Jumat, 14 Juni 2013

SIKAP DANJ PERILAKU YANG DILARANG DILAKUKAN OLEH SEORANG MUSLIM TERHADAP MUSLIM LAINNYA ( BAGIAN KELIMA )


Dalam artikel terdahulu telah dikemukan beberapa hal tentang larangan bagi seorang muslim yang dilakukan terhadap sesama muslim lainnya yang merupakan saudara seagama, maka untuk lebih melengkapi lagi larangan-larangan yang telah diatur dalam Islam, maka berikut ini diketengahkan pula larangan-larangan yang lainnya . Yang meliputi berbagai hal sebagai berikut :

Larangan bertindak emosional Kepada Sesama Muslim

Islam telah menggariskan berbagai aturan larangan  kepada seluruh umatnya, antara lain salah satunya adalahj larangan  agar tidak menjadi orang yang pemarah ( emosional ) terhadap sesama saudaranya sesama muslim, karena sikap emosional itu tidak saja merugikan bagi orang lain tetapi lebih-lebih lagi akan menimbulkan itperselisihan apabila timbul reaksi yang juga emosional, dan ujung-ujungnya mungkin terjadi perkelahian sebagai jalan terakhir yang ditempuh.
Nash yang dijadikan landasan hukum larangan marah ( emosional ) dalam Islam adalah beberapa hadits Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam yaitu :
1.Hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari rahimahullah ta’ala dari Abu Hurairah radhyallahu’anhu :

صحيح البخاري ٥٦٥١: حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ هُوَ ابْنُ عَيَّاشٍ عَنْ أَبِي حَصِينٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ فَرَدَّدَ مِرَارًا قَالَ لَا تَغْضَبْ
Shahih Bukhari 5651: dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam; "Berilah aku wasiat?" beliau bersabda: "Janganlah kamu marah." Laki-laki itu mengulangi kata-katanya, beliau tetap bersabda: "Janganlah kamu marah."

 Dalam hadist tersebut Rasullullah shallallhu’alaihi wa sallam memberikan wasiat kepada seorang laki-laki yang meminta wasiat kepada beliau, dan beliau mewasiatkan agar “janganlah kamu marah “ Hadits Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam tersebut secara tegas melarang umatnya untuk tidak boleh marah .

2. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah ta’ala dari Abu Hurairah radhyallahu’anhu :

صحيح البخاري ٥٦٤٩: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ\
Shahih Bukhari 5649: dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah orang yang kuat adalah orang yang pandai bergulat, tapi orang yang kuat adalah orang yang dapat menahan nafsunya ketika ia marah."

 Dalam hadits yang kedua ini Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam menyebutkan bahwa  orang yang kuat adflah orang yang dapat menahan nafsunya ketika marah, yaitu menahan emosinya agar tidak dilampiaskan keluar. Dari hadits tersebut diatas tersirat larangan kepada kaum muslimin untuk tidak bersikap emosional.

3.Hadits yang juga diriwayatkan oleh imam Bukhari rahimahullah ta’ala dalam kitab shahih-nya yang bersumber dari Sulaiman bin Shurd :

صحيح البخاري ٥٦٥٠: حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ عَدِيِّ بْنِ ثَابِتٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ صُرَدٍ قَالَ
اسْتَبَّ رَجُلَانِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ عِنْدَهُ جُلُوسٌ وَأَحَدُهُمَا يَسُبُّ صَاحِبَهُ مُغْضَبًا قَدْ احْمَرَّ وَجْهُهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ لَوْ قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ فَقَالُوا لِلرَّجُلِ أَلَا تَسْمَعُ مَا يَقُولُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنِّي لَسْتُ بِمَجْنُونٍ
Shahih Bukhari 5650: Sulaiman bin Shurd dia berkata; "Ada dua orang yang saling mencerca di samping Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, sementara kami duduk-duduk di samping beliau, salah seorang darinya mencerca temannya sambil marah, hingga wajahnya memerah, maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya saya mengetahui suatu kalimat yang apabila ia membacanya, niscaya kemarahannya akan hilang, sekiranya ia mengatakan; "A'uudzubillahi minasy syaithaanir rajiim." Lalu orang-orang berkata kepada laki-laki itu; "Apakah kamu tidak mendengar apa yang di katakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam? Justru laki-laki itu menimpali; "Sesungguhnya aku tidaklah gila."

Menurut hadits tersebut diatas bahwa Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam mengajari orang yang sedang marah dan kemarahannya ( emosi ) yang semakin meningkat agar b erlindung dari syaitan dengan memngucapkan “ a’uudzubillahi…

Larangan melakukan tindakan   yang dapat menimbulkan kerugian Kepada Sesama Muslim

Banyak diantara kaum muslimin baik secara sadar ataupun tidak telah bersikap atau  bertindak /melakukan sesuatu perbuatan yang sesungguhnya untuk mendapatkan mafaat bagi pribadinya namun  pada hakikatnya dapat menimbulkan kerugian terhadap sesama muslim lainnya. Padahal Islam melarang umatnya untuk melakukan tindakan atau perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian kepada pihak lain.
Sesungguhnya banyak sekali perbuatan yang dilakukan oleh seorang muslim yang sangat berpeluang untuk menimbulkan dampak kerugian kepada muslim  lainnya , baik dalam hal-hal yang bersifat kecil dan sepele sampai kepada perbuatan yang menimbulkan kerugian yang besar.
Perbuatan yang nampaknya kecil dan sepele  yang dilakukan oleh seseorang muslim tetapi menimbulkan dampak yang merugikan terhad ap muslim lainnya ialah yang berkenaan dengan mengendarai kendaraan tanpa memperhatikan rambu-rambu dan tanpa peduli dengan orang lain sehingga kemungkinan dapat terjadinya kecelakaan dengan menabrak pihak lain, akibatnya selain kerugian yang menimpa yang bersangkutan juga menimpa pihak lain yang  menjadi korban. Berkenaan dengan ini diriwayatkan sebuah hadits dari imam  Mâlik rahimahullah dalam al-Muwaththa':

عَنْ أَبِـيْ سَعِيْدٍ سَعْدِ بْنِ مَالِكِ بْنِ سِنَانٍ الْـخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّـى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Dari Abû Sa’îd Sa’d bin Mâlik bin Sinân al-Khudri Radhyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain.”

Hadits ini menunjukkan bahwa seorang Muslim tidak boleh memudharatkan (membahayakan) orang lain tanpa alasan yang benar. Seorang Muslim tidak boleh memudharatkan orang yang memudharatkannya, tidak boleh mencaci orang yang mencacinya dan tidak boleh memukul orang yang memukulnya. Untuk meminta haknya, ia bisa memintanya melalui hakim tanpa harus mencaci-maki. Dalam banyak hadits, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang segala yang mendatangkan bahaya atas kaum Muslimin.
Larangan lain yang berkenaan dengan  tindakan seorang muslim yang dapatr merugikan muslim lainnya adalah mengambil/menguasai harta ( dalam arti yang luas seperti tanah/kebun ). Larangan tersebut dipertegas dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala :

وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُواْ بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُواْ فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُو

Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS.Al Baqarah : 188 )
  
Tindakan atau perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian oleh seorang muslim terhadap muslim lainya, biasanya banyak pula terjadi dalam hal hubungan jual beli.Akan hal ini Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam melarang adanya jual beli yang dapat menimbulkan kerugian, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh imam Abu Daud rahimahullah ta’ala dalam kitab sunan beliaudari Abu Hurairah radhyallahu’anhu :

سنن أبي داوود ٢٩٣٢: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ وَعُثْمَانُ ابْنَا أَبِي شَيْبَةَ قَالَا حَدَّثَنَا ابْنُ إِدْرِيسَ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
زَادَ عُثْمَانُ وَالْحَصَاةِ
Sunan Abu Daud 2932: dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang menjual secara ghaghar (transaksi jual beli yang mengandung unsur ketidakjelasan, penipuan, pertaruhan, dan hal-hal yang merugikan), sedang Utsman menambahkan dan hashah (transaksi jual beli yang dilakukan oleh dua orang tetapi barangnya belum jelas, kemudian untuk menentukannya salah satu dari mereka melempar hashat (kerikil), maka barang yang terkena kerikil itulah yang dijual).

Dihadits lain diriwayatkan oleh imam Ibnu Majah rahimahullah ta’ala dari Abu Hurairah radhyallahu’anhu :

سنن ابن ماجه ٢١٨٥: حَدَّثَنَا مُحْرِزُ بْنُ سَلَمَةَ الْعَدَنِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ وَعَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ
Sunan Ibnu Majah 2185: dari Abu Hurairah ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang jual beli gharar (menimbulkan kerugian bagi orang lain) dan jual beli hashah."

Sikap perilaku dan tindakan yang dilarang untuk dilakukan oleh seorang muslim terhadap sesama muslim lainnya karena menimbulkan /memberikan kerugian kepada pihak lain sangatlah banyak dan tidak pada tempatnya untuk diketengahkan disini. Namun pada prinsifnya setiap sikap,perilaku dan tindakan atau perbuatan apa saja dan sekecil apapun bentuknya dan memberikan dampak yang merugikan baik secara langsung maupun tidak langsung atau baik bersifat material maupun inmaterial itu seluruhnya terlarang.
Dengan adanya ketentuan larangan untuk melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, maka seyogyanya seorang muslim dalam berinteraksi dengan sesama muslim tidak menggunakan prinsif  untuk mendahulukan kepentingan pribadi dengan mendapatkan keuntungan dengan tidak mempertimbangkan kemungkinan adanya kerugian dari pihak lain. Sebagai contoh misalnya seseorang menggunakan barang miliknya untuk kebaikan dirinya, namun tindakannya menimbulkan madharat pada orang lain. Jika itu terjadi secara tidak wajar, misalnya seseorang menyalakan api di lahannya di hari yang panas kemudian api membakar apa saja yang ada di lahan itu dan di lahan sekitarnya milik orang lain sehingga menimbulkan kerugian bagi orang lain  tersebut.

Larangan ingkar janji Kepada Sesama Muslim

Islam melarang umatnya untuk mengingkari atau tidak memenuhi janji yang telah disepakati bersama atau yang telah disampaikan atau diucapkan kepada pihak lain. Hal ini didasarkan kepada firman Allah azza wa jalla :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ
كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?
Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. ( QS. As-Shaf:2 -3 )

Islam memerintahkan agar seluruh umatnya untuk memenuhi janjinya, karena sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya apabila tidak dipenuhi, hal ini sesuai dengan firman Allah Ta'ala dalam kitab-Nya :



وَلاَ تَقْرَبُواْ مَالَ الْيَتِيمِ إِلاَّ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً
Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfa'at) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.(QS.Al Isra )

Begitu pula dalam al-Qur’an  surah al-Maidah ayat l  Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan agar orang-orang yang beriman memenuhi janji yang telah dibuat :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُم بَهِيمَةُ الأَنْعَامِ إِلاَّ مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu [388]. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
(QS. Al Maidah : 1 )
Keterangan :
[388] Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.

Berdasarkan dua fiman Allah ta’ala tersebut diatas maka setiap muslim yang membuat perjanjian atau akad d engan pihak lain, dimana kedua belah pihak satu sama lain telah mengikat diri mereka dalam perjanjian atas sesuatu dan bersedia untuk memenuhinya, maka kedua belak pihak dibebani tanggung jawab untuk memenuhi seluruh apa yang telah disepakati dalam perjanjian tersebut. Dilarang salah satui diantara kedua belah pihak untuk ingkar atas janji yang telah disepakati.
Perintah untuk melaksanakan janji telah pula ditegaskan oleh Rasullullah shallallahu’alaihiwa sallam  dal;am hadits riwayat imam Bukhari rahimahullah ta’ala dari Abdullah bin ‘Abbas radhyallahu’ahuma :

صحيح البخاري ٢٤٨٤: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ حَمْزَةَ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ صَالِحٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو سُفْيَانَ
أَنَّ هِرَقْلَ قَالَ لَهُ سَأَلْتُكَ مَاذَا يَأْمُرُكُمْ فَزَعَمْتَ أَنَّهُ أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالصِّدْقِ وَالْعَفَافِ وَالْوَفَاءِ بِالْعَهْدِ وَأَدَاءِ الْأَمَانَةِ قَالَ وَهَذِهِ صِفَةُ نَبِيٍّ
Shahih Bukhari 2484: Abdullah bin 'Abbas radliallahu 'anhuma mengabarkannya berkata, telah mengabarkan kepada kami Abu Sufyan bahwa Raja Heraklius berkata kepadanya: "Aku telah bertanya kepadamu apa yang dia perintahkan kepada kalian, lalu kamu menjawab bahwa dia memerintahkan kalian untuk shalat, bershadaqah (zakat), menjauhkan diri dari berbuat buruk, menunaikan janji dan melaksanakan amanah". Lalu dia berkata; "Ini adalah diantara sifat-sifat seorang Nabi".

 Mereka yang mengingkari janji dapat dikatagorikan sebagai orang munafik sebagaimana sabda Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam:\

صحيح مسلم ٨٩: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَاللَّفْظُ لِيَحْيَى قَالَا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو سُهَيْلٍ نَافِعُ بْنُ مَالِكِ بْنِ أَبِي عَامِرٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
Shahih Muslim 89: dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tanda-tanda orang munafik ada tiga: apabila dia berbicara niscaya dia berbohong, apabila dia berjanji niscaya mengingkari, dan apabila dia dipercaya niscaya dia berkhianat."

Mereka yang tidak pernah mengindahkan/mengingkari janji yang telah dibuatnya oleh Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam disebutkan termasuk kedalam golongan beliau, sebagaimana hadits riwayat imam Muslim rahimahullah ta’ala  dari Abu Huhairah radhyallahu’anhuma “

 صحيح مسلم ٣٤٣٧: و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا مَهْدِيُّ بْنُ مَيْمُونٍ عَنْ غَيْلَانَ بْنِ جَرِيرٍ عَنْ زِيَادِ بْنِ رِيَاحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ خَرَجَ مِنْ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ ثُمَّ مَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً وَمَنْ قُتِلَ تَحْتَ رَايَةٍ عِمِّيَّةٍ يَغْضَبُ لِلْعَصَبَةِ وَيُقَاتِلُ لِلْعَصَبَةِ فَلَيْسَ مِنْ أُمَّتِي وَمَنْ خَرَجَ مِنْ أُمَّتِي عَلَى أُمَّتِي يَضْرِبُ بَرَّهَا وَفَاجِرَهَا لَا يَتَحَاشَ مِنْ مُؤْمِنِهَا وَلَا يَفِي بِذِي عَهْدِهَا فَلَيْسَ مِنِّي
و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ غَيْلَانَ بْنِ جَرِيرٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ أَمَّا ابْنُ الْمُثَنَّى فَلَمْ يَذْكُرْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَدِيثِ وَأَمَّا ابْنُ بَشَّارٍ فَقَالَ فِي رِوَايَتِهِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِنَحْوِ حَدِيثِهِمْ
Shahih Muslim 3437:  dari Abu Hurairah dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barang siapa keluar dari keta'atan dan memisahkan diri dari Jama'ah kemudian dia mati, maka matinya seperti mati jahiliyah. Barangsiapa terbunuh di bawah bendera kefanatikan, balas dendam karena kefanatikan, dan berperang karena kebangsaan, maka dia tidak termasuk dari ummatku. Dan barangsiapa keluar dari ummatku lalu (menyerang) ummatku dan membunuh orang yang baik maupun yang fajir, dan tidak memperdulikan orang mukminnya serta tidak pernah mengindahkan janji yang telah dibuatnya, maka dia tidak termasuk dari golonganku."

Mengenai larangan untuk mengingkari janji sesungguhnya tidak saja terbatas janji yang berkaitan dengan urusan urusan besar-besar saja yang dibuat tertulis, tetapi larangan ingkar janji yang dimaksudkan disini meliputi seluruh  janji apa saja termasuk yang diucapkan, seperti misalnya  janji untuk memberikan sesuatu atau janji untuk mengadakan pertemuan dan lain-lain sebagainya.

Larangan Besifat Kikir / Bahil Terhadap Sesama Muslim

Sifat kikir dan bahil yang dimiliki seseorang muslim adalah merupakan akhlak yang tidak terpuji, sehingga Allah melarang hamba-hamba-Nya untuk kikir dan bahil, sehingga untuk itu kepada setiap muslim diperintahkan agar tidak menjadi orang yang bahil, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam kitab-Nya :
وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَى
وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى ,
فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى-
وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُ إِذَا تَرَدَّى
"Adapun orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, juga mendustakan dengan apa-apa yang baik - keterangan agama dan lain-lain, maka Kami memudahkan untuknya dalam menempuh jalan kesukaran - maksudnya ialah kejahatan, kesengsaraan dan akhirnya menuju ke neraka. Hartanya tidaklah akan berguna untuknya apabila Ia telah jatuh." (al-Lail: 8-11)

Mereka-mereka yang dipelihara dari sifat kikir merupakan orang-orang beruntung, sehingga Allah subhanahu wa ta’ala melarang kekikiran , hal ini disebutkan dalam firman Allah ta’ala :

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنفِقُوا خَيْرًا لِّأَنفُسِكُمْ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta ta'atlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu [1481]. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.(QS.at-Taghabun : 16 )
 K e t e r a n g a n :
[1481] Maksudnya: nafkahkanlah nafkah yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat.

Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam  melarang seluruh umatnya untuk kikir, hal ini disampaikan beliau dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim rahimahullah ta’ala dari Asma radhyallahu’anhuma :

صحيح مسلم ١٧٠٩: و حَدَّثَنَا عَمْرٌو النَّاقِدُ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ جَمِيعًا عَنْ أَبِي مُعَاوِيَةَ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَازِمٍ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ عَبَّادِ بْنِ حَمْزَةَ وَعَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ الْمُنْذِرِ عَنْ أَسْمَاءَ قَالَتْ
\قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْفَحِي أَوْ انْضَحِي أَوْ أَنْفِقِي وَلَا تُحْصِي فَيُحْصِيَ اللَّهُ عَلَيْكِ وَلَا تُوعِي فَيُوعِيَ اللَّهُ عَلَيْكِ
و حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ عَبَّادِ بْنِ حَمْزَةَ عَنْ أَسْمَاءَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهَا نَحْوَ حَدِيثِهِمْ
Shahih Muslim 1709: dari Asma` ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Bersedekahlah kamu dan jangan menghitung-hitung, karena Allah akan menghitung-hitung pula pemberian-Nya kepadamu. Dan janganlah kikir, karena Allah akan kikir pula kepadamu."

Dihadits lain yang diriwayatkan oleh imam Abu Daud rahimahullah dari Abdullah bin ‘Amr  :

سنن أبي داوود ١٤٤٧: حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ
خَطَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِيَّاكُمْ وَالشُّحَّ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالشُّحِّ أَمَرَهُمْ بِالْبُخْلِ فَبَخِلُوا وَأَمَرَهُمْ بِالْقَطِيعَةِ فَقَطَعُوا وَأَمَرَهُمْ بِالْفُجُورِ فَفَجَرُوا
Sunan Abu Daud 1447:  dari Abdullah bin 'Amr, ia berkata; Rasulullah shallAllahu wa'alaihi wa sallam berkhutbah, beliau bersabda: "Jauhilah sifat pelit, karena sesungguhnya yang membinasakan orang sebelum kalian adalah sifat pelit. Mereka diperintahkan untuk bersifat bakhil maka merekapun bersifat bakhil dan mereka diperintahkan untuk memutuskan hubungan kekerabatan maka merekapun memutuskan hubungan kekerabatan, dan mereka diperintahkan untuk berbuat dosa maka merekapun berbuat dosa." ( Hadits Shahih menurut al-Bani )

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari rahimahullah ta’ala dari Ibnu Juraij disebutkan larangan mengumpulkan harta tetapi kikir menginfakkannya, sebagaimana sabda Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam sebagai berikut :


صحيح البخاري ١٣٤٤: حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ ح و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحِيمِ عَنْ حَجَّاجِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ أَخْبَرَنِي ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَبَّادِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ أَخْبَرَهُ عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَا تُوعِي فَيُوعِيَ اللَّهُ عَلَيْكِ ارْضَخِي مَا اسْتَطَعْتِ
Shahih Bukhari 1344: dari Ibnu Juraij berkata, telah mengabarkan kepada saya Ibnu Abu Mulaikah dari 'Abbad bin 'Abdullah bin Az Zubair bahwa dia mengabarkannya dari Asma' binti Abu Bakar radliallahu 'anhuma bahwa dia menemui Nabi Shallallahu'alaihiwasallam lalu Beliau bersabda: "Janganlah kamu berkarung-karung (kamu kumpulkan harta dalam karung lalu kamu kikir untuk menginfaqkannya) sebab Allah akan menyempitkan reziki bagimu dan berinfaqlah dengan ringan sebatas kemampuanmu ".

Menurut Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam bahwa seorang mukmin itu baik lagi dermawan ( tidak kikir) dan orang fajir adalah seorang yang jahat lagi bakhil, hal ini disebutkan oleh beliau dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Abu Daud rahimahullah ta’ala dari Abu Hurairah radhyallalhu’anhuma :

سنن أبي داوود ٤١٥٨: حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو أَحْمَدَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الْحَجَّاجِ بْنِ فُرَافِصَةَ عَنْ رَجُلٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُتَوَكِّلِ الْعَسْقَلَانِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا بِشْرُ بْنُ رَافِعٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
رَفَعَاهُ جَمِيعًا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُؤْمِنُ غِرٌّ كَرِيمٌ وَالْفَاجِرُ خِبٌّ لَئِيمٌ
Sunan Abu Daud 4158: dari Abu Salamah dari Abu Hurairah keduanya telah memarfu'kan hadits ini, ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seorang mukmin itu baik lagi dermawan (tidak kikir), dan orang Fajir adalah seorang yang jahat lagi bakhil."

Hadits tersebut diatas mengandung makna bahwa sesungguhnya seorang mukmin tersebut tidak boleh /dilarang bersikap kikir terhadap orang lain. Sehingga seyogyanya setiap muslim itu menjauhkan diri dari sikap kikir dan agar dijauhkan dari sifat kikir Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam mengajarkan doa sebagaimana yang disebutkan dalam hadits  riwayat  imam Bukhari rahimahullah ta’ala  :
صحيح البخاري ٥٨٨٨: حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ عَنْ مُصْعَبٍ كَانَ سَعْدٌ
يَأْمُرُ بِخَمْسٍ وَيَذْكُرُهُنَّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ يَأْمُرُ بِهِنَّ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْجُبْنِ وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ أُرَدَّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الدُّنْيَا يَعْنِي فِتْنَةَ الدَّجَّالِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
Shahih Bukhari 5888: Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu'bah telah menceritakan kepada kami Abdul Malik dari Mush'ab bahwa Sa'd pernah memerintahkan lima perkara, dia menyebutkan perkara itu dari nabi Shallallahu 'alahi wasallam, bahwa beliau memerintahkan hal itu juga, yaitu; "ALLAHUMMA INNI A'UUDZU BIKA MINAL BUKHLI, WA A'UUDZU BIKA MINAL JUBNI, WA A'UUDZU BIKA AN URADDA ILAA ARDZALIL 'UMUR WA A'UUDZU BIKA MIN FITNATID DUNYA -yaitu firnah Dajjal- WA A'UUDZUBIKA MIN 'ADZAABIL QABRI (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari sifat kikir, aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut, aku berlindung kepada-Mu kepikunan, aku berlindung dari fitnah dunia -maksudnya adalah fitnah dajjal- dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur."

Wallahu’alam, berlanjut pada artikel bagian Kelima

Sumber :
1.Al Qur’an dan Terjemahan, www.salafi-db.com
2.Ensiklopedi Hadits Kitab 9 imam,www.lidwapusaka.com
3.Riyadhus shalihin ( Terjemahan ), Imam an-N awawi
Samarinda, Jum’ah   menjelang dzuhur  , 5 Sya’ban 1434 H/14 Juni 2013

(Musni Japrie )

Selasa, 11 Juni 2013

PERILAKU YANG DILARANG DILAKUKAN OLEH SEORANG MUSLIM TERHADAP SESAMA MUSLIM LAINNYA ( BAGIAN KETIGA )


Dalam artikel “ Perilaku yang dilarang dilakukan oleh seorang muslim terhadap sesama muslim lainnya  ( Bagian Kedua ) telah diulas 7 macam larangan menurut syari’at Islam. Dalam artikel  bagian ketiga ini dilanjutkan larangan-larangan lainnya yang tidak boleh dilakukan oleh seorang muslim terhadap sesama muslim lainnya.

Larangan Mencela terhadap Sesama Muslim

Sebagaimana Islam melarang seseorang untuk bertindak zhalim dengan menyakiti seseorang, maka menyakiti dengan ucapan/lisan seperti mencela juga merupakan perbuatan yang dilarang untuk dilakukan terhadap sesama muslim.
Mencela adalah menyebutkan  kejelekan atau kekurangan seseorang baik kekurangan yang ada pada tubuh maupun kekurangan lainya seperti kebodohan dengan secara sengaja mencela atau dengan cara mentertawakan kekurangan yang ada pada diri orang  lain.

Celaan adalah bentuk menyakiti sesama. Karena celaan yang dilontarkan seseorang muslim akan menjadikan orang yang dicela menjadi tersinggung dan kecewa bahkan menjadi sakit hati. Akibat lebih lanjut akan menjadikan retaknya hubungan persaudaraan sesama muslim. Sehingga syari’at melarang perbuatan mencela karena perbuatan tersebut menyakiti orang lainb.
Allah tabarakta wa ta’ala melarang hamba-hamba-Nya untuk mencela sesama saudara muslim lainnya, sebagaimana firman-Nya:

أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Hujarat [49]: 11)

Larangan mencela juga disinggung oleh Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi rahimahullah ta’ala dari Abdullah bin Mas’ud radhyallahu’anhu :

سنن الترمذي ١٩٠٦: حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ زُبَيْدِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ قَالَ زُبَيْدٌ قُلْتُ لِأَبِي وَائِلٍ أَأَنْتَ سَمِعْتَهُ مِنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Sunan Tirmidzi 1906: dari Abdullah bin Mas'ud ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Menghina seorang mukmin adalah perbuatan fasik, sedangkan membunuhkan adalah kekafiran

Diriwayatkan di zaman Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam bahwa suatu ketika  ada orang yang mencela sahabat Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam yang merupakan saudara  sesama muslim. Rasullullah shallalahu’alaihi wa sallam lalu melarangnya sesuai dengan sabda beliau :

سنن أبي داوود ٤٠٣٩: حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنْفَقَ أَحَدُكُمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
Sunan Abu Daud 4039: dari Abu Sa'id ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlan kalian mencela sahabatku. Demi Dzat yang jiwaku ada dalam tangan-Nya, sekiranya salah seorang dari kalian bersedekah dengan emas sebesar gunung uhud, maka itu tidak akan bisa menyamai sedekah mereka meski hanya satu mud atau pun setengahnya

Rasullullah shallallahu’ alaihi wa sallam sebagai manusia terbaik dan berakhlak mulia telah memberikan contoh dimana beliau sama sekali tidak pern ah mencela sebagaimana hadits yanmg diriwayatkan oleh imam Bukhari dalam kitab shahihnya dari  Anas bin Malik rad:hyallahu’anhu

صحيح البخاري ٥٥٨٦: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سِنَانٍ حَدَّثَنَا فُلَيْحُ بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا هِلَالُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ أَنَسٍ قَالَ
لَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاحِشًا وَلَا لَعَّانًا وَلَا سَبَّابًا كَانَ يَقُولُ عِنْدَ الْمَعْتَبَةِ مَا لَهُ تَرِبَ جَبِينُهُ
Shahih Bukhari 5586: dari Anas dia berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah berkata keji, melaknat dan mencela, apabila beliau hendak mencela, maka beliau akan berkata: "Mengapa dahinya berdebu (dengan bahasa sindiran)."

Larangan Merendahkan/meremehkan Sesama Muslim

Merendahkan atau menganggap remeh saesama saudara m uslim merupakan perbuatan yang dilarang karena berlawanan dengan akhlak yang terpuji yaitu rendah hati/tawadhu. Sikap tawadhu merupakan salah sati sifat “ ibaadur Rahman “ yang Allah sebutkan dalam Firman-Nya :

وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih adalah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati (tawadhu’) dan apabila orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (QS. Al Furqaan: 63)
Sebagai seorang hamba sudah selayaknya orang b eriman itu untuk tidak bersikap merendahkan atau memandang enteng seseorang yang tiada lain adalah saudaranya sesama muslim. Hendaknya seorang muslim itu untuk bersikap ramah dan rendah hati kepada sesama saudara muslim lainnya, tanpa memandang dan melihat status serta kedudukannya di tengah-tengah masyarakat. Apakah yang bersangkutan sebagai orang yang berada, berkedudukan, alim ulama, pejabat atau penguasa  seyogyanyalah bersikap ramah dan rendah hati serta tidak menganggap  diri berada diatas melebihi orang lain.at. Di depan Allah kedudukan manusia adalah sama dan sederajat, yang membedakannya hanyalah ketaqwaannya.
Diriwayatkan dari Iyadh bin Himar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلَا يَبْغِ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap rendah hati hingga tidak seorang pun yang bangga atas yang lain dan tidak ada yang berbuat aniaya terhadap yang lain” (HR Muslim no. 2865).

Menunjukkan sikap ramah tamah dengan   bermanis muka kepada sesama saudara muslim dan tidak merendahkan atau meremehkan  orang lain adalah sikap rendah hati ( tawadhu), dan  sangatlah penting artinya dalam pergaulan sesama muslim Karena bermuka manis termasuk dari perbuatan yang baik dan sangat dianjurkan oleh Rasullullah shallallaahu’alaihi wa sallam kepada seluruh kaum muslimin sebagaimana hadits dari Abu Dzar radhyallaahu’anhu yang diriwayatkan oleh imam Muslim rahimahullaah ta’ala :
Imam Muslim rahimahullaah ta’ala meriwayatkan hadits dari Abu Dzar radhyallaahu’anhu:

صحيح مسلم ٤٧٦٠: حَدَّثَنِي أَبُو غَسَّانَ الْمِسْمَعِيُّ حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ يَعْنِي الْخَزَّازَ عَنْ أَبِي عِمْرَانَ الْجَوْنِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الصَّامِتِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ
قَالَ لِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَحْقِرَنَّ مِنْ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
Shahih Muslim 4760: Telah menceritakan kepadaku Abu Ghassan Al Misma'i; Telah menceritakan kepada kami 'Utsman bin 'Umar; Telah menceritakan kepada kami Abu 'Amir yaitu Al Khazzaz dari Abu 'Imran Al Jauni dari 'Abdullah bin Ash Shamit dari Abu Dzar dia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadaku: "Janganlah kamu menganggap remeh sedikitpun terhadap kebaikan, walaupun kamu hanya bermanis muka kepada saudaramu (sesama muslim) ketika bertemu."

Dari keterangan hadits yang telah diungkapkan diatas, maka sudah sepatutnya setiap muslim untuk tidak merendahkan atau meremehkan orang lain, bersikaplah ramah tamah dan rendah hati ( tawadhu) kepada saudaranya sesama muslim.  Karena ramah tamah termasuk kedalam katagori perbuatan baik dan orang yang ramah menunjukkan b aiknya akhlak mereka. Sedangkan sebaliknya  orang yang memiliki aklak terpuji. Adab seorang muslim sebagaimana yang disyari’atkan adalah bermuka manis kepada sesama muslim lainnya serta murah senyum , semuanya merupakan bagian dari sikap ramah tamah  dan insya Allah karena semuanya itu mempunyai nilai pahala di sisi Allah subhanahu wa ta’ala . Sehingga karenanya semua itu maka syari’at melarang seseorang untuk berperilaku merendahkan dan meremehkan sesama saudaranya  muslim.

Larangan B erperangai/ Bersikap Kasar Terhadap Sesama Muslim

Bersikap kasar terhadap sesama saudara muslim baik dengan ucapan maupun dengan sesuatu tindakan fisik sesungguhnya adalah  perilaku yang  menjadikan mereka yang dikasari disakiti baik perasaan maupun fisiknya dan menimbulkan rasa ketidak senangannya kepada yang bersikap kasar tersebut.
Sikap kasar yang dilakukan seorang muslim kepada muslim lainnya yang tiada lain adalah saudaranya sendiri akan memberikan dampak terhadap hubungan persaudaran dimana mereka yang dikasari akan menjauhkan dirinya , dan pada gilirannya akan terjadi permusuhan dan kemungkinan adanya rasa dendam . Sehingga karenanya bersikap kasar terhadap sesama saudara muslim itu dilarang di dalam Islam, dan sikap kasar adalah merupakan akhlak yang tidak terpuji.
Islam mensyari’atkan kepada seluruh umatnya agar bersikap lemah lembut sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah :

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu [246]. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.(QS.Ali Imran : 159)

Para ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan bersikap keras di sini adalah bertutur kata kasar. Dengan sikap seperti ini malah membuat orang tidak menyukainya.
Larangan bersikap kasar  telah ditunjukkan oleh Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika m elarang isteri beliau Aisyah radhyallahu’anhu agar tidak berkata kasar sebagaimana yang disebutkan dalam haditas riwayat imam Bukhari rahimahullah ta’ala yang bersumber dari Aisyah radhyallahu’anhu :

صحيح البخاري ٥٩٢٢: حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
أَنَّ الْيَهُودَ أَتَوْا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا السَّامُ عَلَيْكَ قَالَ وَعَلَيْكُمْ فَقَالَتْ عَائِشَةُ السَّامُ عَلَيْكُمْ وَلَعَنَكُمْ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْكُمْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَهْلًا يَا عَائِشَةُ عَلَيْكِ بِالرِّفْقِ وَإِيَّاكِ وَالْعُنْفَ أَوْ الْفُحْشَ قَالَتْ أَوَلَمْ تَسْمَعْ مَا قَالُوا قَالَ أَوَلَمْ تَسْمَعِي مَا قُلْتُ رَدَدْتُ عَلَيْهِمْ فَيُسْتَجَابُ لِي فِيهِمْ وَلَا يُسْتَجَابُ لَهُمْ فِيَّ
Shahih Bukhari 5922: dari Aisyah radliallahu 'anha bahwa sekelompok orang Yahudi datang menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, lalu mereka mengucapkan; "As Saamu 'alaika Kebinasaan atasmu." Beliau menjawab: 'Wa 'alaikum Dan atas kalian juga.' Kemudian Aisyah berkata; 'As Saamu 'alaikum wala'anakumullah wa ghadziba 'alaikum Semoga kebinasaan atas kalian, dan laknat Allah serta murka Allah menimpa kalian.' Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Pelan-pelan wahai Aisyah, hendaklah kamu berlemah lembut dan janganlah kamu kasar atau berkata keji.' Aku berkata; 'Apakah anda tidak mendengar apa yang diucapkan mereka? ' Beliau bersabda: 'Apakah kamu tidak mendengar ucapanku, sebenarnya aku tadi telah menjawabnya, maka do'aku atas mereka telah dikabulkan, sementara do'a mereka atasku tidak akan terkabulkan.'

Bagi orang-orang yang suka bersikap kasar kelak diakhirat akan menjadi penghuni neraka. Hal ini ditegaskan dalam hadits yang diriwayakan oleh imam Bukhari rahimahullah ta’ala dari Ma’bad bin Khalid :

صحيح البخاري ٤٥٣٧: حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ مَعْبَدِ بْنِ خَالِدٍ قَالَ سَمِعْتُ حَارِثَةَ بْنَ وَهْبٍ الْخُزَاعِيَّ قَالَ
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ الْجَنَّةِ كُلُّ ضَعِيفٍ مُتَضَعِّفٍ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ النَّارِ كُلُّ عُتُلٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ
Shahih Bukhari 4537: Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Ma'bad bin Khalid ia berkata, Aku mendengar Haritsah bin Wahb Al Khuza'i ia berkata; Aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Maukah kalian aku beritahukan mengenai penghuni surga? Yaitu setiap orang lemah dan ditindas, yang sekiranya ia bersumpah atas nama Allah, niscaya Allah mengabulkannya. Dan maukah kalian aku beritahukan mengenai penghuni neraka? Yaitu setiap yang beringas membela kebatilan, kasar lagi sombong."

Sedangkan imam Ahmad  rahimahullah ta’ala dalam  kiktab Musnad nya meriwayatkan hadits  dari Abu Hurairah radhyallahu’anhu “:

مسند أحمد ١٠١٠٨: حَدَّثَنَا يَزِيدُ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدٌ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَيَاءُ مِنْ الْإِيمَانِ وَالْإِيمَانُ فِي الْجَنَّةِ وَالْبَذَاءُ مِنْ الْجَفَاءِ وَالْجَفَاءُ فِي النَّارِ
Musnad Ahmad 10108: Telah menceritakan kepada kami Yazid, dia berkata; telah mengabarkan kepada kami Muhammad dari Abu Salamah dari Abu Hurairah, dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Malu itu dari iman dan iman ada di surga, sedangkan perkataan keji itu dari perangai yang kasar ada di neraka."

Larangan Memaki Kepada Sesama Muslim

Termasuk akhlak yang tidak terpuji apabila seseorang muslim mencaci maki saudaranya sesama muslim, karenanya maka mencaci maki termasuk hal yang dilarang untuk dilakukan. Larangan tersebut dikarenakan mencaci maki tersebut menjadikan orang yang dicaci maki menjadi tersakiti hatinya. Lebih lanjut orang yang dicaci maki akan menjauh dari orang yang mencaci makinya, terjadilah permusuhan yang tidak diingin

Allah Ta'ala berfirman

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا

Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mu'min dan mu'minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (QS.Al-Ahzab : 58 )

Mencaci maki orang muslim oleh Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam disebut sebagai kefasikan sehingga dilarang , hal ini sesuai dengan sabda beliau yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dari Abdullah radhyallahu’anhu :

صحيح البخاري ٥٥٨٤: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مَنْصُورٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا وَائِلٍ يُحَدِّثُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
تَابَعَهُ غُنْدَرٌ عَنْ شُعْبَةَ
Shahih Bukhari 5584: dari Abdullah dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Mencaci maki orang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran."

Salin Mencaci maki diantara dua orang  merupakan perbuatan yangterlarang sehingga akan mendapatkan ganjaran dosa bagi yang melakukannya, dan yang menanggung dosanya  adalah  adalah yang memulainya. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh imam Abu Daud rahimahullah ta’ala dari Abu Hurairah radhyallahu’anhu :

سنن أبي داوود ٤٢٤٩: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ يَعْنِي ابْنَ مُحَمَّدٍ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْتَبَّانِ مَا قَالَا فَعَلَى الْبَادِي مِنْهُمَا مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُومُ
Sunan Abu Daud 4249: dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Dua orang yang saling mencaci dengan apa yang mereka ucapkan, maka yang menanggung dosanya adalah yang memulai, yaitu selama orang yang terzhalimi tidak melampaui batas."

Apa bila seseorang mencaci maki atau mencela kedua orang tua orang lainnya berarti yang bersangkutan sama saja dengan mencaci maki orang tuanya sendiri , hal ini disebutkan oleh Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam hadits riwayat imam at-Tirmidzi  dalam kitab sunan-nya :

سنن الترمذي ١٨٢٤: حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ ابْنِ الْهَادِ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْكَبَائِرِ أَنْ يَشْتُمَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَهَلْ يَشْتُمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ نَعَمْ يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَشْتُمُ أَبَاهُ وَيَشْتُمُ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Sunan Tirmidzi 1824: dari Abdullah bin Amr ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Termasuk Al Kaba`ir (dosa-dosa besar), yakni bila seseorang mencela kedua orang tuanya." Mereka para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, mungkinkah seseorang mencela kedua orang tuanya?" beliau menjawab: "Ya, bila ia mencaki bapak seseorang, maka orang itu pun akan mencaci bapaknya. Dan bila ia mencaci ibu seseorang, lalu orang itu pun akan mencaci ibunya."

Rasullullah shallallahu’alahi wa sallam menyebutkan bahwa manusia yang paling besar fitnahnya adalah orang yang mencaci seseorang, kemudian caciannya dibalas hingga semua orang ikut mencaci, hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh imam Ibnu Majah rahimahullah ta’ala dari Aisyah radhyallahu’anhu :
سنن ابن ماجه ٣٧٥١: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ شَيْبَانَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ عَنْ يُوسُفَ بْنِ مَاهَكَ عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَعْظَمَ النَّاسِ فِرْيَةً لَرَجُلٌ هَاجَى رَجُلًا فَهَجَا الْقَبِيلَةَ بِأَسْرِهَا وَرَجُلٌ انْتَفَى مِنْ أَبِيهِ وَزَنَّى أُمَّهُ
Sunan Ibnu Majah 3751: dari 'Aisyah dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya manusia yang paling besar fitnahnya adalah orang yang mencaci seseorang, kemudian dia membalas mencacinya hingga kabilah semuanya ikut mencaci, dan seorang lelaki yang menyingkirkan ayahnya dan menzinahi ibunya."

Dari nash-nash yang dikemukakan diatas, maka sesungguhnya mencaci maki sesama saudara muslim itu adalah perbuatan yang dilarang dan patut untuk ditinggalkan dan dijauhi.

Larangan Berbohong/Berdusta Kepada Sesama Muslim

Termasuk dalam hal-hal yang dilarang dilakukan terhadap sesama saudara muslim adalah berbohong/b erdusta, yaitu menyampaikan ,memberitahukan atau menginformasikan atau menceritakan tentang sesuatu yang tidak benar untuk kepentingan sesuatu, sehingga mereka yang mendapatkan informasi yang bersifat bohong tersebut akan  keliru dalam menginterperestasikannya, dan akibat berikutnya a kadang-kadang hal-hal yang disampaikan atau yang diceritakan tersebut akan merugikan bagi orang  yang dibohongi. Bahkan mungkin saja akan memberikan dampak negatif yang lebih luas lagi. Karenanya maka berbohong atau berdusta itu merupakan akhlak yang tidak terpuji sehingga dilarang untuk dikerjakan oleh kaum muslimin.
Larangan untuk berbohong/.berdusta bagi kaum Muslimin itu datangnya dari Allah azza wa jalla melalui firman yangh ada dalam kitab-N ya ( al-Qur’an ). Antara lain sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala  :

يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa menta'ati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar. (QS.Al Ahzab : 70-71 )

Juga firman Allah subhanahu wa ta’ala:

قُتِلَ الْخَرَّاصُونَ
Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta,(QS.Adz-Dzaariya : 10 )

Berdasarkan ayat tersebut Allah azza  wa jalla mengutuk siapa saja diantara kaum muslimin yang banyak berdusta. Sedangkan dalam ayat lainnya disebutkan juga adanya kecelakaan yang besar bagi orang –orang yang b anyak berdusta, sebagaima firman Allah ta’ala :
وَيْلٌ لِّكُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ
Kecelakaan besarlah bagi tiap-tiap orang yang banyak berdusta lagi banyak berdosa,(QS.Al Jaatsiyah : 7 )

Dalam firman Allah yang terkandung dalam surah al-Baqarah : 10  Allah akan memberikan siksaan yang amat pedih  bagi orang-orang karena berdusta :

فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ فَزَادَهُمُ اللّهُ مَرَضاً وَلَهُم عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
Dalam hati mereka ada penyakit [23], lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.(QS.Al Baqarah : 10)

Tidak hanya terbatas pada ayat-ayat dalam al-Qur’an yang menyebutkan jeleknya dusta tersebut, beberapa hadits dari Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam juga membicarakannya. Antara lain sebagaimana yang diriwayatkan oleh imam Bukhari rahimahullah  :

صحيح البخاري ٥٥١٩: حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ حَدَّثَنَا خَالِدٌ الْوَاسِطِيُّ عَنْ الْجُرَيْرِيِّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ قُلْنَا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ فَقَالَ أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ فَمَا زَالَ يَقُولُهَا حَتَّى قُلْتُ لَا يَسْكُتُ
Shahih Bukhari 5519: dari Abdurrahman bin Abu Bakrah dari Ayahnya radliallahu 'anhu dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak maukah aku beritahukan kepada kalian sesuatu yang termasuk dari dosa besar? Kami menjawab; "Tentu wahai Rasulullah." Beliau bersabda: "Menyekutukan Allah dan mendurhakai kedua orang tua." -ketika itu beliau tengah bersandar, kemudian duduk lalu melanjutkan sabdanya: "Perkataan dusta dan kesaksian palsu, perkataan dusta dan kesaksian palsu." Beliau terus saja mengulanginya hingga saya mengira beliau tidak akan berhenti."

Orang yang biasanya berbohong/berdusta menurut hadits Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam termasuk kedalam orang-orang yang munafik sebagaimana yang diriwayatkan oleh imam Bukhari rahimahullah ta’ala dari Abdullah bin Umar radhyallahu’anhu :

صحيح البخاري ٢٢٧٩: حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ خَالِدٍ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ سُلَيْمَانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُرَّةَ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا أَوْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ أَرْبَعَةٍ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
Shahih Bukhari 2279: dari 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhuma dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ada empat hal yang bila ada pada seseorang berarti dia adalah munafiq atau siapa yang memiliki empat kebiasaan (tabi'at) berarti itu tabiat munafiq sampai dia meninggalkannya, yaitu jika berbicara dusta, jika berjanji ingkar, jika membuat kesepakatan khiyanat dan jika bertengkar (ada perselisihan) maka dia curang".

Sesungguhnya dusta itu akan mengantarkan kepada kejahatan, dan sesungguhnya kejahatan itu askan menggiring keneraka, dan seseorang yang memelihara kedustaan maka ia kan dicatat sebagai pendusta. Hal ini disebutkan dalam hadits Rasullullah shallalahu’alaihi wa sallam riwayat imam Muslim rahimahullah ta’ala dari Abdullah radhyallahu’anhu :

صحيح مسلم ٤٧١٩: حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا و قَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يُكْتَبَ صِدِّيقًا وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ كَذَّابًا
Shahih Muslim 4719: dari 'Abdullah dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya kejujuran itu akan membimbing pada kebaikan. Dan kebaikan itu akan membimbing ke surga. Seseorang yang senantiasa berlaku jujur maka ia akan dicatat sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya dusta itu akan mengantarkan pada kejahatan. Dan sesungguhnya kejahatan itu akan menggiring ke neraka. Seseorang yang memelihara kedustaan, maka ia akan dicatat sebagai pendusta.

Dari keterangan beberapa hadits diatas maka seorang muslim itu tidak patut untuk berdusta/berbohong kepada sesama muslim lainnya, karena perbuatan berdusta/berbohong menunjukkan akhlak yang tidak terpuji dan dilarang di dalam islam. ( Wallahu ta’ala ‘alam )
Insya Allah berlanjut di bagian keempat

Sumber :
1.Al Qur’an dan Terjemahan, www.salafi-db.com
2.Ensiklopedi Hadits Kitab 9 imam,www.lidwapusaka.com
3.Riyadhus shalihin ( Terjemahan ), Imam an-N awawi
Samarinda,  Kamis  menjelang dzuhur  ,20 Rajab 1434 H/ 30 Mei 2013
(Musni Japrie )