Fathimiyah
pada abad keempat, kemudian diikuti oleh sebagian orang yang berafiliasi kepada
As-Sunnah karena tidak tahu dan karena meniru mereka, atau meniru kaum Yahudi
dan Nashrani, kemudian bid'ah ini menyebar ke masyarakat lainnya. Seharusnya
para ulama kaum muslimin menjelaskan hukum Allah dalam bid'ah-bid'ah ini,
mengingkarinya dan memperingatkan bahayanya, karena keberadaannya melahirkan
kerusakan besar, tersebarnya bid'ah-bid'ah dan tertutupnya sunnah-sunnah. Di
samping itu, terkandung tasyabbuh (penyerupaan) dengan musuh-musuh Allah dari
golongan Yahudi, Nashrani dan golongan-golongan kafir lainnya yang terbiasa
menyelenggarakan perayaan-perayaan semacam itu. Para ahli dahulu dan kini telah
menulis dan menjelaskan hukum Allah mengenai bid'ah-bid'ah ini. Semoga Allah
membalas mereka dengan kebaikan dan menjadikan kita semua termasuk orang-orang
yang mengikuti mereka dengan kebaikan.
Pada kesempatan yang singkat ini, kami bermaksud
mengingatkan kepada para pembaca tentang bid'ah ini agar mereka benar-benar
mengetahui. Dan mengenai masalah ini telah diterbitkan tulisan yang panjang dan
diedarkan melalui media cetak-media cetak lokal dan lainnya. Tidak diragukan
lagi, bahwa wajib atas para pejabat pemerintahan kita dan kementrian penerangan
secara khusus serta para penguasa di negara-negara Islam, untuk mencegah
penyebaran bid'ah-bid'ah ini dan propagandanya atau penyebaran sesuatu yang
mengesankan pembolehannya. Semua ini sebagai pelaksanaan perintah loyal
terhadap Allah dan para hambaNya, dan sebagai pelaksanaan perintah yang
diwajibkan Allah, yaitu mengingkari kemungkaran serta turut dalam memperbaiki
kondisi kaum muslimin dan membersihkannya dari hal-hal yang menyelisihi
syari'at yang suci. Hanya Allah lah tempat meminta dengan nama-namaNya yang
baik dan sifat-sifat-Nya yang luhur, semoga Allah memperbaiki kondisi kaum
muslimin dan menunjuki mereka agar berpegang teguh dengan KitabNya dan Sunnah
NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta waspada dari segala sesuatu yang
menyelisihi keduanya. Dan semoga Allah memperbaiki para pemimpin mereka dan
menunjuki mereka agar menerapkan syari'at Allah pada hamba hambaNya serta
memerangi segala sesuatu yang menyelisihinya. Sesungguhnya Allah Maha kuasa
atas hal itu.
2.Hukum merayakan ulang tahun menurut Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ta’ala ketika ditanya tentang apakah perayaan ulang
tahun anak termasuk tasyabbuh (tindakan menyerupai) dengan budaya orang barat
yang kafir ataukah semacam cara menyenangkan dan menggembirakan hati anak dan
keluarganya ?
Beliau memberikan jawaban bahwa :Perayaan ulang
tahun anak tidak lepas dari dua hal ; dianggap sebagai ibadah, atau hanya adat
kebiasaan saja. Kalau dimaksudkan sebagai ibadah, maka hal itu termasuk bid'ah
dalam agama Allah. Padahal peringatan dari amalan bid'ah dan penegasan bahwa
dia termasuk sesat telah datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau
bersabda:
"Artinya : Jauhilah perkara-perkara baru. Sesungguhnya
setiap bid'ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan berada dalam Neraka".
Namun jika dimaksudkan sebagai adat kebiasaan saja,
maka hal itu mengandung dua sisi larangan.
Pertama.
Menjadikannya sebagai salah satu hari raya yang
sebenarnya bukan merupakan hari raya ('Ied). Tindakan ini berarti suatu
kelalancangan terhadap Allah dan RasulNya, dimana kita menetapkannya sebagai
'Ied (hari raya) dalam Islam, padahal Allah dan RasulNya tidak pernah
menjadikannya sebagai hari raya.
Saat memasuki kota Madinah, Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam mendapati dua hari raya yang digunakan kaum Anshar sebagai waktu
bersenang-senang dan menganggapnya sebagai hari 'Ied, maka beliau bersabda.
"Artinya : Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi
kalian hari yang lebih baik dari keduanya, yaitu 'Idul Fitri dan 'Idul
Adha".
Kedua.
Adanya unsur tasyabbuh (menyerupai) dengan
musuh-musuh Allah. Budaya ini bukan merupakan budaya kaum muslimin, namun
warisan dari non muslim. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang
menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk darinya”. (HR. Abu Daud no. 4031 dari Ibnu Umar
-radhiallahu anhuma- dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (1/676)
dan Al-Irwa` no. 2384)
Kemudian panjang umur bagi seseorang tidak selalu
berbuah baik, kecuali kalau dihabiskan dalam menggapai keridhaan Allah dan
ketaatanNya. Sebaik-baik orang adalah orang yang panjang umurnya dan baik
amalannya. Sementara orang yang paling buruk adalah manusia yang panjang
umurnya dan buruk amalanya.
Karena itulah, sebagian ulama tidak menyukai do'a
agar dikaruniakan umur panjang secara mutlak. Mereka kurang setuju dengan
ungkapan : "Semoga Allah memanjangkan umurmu" kecuali dengan
keterangan "Dalam ketaatanNya" atau "Dalam kebaikan" atau
kalimat yang serupa. Alasannya umur panjang kadangkala tidak baik bagi yang
bersangkutan, karena umur yang panjang jika disertai dengan amalan yang buruk
-semoga Allah menjauhkan kita darinya- hanya akan membawa keburukan baginya,
serta menambah siksaan dan malapetaka.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
وَالَّذِينَ كَذَّبُواْ بِآيَاتِنَا سَنَسْتَدْرِجُهُم مِّنْ حَيْثُ
لاَ يَعْلَمُونَ
Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan
menarik mereka dengan berangaur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang
tidak mereka ketahui.( QS.Al-A’raf : 182 )
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
وَلاَ يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ أَنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ خَيْرٌ
لِّأَنفُسِهِمْ إِنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ لِيَزْدَادُواْ إِثْمًا وَلَهْمُ عَذَابٌ مُّهِينٌ
Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa
pemberian tangguh Kami kepada mereka [253] adalah lebih baik bagi mereka.
Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya
bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan. ( QS. Ali Imran :
178 )
3. Hukum merayakan ulang tahun menurut Al-Lajnah
ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyyah wal Ifta’ yang saat itu diketuai1 oleh
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz ibnu Abdillah ibnu Baz t memberikan penjelasan
tentang penyelenggaraan peringatan hari ulang tahun.
Asal dalam perkara ibadah adalah tauqif/berhenti di
atas nash (dalil Al-Qur’an dan as-Sunnah). Oleh karena itu, seseorang tidak
boleh melakukan ibadah yang tidak disyariatkan oleh Allah l, berdasar sabda
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam
hadits yang sahih:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang mengada-adakan sesuatu dalam perkara kami ini
padahal bukan bagian darinya maka amalan yang diada-adakan itu tertolak.”
Demikian pula sabdanya
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ علَيْهَا أمرنا فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang mengamalkan satu amalan yang tidak di atas perintah
kami maka amalan tersebut tertolak.”
Perayaan ulang tahun adalah satu macam ibadah yang
diada-adakan dalam agama Allah .Dengan demikian, memperingati ulang tahun siapa
pun tidak boleh dilakukan, bagaimanapun kedudukan atau perannya dalam kehidupan
ini. Makhluk yang paling mulia dan rasul yang paling afdhal yaitu Muhammad ibnu
Abdillah n, tidak pernah dihafal berita dari beliau n yang menyatakan bahwa
beliau n mengadakan perayaan hari kelahirannya. Tidak pula beliau n memberi
arahan kepada umatnya untuk merayakan dan memperingati ulang tahun beliau n.
Kemudian, orang-orang yang paling afdhal dari umat
ini setelah Nabi n, yaitu para khalifah umat ini dan para sahabat Rasulullah n,
tidak ada berita bahwa mereka memperingati ulang tahunnya atau ulang tahun
salah seorang dari mereka, semoga Allah l meridhai mereka semuanya.
Perlu selalu dicamkan bahwa kebaikan adalah dengan
mengikuti petunjuk mereka dan mengikuti urusan yang lurus/tegak yang diperoleh
dari madrasah Nabi mereka. Ditambah lagi, dalam bid’ah yang satu ini ada unsur
tasyabbuh (meniru/menyerupai) perbuatan Yahudi dan Nasrani, serta orang-orang
kafir selain mereka dalam hal perayaan-perayaan yang mereka ada-adakan.
Wallahul musta’an.
MEMPERINGATI HARI KELAHIRAN (ULANG TAHUN ) PERBUATAN
MENYERUPAI ORANG KAFIR YANG DILARANG DALAM ISLAM
Seluruh kebiasaan yang dilakukan oleh sebagian
orang-orang Muslim yang mereka contoh atau menyerupai kebiasaan orang-orang
kafir seperti memperingati hari kelahiran ( ulang tahun ) termasuk hal-hal yang
berkaitan dengan agama dan bukan yang berkaitan dengan hal keduniaan semata.
Berbagai kebiasaan yang diserupai tersebut
sesungguhnya adalah hal-hal yang bersifat baru, yang mana pada zamannya
Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam hal sedemikian tidak pernah dilakukan
dan Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam sendiri tidak pernah mengajarkan
atau mencontohkan atau memerintahkannya kepada para sahabat untuk melakukannya.
Begitu pula di zamannya sahabat radhyallahu’anhu tidak pernah pula melakukan
hal yang semacam itu. Selanjutnya di zaman para tabi’in dan tabi’ut tabi’in
rahimahullah ta’ala juga tidak pernah melakukan satupun perbuatan yang
menyerupai orang-orang kafir, karena mereka-mereka menyadari bahwa hal tersebut
merupakan perbuatan yang terlarang dan haram untuk dilakukan.
Tidak ada satupun hadits yang menggambarkan bahwa
pada zaman Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam maupun pada zamannya para
sahabat ada perbuatan yang dilakukan dengan menyerupai perbuatan atau tradisinya
orang-orang kafir ( dari kalangan Nasrani,
yahudi dan kaum musyrik lainnya ).
Perbuatan-perbuatan seperti peringatan ulang tahun
kelahiran, menyambut dan merayakan tahun
baru, memperingati hari kelahiran ( maulid) Nabi, memperingati Isra Mi’raj,
memperingati hari kematian, beribadah di kuburan, memberikan sesajen dan tumbal
kepada jin serta berbagai perbuatan yang lainnya seluruhnya merupakan perbuatan
yang baru di kalangan kaum Muslimin yang dilakukan oleh orang-orang generasi
belakangan .
Perbuatan menyerupai orang-orang kafir sebagaimana
yang banyak dilakukan oleh orang-orang Muslim dari kalangan awam dan jahil akan
agamanya sesungguhnya juga telah melanggar larangan-larangan, misalnya seperti
beribadah dikuburan yang oleh Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam dilarang
sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah ta’ala bahwa
5 hari menjelang wafatnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam beliau
bersabda :
عَنْ جُنْدَبٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَبْلَ أَنْ يَمُوتَ بِخَمْسٍ وَهُوَ يَقُولُ إِنِّي أَبْرَأُ إِلَى اللَّهِ أَنْ يَكُونَ
لِي مِنْكُمْ خَلِيلٌ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ اتَّخَذَنِي خَلِيلًا كَمَا اتَّخَذَ
إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِي خَلِيلًا لَاتَّخَذْتُ
أَبَا بَكْرٍ خَلِيلًا أَلَا وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ قُبُورَ
أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيهِمْ مَسَاجِدَ أَلَا فَلَا تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ مَسَاجِدَ
إِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ
Dari Jundab, dia berkata: Lima hari sebelum Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam wafat, aku mendengar beliau bersabda: “Aku berlepas diri
kepada Allah bahwa aku memiliki kekasih di antara kamu. Karena sesungguhnya
Allah telah menjadikanku sebagai kekasihNya sebagaimana Dia telah menjadikan
Ibrahim menjadi kekasihNya (QS. 4:125-pen). Jika aku menjadikan kekasih di
antara umatku, pastilah aku telah menjadikan Abu Bakar sebagai kekasih.
Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dahulu telah menjadikan
kubur-kubur Nabi-Nabi mereka dan orang-orang sholih mereka sebagai
masjid-masjid! Ingatlah, maka janganlah kamu menjadikan kubur-kubur sebagai
masjid-masjid, sesungguhnya aku melarang kamu dari hal itu!” (HSR. Muslim
no:532)
Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
rahimahullah bahwa bid’ah menurut
syari’at ialah beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala tanpa tuntunan syari’at Allah ta’ala atau tidak ada contoh
dari Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam dan tidak ada contoh dari para
sahabat radhyiallahu’anhu. Dalil pertama adalah surat asy-Syuura ayat 21 :
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاء شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن
بِهِ اللَّهُ وَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ
لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang
mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada
ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan
sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.(QS.Asy Syuura :21 )
Sedangkan yang dalil yang kedua ialah sabda
Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi
سنن الترمذي ٢٦٠٠: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ
بْنُ الْوَلِيدِ عَنْ بَحِيرِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ عَمْرٍو السُّلَمِيِّ عَنْ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ قَالَ
وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا
بَعْدَ صَلَاةِ الْغَدَاةِ مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ
مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ رَجُلٌ إِنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ
إِلَيْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ
وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّهَا ضَلَالَةٌ فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ
مِنْكُمْ فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ
عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَدْ رَوَى ثَوْرُ
بْنُ يَزِيدَ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَمْرٍو السُّلَمِيِّ
عَنْ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
نَحْوَ هَذَا حَدَّثَنَا بِذَلِكَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ وَغَيْرُ وَاحِدٍ
قَالُوا حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ عَنْ ثَوْرِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَمْرٍو السُّلَمِيِّ عَنْ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ وَالْعِرْبَاضُ بْنُ سَارِيَةَ
يُكْنَى أَبَا نَجِيحٍ وَقَدْ رُوِيَ هَذَا الْحَدِيثُ عَنْ حُجْرِ بْنِ حُجْرٍ عَنْ
عِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ
Sunan Tirmidzi 2600: dari
Abdurrahman bin Amru as Sulami dari al 'Irbadh bin Sariyah dia berkata; suatu
hari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memberi wejangan kepada kami
setelah shalat subuh wejangan yang sangat menyentuh sehingga membuat air mata
mengalir dan hati menjadi gemetar. Maka seorang sahabat berkata; 'seakan-akan
ini merupakan wejangan perpisahan, lalu apa yang engkau wasiatkan kepada kami
ya Rasulullah? ' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Aku
wasiatkan kepada kalian untuk (selalu) bertaqwa kepada Allah, mendengar dan
ta'at meskipun terhadap seorang budak habasyi, sesungguhnya siapa saja diantara
kalian yang hidup akan melihat perselisihan yang sangat banyak, maka jauhilah
oleh kalian perkara-perkara yang dibuat-buat, karena sesungguhnya hal itu
merupakan kesesatan. Barangsiapa diantara kalian yang menjumpai hal itu
hendaknya dia berpegang teguh dengan para Khulafaur Rasyidin yang mendapat
petunjuk, gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham."
Maka orang yang beribadah kepada Allah tanpa ada
tuntunan dari Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabatnya, dia
telah mubtadi’ ( orang akhli bid’ah), baik berkenaan dengan nama Allah ta’ala
dan sifat-Nya,hukum-hukum-Nya dan syari’at-Nya.Adapun urusan dunia yangmenjadi
kebiasaan manusia, maka tidak dinamakan bid’ah menurut agama. Sekalipun
dinamakan bid’ah atau perkara baru menurut bahasa, tgetapi tidaklah dilarang
oleh Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam. Tidak ada istilah bid’ah hasanah
selamanya, sedangkan sunnah hasanah adalah yang sesuai dengan syari’at islam (
Majmu Fatawa wa Rasa’il Ibnu Utsaimin 2/225, dikutip dari majalah a-Furqon
edisi 7 th ke 12 )
Bid’ah adalah hal yang baru dalam agama setelah agama
itu sempurna . Atau sesuatu yang dibuat-buat setelah wafatnya Nabi
shallalahu’alahi wa sallam berupa keinginan nafsu dan amal perbuatan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
mengungkapkan bahwa : “ Bid’ah dalam islam, adalah : segala yang tidak disyariatkan
oleh Allah dan Rasul-Nya,yakni yang tidak diperintahkan baik dalam wujud
perintah wajib atau berbentuk anjuran “
Sedangkan Imam Asy-Syathibi rahimahullah menyebutkan
bahwa :” Bid’ah itu adalah satu cara dalam agama ini yang dibuat-buat, bentuk
menyerupai ajrahn syari’at yang ada, tujuannya dilaksanakannya adalah untuk b
erlbnih-lebihan dalam ibadah kepada Allah “
Amalan-amalan yang dilakukan oleh kebanyakan kaum
muslimin yang bukan bersumber dan bukan perintah dari al-Qur’an dan as-Sunnah, maka amalan
tersebut tidak diterima oleh Allah ta’ala, sebagaimana yang dikatakan oleh
Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam sabda beliau :
صحيح البخاري ٢٤٩٩: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ
سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهَا قَالَتْ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ
فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
رَوَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَخْرَمِيُّ وَعَبْدُ الْوَاحِدِ
بْنُ أَبِي عَوْنٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ
Shahih Bukhari 2499: dari 'Aisyah radliallahu 'anha berkata;
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang membuat
perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya maka perkara itu
tertolak".
Dalam riwayat lain, Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
صحيح مسلم ٣٢٤٢: حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ
وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَوْنٍ الْهِلَالِيُّ جَمِيعًا عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ
قَالَ ابْنُ الصَّبَّاحِ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ
فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Shahih Muslim 3242: dari 'Aisyah dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Barangsiapa mengada-ngada sesuatu yang baru dalam
urusan (agama) kami, padahal kami tidak perintahkan, maka hal itu
tertolak."
Hadits Jabir bin Abdullah, bahwa Nabi Shalallahu
'Alaihi Wasallam pernah berkata dalam khuthbahnya:
صحيح مسلم ١٤٣٥: و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا
عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَبْدِ الْمَجِيدِ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ
احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلَا صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ
جَيْشٍ يَقُولُ صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ وَيَقُولُ بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةُ كَهَاتَيْنِ
وَيَقْرُنُ بَيْنَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى وَيَقُولُ أَمَّا بَعْدُ
فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ
الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا أَوْلَى
بِكُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ نَفْسِهِ مَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِأَهْلِهِ وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا
أَوْ ضَيَاعًا فَإِلَيَّ وَعَلَيَّ
و حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ مَخْلَدٍ
حَدَّثَنِي سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ حَدَّثَنِي جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ
قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُا كَانَتْ خُطْبَةُ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ يَحْمَدُ اللَّهَ وَيُثْنِي
عَلَيْهِ ثُمَّ يَقُولُ عَلَى إِثْرِ ذَلِكَ وَقَدْ عَلَا صَوْتُهُ ثُمَّ سَاقَ الْحَدِيثَ
بِمِثْلِهِ و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ
سُفْيَانَ عَنْ جَعْفَرٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ النَّاسَ يَحْمَدُ اللَّهَ وَيُثْنِي عَلَيْهِ
بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ يَقُولُ مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ
يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَخَيْرُ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ ثُمَّ سَاقَ الْحَدِيثَ
بِمِثْلِ حَدِيثِ الثَّقَفِيِّ
Shahih Muslim 1435: dari
Jabir bin Abdullah ia berkata, bahwasanya; Apabila Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam menyampaikan khutbah, maka kedua matanya memerah, suaranya
lantang, dan semangatnya berkobar-kobar bagaikan panglima perang yang sedang
memberikan komando kepada bala tentaranya. Beliau bersabda: "Hendaklah
kalian selalu waspada di waktu pagi dan petang. Aku diutus, sementara antara
aku dan hari kiamat adalah seperti dua jari ini (yakni jari telunjuk dan jari
tengah)." Kemudian beliau melanjutkan bersabda: "Amma ba'du.
Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Seburuk-buruk perkara
adalah perkara yang diada-adakan dan setiap bid'ah adalah sesat." Kemudian
beliau bersabda: "Aku lebih utama bagi setiap muslim daripada dirinya
sendiri. Karena itu, siapa yang meninggalkan harta, maka harta itu adalah
miliki keluarganya. Sedangkan siapa yang mati dengan meninggalkan hutang atau
keluarga yang terlantar, maka hal itu adalah tanggungjawabku." Dan telah
menceritakan kepada kami Abdu bin Humaid telah menceritakan kepada kami Khalid
bin Makhlad telah menceritakan kepadaku Sulaiman bin Bilal telah menceritakan
kepadaku Ja'far bin Muhammad dari bapaknya ia berkata; Saya mendengar Jabir bin
Abdullah berkata; Isi khutbah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pada hari
Jum'at adalah, beliau memuji Allah, dan membaca puji-pujian atas-Nya, kemudian
berliau menyampaikan khutbah dengan suara yang lantang. Kemudian ia pun
menyebutkan hadits. Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu
Syaibah telah menceritakan kepada kami Waki' dari Sufyan dari Ja'far dari
Bapaknya dari Jabir berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam jika
berkhotbah, beliau memuji Allah dan bersyukur kepadaNya kemudian beliau
melanjutkan dengan kata; "Barangsiapa yang Allah memberinya petunjuk,
niscaya tidak ada yang akan menyesatkannya, dan barangsiapa yang sesat, niscaya
tidak ada yang menunjukinya, dan sebaik-baik perkataan adalah Kitab Allah,
" kemudian hadits sebagaimana hadits Ats Tsaqafi.
Orang-orang yang mengamalkan bid’ah tertolak amalnya
dan disiksa pelakunya jika mereka tahu perkara bid’ah, karena mereka
menyelisihi sunnah Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam sebagaimana yang
disebutkan dalam surat al-Kahfi ayat 103-104 :
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا
الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ
أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا.
Katakanlah: "Apakah
akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi
perbuatannya?"Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam
kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat
sebaik-baiknya (QS.Al Kahfi : 103-104)
ISLAM MELARANG UMATNYA UNTUK TASYABBUH DENGAN KAUM KUFFAR
Seorang muslim memiliki kepribadian sendiri yang
membedakannya dan menjadikannya istimewa dari yang non muslim. Karenanya Allah
Ta’ala menghendaki agar dia nampak berbeda dari selainnya dari kalangan kafir
dan musyrik, demikian pula Nabi shallallahu alaihi wasallam telah
memperingatkan jangan sampai seorang muslim menyerupai orang kafir. Beliau
sangat mengharamkan tasyabbuh kepada orang kafir dari sisi penampilan luar
karena bisa mengantarkan kepada tasyabbuh dari sisi iman dan keyakinan,
karenanya beliau telah melarang kaum muslimin untuk tasyabbuh dengan mereka
dalam banyak hadits
Jamil bin Habib Al- Luwaihiq dalam buku beliau
Tasyabbuh yang Dilarang dalam Fiqih Islam mengatakan : bahwa ketika syariat islam berbeda dari
syariat yang lain, dan kaum muslimin berbeda dengan kaum-kaum lain adalah
sesuatu yang memang telah disengaja oleh Penetap Syariat. Harapannya adalah
agar setiap muslim tampil dengan kondisi yang paling sempurna sesuai dengan
dirinya. Hukum-hukum syari’at juga telah muncul dengan larangan untuk mengikuti
bangsa bangsa kafir terdahulu dan terkini.
Tasyabbuh (latah, meniru-niru, menyerupai, mirip)
secara umum adalah salah satu permasalahan yang sangat berbahaya bagi kehidupan
kaum muslimin, khususnya di abad-abad belakangan ini karena meluasnya daerah
interaksi kaum muslimin dengan pihak-pihak lain.
Muhammad Bin ‘Ali Adh Dhabi’i dalam bukunya Bahaya
Mengekor Non Muslim menyebutkan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata bahwa
Abu Daud telah meriwayatkan sebuah hadits hasan dari Ibnu ‘Umar,ia berkata
bahwa Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam bersabda
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang
menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk darinya”. (HR. Abu Daud no. 4031 dan
dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah: 1/676)
Sebenarnya islam dengan seluruhnya syari’atnya sudah
sempurna dan sangat lengkap untuk dijadikan panduan atau guide book oleh
pemeluknya sampai-sampai hal yang sangat sepele tentang adab buang air saja
sudah diajarkan. Karena sudah lengkap sudah barang tentu tidak boleh ada lagi
tambahan-tambahan yang datangnya dari mana saja, termasuk tentunya mencontoh
atau meniru-niru dari agama lain. Kalau memang tidak ada petunjuknya maka
berarti itu memang tidak dibolehkan untuk dilakukan.
Sikap meniru-niru atau mencontoh atau menyerupai
kepada kalangan agama lain oleh orang-orang islam , jauh-jauh hari telah
disinyalir oleh Rasullulah shalalahu alaihi wasallam yang tergambar dalam
hadits beliau yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Sa’id bin Al-Khudri :
دَّثَنِي سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ مَيْسَرَةَ
حَدَّثَنِي زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ
قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَتَتَّبِعُنَّ
سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ
دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لَاتَّبَعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ
وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
و حَدَّثَنَا عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ
أَخْبَرَنَا أَبُو غَسَّانَ وَهُوَ مُحَمَّدُ بْنُ مُطَرِّفٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ
بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ قَالَ أَبُو إِسْحَقَ إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ حَدَّثَنَا أَبُو غَسَّانَ
حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ وَذَكَرَ الْحَدِيثَ نَحْوَهُ
Telah menceritakan kepadaku Suwaid bin Sa'id telah menceritakan
kepada kami Hafsh bin Maisarah telah menceritakan kepadaku Zaid bin Aslam dari
'Atha bin Yasar dari Abu Sa'id Al Khudri dia berkata
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sungguh,
kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian
sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka
masuk ke dalam lubang biawak pun kalian pasti kalian akan mengikuti
mereka." Kami bertanya; "Wahai Rasulullah, apakah mereka itu yahudi
dan Nasrani?" Beliau menjawab: "Siapa lagi kalau bukan
mereka.".- (HR.MUSLIM )
Hadits diriwayatkan oleh Imam Nasa’i dalam kitab
sunannya dari Ibnu Umar :
سنن النسائي ٤٩٨٦: أَخْبَرَنِي عُثْمَانُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ جَنَابٍ قَالَ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ عَنْ هِشَامِ
بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيِّرُوا
الشَّيْبَ وَلَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ
Sunan Nasa'i 4986: Telah
mengkhabarkan kepadaku Utsman bin Abdullah, dia berkata; telah menceritakan
kepada kami Ahmad bin Janab, dia berkata; telah menceritakan kepada kami Isa
bin Yunus dari Hisyam bin 'Urwah dari ayahnya dari Ibnu Umar, dia berkata;
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ubahlah uban
kalian dan janganlah kalian meniru orang-orang Yahudi."
Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiallahu anhuma
dia berkata: Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا
“Bukan termasuk golongan kami orang yang menyerupai kaum selain
kami.” (HR. At-Tirmizi no. 2695)
Selanjutnya disebutkan bahwa hadits diatas
menetapkan haramnya meniru-niru kepada sesuatu kaum diluar islam, secara dhahir
menunjukkan bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan kufur dan hal ini sejalan
denagn hadits yang diriwayatkan darei Abdullah bin ‘Amr bahwa Nabi Shallalahu
‘alaihi wasallam bersabda :
“ Barang siapa menetap di negeri kaum musyrik dan ia mengikuti
hari raya dan hari besar mereka, serta meniru prilaku mereka sampai mati, maka
kelak ia akan dikumpulkan bersama mereka dihari kiamat.” ( HR.Baihaqi)
Dari hadits diatas bisa berarti bahwa meniru-niru
perilaku mereka sepenuhnya menyebabkan kekafiran, sekaligus menetapkan bahwa
perbuatan semacam itu haram. Atau bisa juga bermakna orang tersebut menjadi
bagian dari mereka sesuai dengan kadar keterlibatannya dalam meniru mereka.
Tegasnya hadits tersebut diatas menetapkan haramnya
meniru mereka . Larang ini mencakup arangan sekadar meniru sesuatu yang mereka
lakukan. Barang siapa yang meniru perbuatan golongan lain yang menjadi ciri
golongan tersebut, maka perbuatan semacam itu dilarang.
Dari keterangan yang telah dikemukakan diatas maka
sangatlah jelas adanya dalil yang dapat dijadikan dasar dan hujjah agar kaum
muslimin tidak meniru-niru, menyerupai, mirip dan ikut-ikutan dengan
perilakunya mereka-mereka diluar islam. Dan secara tegas telah ditetapkan
perbuatan meniru-niru kepada orang-orang diluar islam merupakan perbuatan
terlarang dan diharamkan.
HUKUM TASYABBUH DENGAN ORANG-ORANG KUFFAR
Suatu amalan yang menyerupai ciri khas orang-orang
kafir akan dihukumi sebagai tasyabbuh, walaupun tidak ada niatan untuk
menyerupainya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Demikian pula larangan
tasyabbuh dengan mereka, mencakup perkara-perkara yang engkau niatkan untuk
menyerupai mereka dan juga yang tidak engkau niatkan untuk menyerupai mereka.”
(Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, 1/473, lihat pula 1/219-220, 226-227, dan
272).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Telah kami
sebutkan sekian dalil dari Al Qur’an, As Sunnah, Ijma’, atsar (amalan/
perkataan shahabat dan tabi’in), dan pengalaman1, yang semuanya menunjukkan
bahwa menyerupai mereka dilarang secara global. Sedangkan menyelisihi tata cara
mereka merupakan sesuatu yang disyariatkan baik yang sifatnya wajib ataupun
anjuran sesuai dengan tempatnya masing-masing.” (Iqtidha Ash-Shirathil
Mustaqim, 1/473)
Bahaya
Tasyabbuh dengan Orang-Orang Kafir
Di antara bahaya dan dampak negatif tasyabbuh
adalah:
1. Bahwa partisipasi dalam penampilan dan akhlak
akan mewarisi kesesuaian dan kecenderungan kepada mereka, yang kemudian
mendorong untuk saling menyerupai dalam hal akhlak dan perbuatan.
2. Bahwa menyerupai dalam penampilan dan akhlak,
menjadikan kesamaan penampilan dengan mereka, sehingga tidak tampak lagi
perbedaan secara dzahir antara umat Islam dengan Yahudi dan Nashara
(orang-orang kafir).
3. Dan bila terjadi pada hal-hal yang menyebabkan
kekafiran, maka sungguh telah jatuh ke dalam cabang kekafiran.
4. Tasyabbuh dengan orang-orang kafir dalam
perkara-perkara dunia akan mewariskan kecintaan dan kedekatan terhadap mereka.
Lalu bagaimana dalam perkara-perkara agama? Sungguh kecintaan dan kedekatan itu
akan semakin besar dan kuat, padahal kecintaan dan kedekatan terhadap mereka
dapat meniadakan keimanan seseorang.
5.“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu
Dawud dari shahabat Abdullah bin ‘Umar c, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
dalam Shahih Al-Jami’ no. 6025)
(Diringkas dari kitab Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim
juz 1, hal. 93, 94, dan 550)
TIDAK MELAKUKAN PERINGATAN HARI ULANG TAHUN AGAR BERBEDA
DENGAN ORANG-ORANG KAFIR
Sesungguhnya dalil-dalil Al-Qur'an dan Sunnah
menunjukkan akan besarnya perkara menyelisihi jalannya orang-orang kafir. Di
antara pentingnya penyelisihan tersebut –terkandung di dalamnya bahaya
penyerupaan terhadap mereka- adalah sebagai berikut:
Allah –ta'ala- berfirman:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا
وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ * إِنَّهُمْ لَنْ يُغْنُوا عَنْكَ
مِنَ الله شَيْئًا وَإِنَّ الظَّالِمِينَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَالله وَلِيُّ
الْمُتَّقِين [الجاثية/18، 19]
"Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat
(peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu
ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka
sekali-kali tidak akan dapat menolak darimu sedikitpun dari siksaan Alloh. Sesungguhnya
orang-orang yang zalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang
lain dan Alloh adalah pelindung orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Jatsiyah:
18-19)
Pentingnya berbeda atau menyelisihi orang-orang
kafir juga ditegaskan dalam beberapa hadits Rasullullah shallallahu’alaihi wa
sallam dimana beliau memerintahkan untuk menyelisihi orang-oramng kafir
sebagaimana hadits dari Ibnu Umar
-radhiallahu anhuma-:
خَالِفُوا الْمُشْرِكِيْنَ: أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللُّحَى
“Selisihilah orang-orang musyrikin: Cukurlah kumis dan
peliharalah jenggot”. (HR. Al-Bukhari no. 5553 dan Muslim no. 259)
Dalam hadits dari Abu Hurairah , ia berkata bahwa
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:
صحيح مسلم ٣٨٢: حَدَّثَنَا سَهْلُ بْنُ عُثْمَانَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ
بْنُ زُرَيْعٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا نَافِعٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَالِفُوا
الْمُشْرِكِينَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى
Shahih Muslim 382: Telah
menceritakan kepada kami Sahal bin Utsman telah menceritakan kepada kami Yazid
bin Zurai' dari Umar bin Muhammad telah menceritakan kepada kami Nafi' dari
Ibnu Umar dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Selisihilah kaum musyrikin, cukurlah kumis dan peliharalah jenggot."
Hadits tersebut diakhiri dengan perintah yang
selaras dengan bagian awalnya. Hadits itu menunjukkan bahwa sifat berbeda
terhadap golongan Majusi merupakan tujuan syari‘at. Tujuan inilah yang
merupakan salah satu sebab adanya ketetapan hukum ini. Secara umum berlaku
sebab ketetapan suatu hukum telah lengkap.
Oleh karena itu, setelah kaum salaf memahami
larangan menyerupai golongan Majusi dalam masalah kumis dan jenggot, mereka
juga membenci menyerupai hal-hal yang lain yang merupakan kebiasaan Majusi
walaupun tidak ditegaskan secara khusus oleh Nabi .
Imam Marwazi berkata: “Saya bertanya kepada Imam
Ahmad bin Hambal tentang mencukur rambut bagian tengkuk. Jawabnya, perbuatan
itu merupakan perbuatan kaum Majusi dan barang siapa meniru suatu kaum maka dia
termasuk golongan mereka.”
Pada sebuah hadits dari Syadad bin Aus, ia berkata
bahwa
Rasulullah Shalallohu 'alaihi wasallam bersabda:
سنن أبي داوود ٥٥٦: حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا
مَرْوَانُ بْنُ مُعَاوِيَةَ الْفَزَارِيُّ عَنْ هِلَالِ بْنِ مَيْمُونٍ الرَّمْلِيِّ
عَنْ يَعْلَى بْنِ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَالِفُوا
الْيَهُودَ فَإِنَّهُمْ لَا يُصَلُّونَ فِي نِعَالِهِمْ وَلَا خِفَافِهِمْ
Sunan Abu Daud 556: Telah
menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah menceritakan kepada kami
Marwan bin Mu'awiyah Al-Fazari dari Hilal bin Maimun Ar-Ramli dari Ya'la bin
Syaddad bin Aus dari Ayahnya dia berkata; Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam
bersabda: "Selisihilah orang-orang yahudi, yang mereka beribadah dengan
tidak mengenakan sandal-sandal dan juga khuf (sepatu) mereka."
Juga hadits dari ‘Amr bin ‘Ash ia berkata bahwa
Rasulullah Shalallohu 'alaihi wasallam bersabda:
صحيح مسلم ١٨٣٦: حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ
عَنْ مُوسَى بْنِ عُلَيٍّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي قَيْسٍ مَوْلَى عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ
عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَصْلُ
مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ
و حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ
جَمِيعًا عَنْ وَكِيعٍ ح و حَدَّثَنِيهِ أَبُو الطَّاهِرِ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ
كِلَاهُمَا عَنْ مُوسَى بْنِ عُلَيٍّ بِهَذَا الْإِسْنَادِ
Shahih Muslim 1836: Telah
menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah menceritakan kepada kami
Laits dari Musa bin Ulay dari bapaknya dari Abu Qais Maula Amru bin Ash, dari
Amru bin Ash bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Perbedaan antara puasa kita dengan puasanya Ahli Kitab adalah makan
sahur." Dan telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dan Abu Bakar
bin Abu Syaibah semuanya dari Waki' -dalam jalur lain- Dan telah
menceritakannya kepadaku Abu Thahir telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb
keduanya dari Musa bin Ulayy dengan isnad ini.
Hal ini menunjukkan bahwa membedakan dua macam
ibadah tersebut merupakan tujuan syari‘at. Jika dengan sikap menyelisihi
orang-orang non-Islam merupakan suatu cara untuk menampakkan Islam, maka
perbuatan tersebut merupakan tujuan pokok dari diutusnya para rasul, karena
maksud diutusnya para rasul Allah adalah untuk memenangkan agama Allah di atas
agama-agama lain.
K E S I M P U L A N
1. Merupakan suatu kenikmatan besar bagi seluruh
kaum Muslimin yang patut disyukuri karena dengan dipilih dan ditetapkannya
Islam sebagai agama bagi kaum muslimin. Mengingat syari’at Islam merupakan
syari’at yang lengkap dan sempurna maka tidak diperlukan lagi adanya
penambahan-penambahan diluar apa yang telah ditetapkan. Tetapi meskipun
demikian masih ada saja diantara kaum muslimin yang menganggap bahwa dalam
syari’at Islam masih belum lengkap sehingga mereka menambahinya dengan
mengambil dari apa-apa yang dilihatnya pada diri orang-orang kafir. Maka
orang-orang muslim itu lalu melakukan penyerupaan, meniru-niru atau mengikuti
tradisi dari orang-orang kafir yang jauh menyimpang. Seperti menyelenggarakan
peringatanm hari kelahiran ( ulang Tahun )
2.Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasullullah
shallallahu’alaihi wa sallam sesungguhnya telah melarang kaum muslimin untuk
menyerupai, meniru-meniru atau mengikuti ( tasyabbuh ) terhadap orang-orang
kafir dan memerintahkan untuk
menyelisihi atau berbeda dengan mereka tertsebut. . Karena dengan menyelisihi
orang-orang kafir tersebut maka akan jelaslah perbedaan antara agama yang hak
dan yang bathil. Karenanya bagi umat Islam tidak sepatutnya menyelenggarakan
peringatan hari ulang tahun sebagaimana yang dilakukan oleh kaum kuffar.
3. Bahwa di antara inti penyebab hilangnya agama dan
syariat Allah serta munculnya kekafiran dan kemaksiatan adalah tasyabbuh (penyerupaan)
terhadap orang-orang kafir, sebagaimana inti segala kebaikan adalah dengan
melestarikan sunnah-sunnah para Nabi dan syariat mereka.
4.Larangan syari’at Islam bagi umatnya untuk menyerupai dan perintah
untuk menyelisihi orang-orang kafir sesungguhnya mengandung hikmah yaitu untuk membedakan antara kaum Muslimin
dengan orang-orang kafir, maka patut untuk mendapatkan perhatian bagi sebagian
orang-orang muslim yang suka bertasyabbuh kepada orang-orang kafir.
( Wallaahu ta’ala a’lam )
S u m b e r
1. Al-Qur’an dan Terjemahan, www.salafi-db
2. Ensiklopedi Hadits Kitab 9 Imam,
www.lidwapusaka.com
3. B ahaya Mengekor non Muslim ( Muhtarat Iqtidha’
Ash-Shirathal Mustaqim ), Muhammad bin ‘Aliu Adh Dhabi’i
4.Pentingnya Menyelisihi Jalan Orang-Orang Kafir,Abu
Fairuz
5.Fatawa Syaikh Bin Baz,SyaIKH Abdul Aziz bin Abdullah bin
Baaz, edisi Indonesia
6.Ensiklopedi Fatwa Syaikh Utsaimin, Syaikh Sholah
Mahmud As-Sa’id, edisi Indonesia.
7.Fatwa-Fatwa Terkini, Darul Haq
8. Majalah AsySyariah Edisi 070
9. Artikel www.muslim.or.id
10. Artikel www.almanhaj.or.id
11. Artikel www.abuayaz.blogspot.com
Samarinda, Jum’at ba’da ashar , 17 Jumadil awal 1434 H / 29
Maret 2013
( Musni Japrie )