Rabu, 14 Maret 2012

JAUHKAN DIRI DARI TAWASSUL YANG BID'AH


Sebagaimana yang kita ketahui secara bersama bahwa kuburan-kuburan orang- orang shalih atau kuburan para wali yang dianggap berkeramat didatangani setiap hari oleh ribuan penjiarah yang mereka umumnya adalah umat islam. Maksud mereka berjiarah tersebut untuk mendapatkan berkah sekali gus untuk meminta pertolongan kepada ruh akhlul kubur dengan cara bertawassul. Bertawassul atau sebutan yang lain juga dikenal dengan wasilah.

Al-wasilah secara bahasa ( etimologi ) berarti segala hal yang dapat menggapai sesuatu atau dapat medekatkan kepada sesuatu. Bentuk jamaknya adalah : wasaa-il.

Al-Fairuz Abadi mengatakan tentang makna wasyalla I’llallahi taw syilaa : yaitu mengamalkan suatu amalan yang dengannya ia dapat mendekatkan diri kepada Allah.

Meskipun tawassul di dalam syari’at islam telah diatur secara khusus sesuai dengan dalil-dalil namun masih banyak diantara kaum muslimin yang menyalahinya, mereka bertawassul dengan cara yang tidak sesuai dengan syari’at, sehingga tawassul mereka ada yang bersifat bid’ah dan ada pula bahkan bersifat syirik.

Pada ulasan kali ini sengaja diangkat tawassul yang bersifat bid’ah. Yaitu tawassul yang dilakukan oleh sebagian orang dengan cara mengada-ada tanpa ada contohnya dari Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam maupun dari para sahabat radlyallahu’anhu serta para tabi’in dan tabi’ut tabi’in rahimahullah.

Tawassul yang bid’ah yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara yang tidak sesuai dengan syari’at. Tawassul yang bid’ah ini ada beberapa macam, diantaranya :

1.Tawassul dengan kedudukan Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam atau kedudukan orang selainnya.

Perbuatan ini adalah bid’ah dan tidak boleh dilakukan. Adapun hadits yang berbunyi :

Jika kalian hendak memohon kepada Allah, maka mohonlah kepada-Nya dengan kedudukan-ku, karena kedudukanku disisi Allah adalah agung. “

Hadits tersebut bathil tidak jelas asal-usulnya dan tidak terdapat samasekali dalam kitab-kitab hadits yangmenjadi rujukan. Tidak ada juga seorangpun ulama ahli hadits yang menyebutkannya sebagai hadits. Jika tidak ada satupun dalil yang shahih tentangnya, maka itu berarti tidak boleh dilaksanakan, sebab setiap ibadah tidak boleh dilakukan kecuali berdasarkan dalil yang shahih dan jelas.

2.Tawassul dengan dzat makhluk

Jika dimaksudkan : seseorang bersumpah dalam meminta kepada Allah maka tawassul ini seperti bersumpah dengan makhluk tidak dibolehkan, sebab sumpah makhluk terhadap makhluk tidak dibolehkan. Bahkan termasuk syirik, sebagaimana disebutkan dalam hadits , Nabi shalallahu’alaihi wa sallam bersabda :

“ Barang siapa yang bersumpah dengan selain nama Allah, maka ia telah berbuat kufur atau syirik “( HR. at-Tirmidzi )

Apalagi bersumpah dengan mahluk kepada Allah, maka Allah tidak menjadikan permohonan kepada makluk sebagai sebab terkabulnya doa dan Dia tidak mensyari’atkannya.

3. Tawassul dengan hak makhluk

Tawassul ini pun tidak dibolehkan, karena dua alasan :

P e r t a m a , bahwa Allah subhanahu wa ta’ala, tidak wajib memenuhi hak atas seseorang, tetapi justeru sebaliknya Allah lah yang menganugerahi hak tersebut kepada makhluk-Nya. Sebagaimana firmannya :

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ ثُمَّ رَزَقَكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ هَلْ مِن شُرَكَائِكُم مَّن يَفْعَلُ مِن ذَلِكُم مِّن شَيْءٍ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ

Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu? Maha Sucilah Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan. ( QS. Ar Ruum : 40)

Orang yang ta’at berhak mendapatkan balasan kebaikan dari Allah karena anugerahdab nikmat bukan karenab alasan setara sebagaimana makhluk dengan makhluk yang lain.

K e d u a , hak yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya adalah hak khusus bagi diri hamba tersebut dan ada tidak kaitannya dengan orang lain dalam hak tersebut. Jika ada yang bertawassul dengannya, padahal dia tidak mempunyai hak berarti dia bertawassul dengan perkara yang asing yang tidak ada kaitannya anta dirinya denganhal tersebut dan itu tidak bermanfaat untuknya samasekali.

Adapun hadits yang berbunyi : “ Aku memohon kepada-Mu dengan hak orang-orang yang memohon… “ hadits ini dha’if sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad.

Sejalan dengan apa yang dikemukakan diatas maka wajib atas setiap muslim untuk meninggalkan cara bertawassul yang tidak ada dasarnya berupa dalil yang dapat dipertanggung jawabkan. Cukupkan diri dengan tawassul sesuai dengan yang diperintahkan oleh syari’at, tinggalkanlah cara bertawassul yang membuat diri menjadi berdosa karena melakukan hal-hal yang diharamkan. ( Wallahu’alam bish-shawab )

Disadur dari : Hukum Wasilah ( Tawassul ) , Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas dalam Majalah As-Sunnah No. 11 th XV

Diselesaikan ba’da ashar, Senin ,18 Rabi’ul Akhir 1433 H / 12 Maret 2012

( O l e h : Musni Japrie )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar