Dalam abad era informasi digital dan globasisasi
seperti sekarang ini, ternyata masih banyak masyarakat yang masih memegang
tradisi leluhur peninggalan zaman jahiliyah yang mempercayai adanya hal-hal
yang bersifat khurafat dan syirik , antara lain yang berkaitan dengan adanya
keyakinan adanya hal-hal yang dapat menyebabkan datangnya kesialan pada diri
seseorang.
Hal-hal yang
diyakini oleh kebanyakan mereka-mereka yang mengaku sebagai orang yang bertauhid yang dapat mendatangkan
kesialan pada diri mereka antara lain adalah adanya angka sial, hari sial
bahkan bulan sial.
Meskipun secara nalar keyakinan adanya angka, hari dan
bulan sial sulit diterima, tetapi masih berkembang secara turun temurun
ditengah-tengah masyarakat pada semua kalangan. Baik yang berpendidikan tinggi,
menengah apalagi dikalangan masyarakat berpendidikan rendah dan kelas bawah.
Hal ini dapat dilihat pada saat akan menyelenggarakan hajat atau pesta
pernikahan dilakukan pada bulan-bulan tertentu yang dianggap baik, hajat
pernikahan tidak akan dilakukan pada hari-hari , tanggal dan bulan yang
dianggap sial.
Sejalan dengan itu kiranya dipandang
perlu untuk membahas bagaimana
tentang kesialan berkaitan dengan angka,
hari dan bulan-bulan tertentu yang dianggap sial menurut Islam ?. Benarkah di dalam Islam
adanya angka, hari dan bulan-bulan yang dapat mendatangkan kesialan bagi manusia .
1.Mitos Tentang Angka 13 Sebagai Angka Sial
Ditengah-tengah masyrakat dunia angka “13” sudah
dianggap sebagai angka sial di berbagai Negara di asia maupun negara-negara
barat. Banyak peristiwa yang dicatat dalam sejarah yang dikaitkan dalam
menyebabkan angka 13 dianggap sebagai angka sial, seperti simbol kematian di
Brim Reaper di Kartu Tarot urutan ke 13.
Dan yang paling fenomenal adalah Peristiwa Peluncuran
Pesawat Angkasa Apollo 13 yang diluncurkan pada 11 April 1970 pukul 13:13 yang
pada akhirnya gagal mengorbit karena pesawatnya meledak dan hancur, dan uniknya
tanggal peluncuran kalau dijumlahkan (1+1+4+7+0= 13). Wow.
Ketakutan akan angka “13” tampak dari beberapa hotel
atau gedung yang menghilangkan lantai atau kamar berangka 13, dan menggantinya
dengan 12 A atau langsung meloncatinya ke angka 14. Bahkan ada sebuah restoran
di London, dimana manager restorannya diberi tugas untuk menghitung kalau ada
rombongan yang datang, jika berjumlah 13 orang maka pihak restoran akan
mendudukan 2 maskot kucing hitam di kursi khusus, sehingga jumlah rombongan
menjadi 15. Ketakutan akan angka “13” ini lazim disebut dengan
Trikaidekaphobia.
Mitos semakin berkembang lantaran hukum nomor 13
dihilangkan dari kode Hammurabi Babilonia karena dianggap salah satu angka yang
mengandung daya magis dan lekat dengan setan.(FHM Indonesia Magazine edisi Maret
2012)
2.Mitos Tentang Hari Sial
Apakah ada hari yang sial? Yakni suatu hari ketika
segala sesuatu selalu tampak kacau. Kata orang Jawa, ora kebeneran. Semua
terasa tak terkendali, semua terasa aneh, semua terasa tak bersahabat.
Dikalangan masyarakat Jawa dikenal tentang
perhitungan untuk mengetahui hari sial
seseorang dengan menjumlahkan neptu (?,) sa’at seseorang di lahirkan,.
Perhitungan neptu bagi orang orang jawa sangat
penting, masyarakat di jawa masih tinggi kepercayaannya akan perhitungan neptu
tersebut, sebagai contoh untuk menentukan hari pernikahan, hari membangun rumah
maupun hari pindah rumah. sangat percayanya masyarakat jawa ini, seperti yang
kita ketahui jika datang bulan sura tidak akan ada orang yang menikahkan
anaknya pada bulan tersebut karena masyarakat jawa berkeyakinan bahwa bulan
tersebut sangat tidak baik untuk menikah…
Kadang di jawa ketika seseorang mengalami kesialan
yang amat sangat pedih selalu melihat memikirkan hari, dalam hati berkata” hari
ini apa hari wetonku ya”, dengan kata lain sebagian masyarakat jawa berpendapat
jika hari weton dia akan mengalami kesialan,
Ilmu sihir yang digunakan dukun dukun untuk
melancarkan aksi santet pelet dan lain lain sebagian juga ada yang menggunakan
media weton si korban, jadi jangan memberitahukan hari kelahiran kita pada
sembarang orang ya, ada juga berpendapat hari weton adalah hari dimana kondisi
tubuh kita sedang memiliki daya tahan yang kurang vit,
Orang orang tua menyarankan untuk melakukan puasa pada
hari weton tersebut, ada versi yang mengatakan puasa pada hari weton tersebut,
se umpamanya weton anda senin wage anda berpuasa pada hari senin wage tersebut,
ada juga yang mengatakan puasa ngapit weton yaitu puasa diawali pada hari
minggu pon dan diakhiri pada hari selasa kliwon jadi puasanya 3 hari.
Disebutkan dari salah sumber bahwa yang bersangkutan
pernah mendatangi salah satu kiyai di jombang, kiyai tersebut menanyakan kapan
hari weton yang bersangkutan, menurut sang kiayi hari hari sial seseorang itu 7 hari setelah
hari weton, jadi jika seseorang
dilahirkan pada rabu pon, maka hari sialny adalah hari selasa wage,
jadi perhitungannya 7 hari di mulai dari hari
kelahiran rabu, kamis, jum’at, sabtu, miggu, senin, selasa, dan disarankan pada
hari tersebut tidak bepergian jauh atau keluar kota, jika memang sangat penting
maka sebaiknya keramas dengan kembang 7 rupa, dan pada malam selasa yakni hari
senin pon anda berhati hati,( Kompasiana )
Bagi sebagian orang, tanggal 13 pada hari Jumat kerap
dihubung-hubungkan dengan kesialan, tahayul, dan hal berbau mistik.
Berikut ini 13
catatan sejarah kejadian pada hari Jumat tanggal 13.
1. Jumat, 13 Oktober 1307 Raja Philip IV dari Perancis
menyerbu Ksatria Templar. Raja itu kemudian memenjarakan ribuan orang atas
tuduhan melakukan kegiatan ilegal. Ratusan orang di antaranya mengalami
penyiksaan luar biasa hingga meninggal dunia. Namun, tuduhan itu tak pernah
terbukti.
2. Jumat 13
Maret 1314 Jacques de Molay, Grand Master terakhir dari Ksatria Templar dibakar
sampai mati di atas api secara perlahan-lahan. 3
3. Jumat 13 Juli 1951 Bencana alam banjir Besar yang
menewaskan 24 orang serta menghancurkan lebih dari 2 juta hektar tanah di
Kansas. Bencana ini mengakibatkan kerugian US$ 760 juta atau sekitar Rp 7,174
triliun.
4. Jumat 13 November 1970. Badai besar di Asia Selatan
menewaskan sekitar 300.000 orang di Chittagong, Bangladesh, dan mengakibatkan
banjir hingga menewaskan 1 juta orang di delta Gangga.
5. Jumat 13
Oktober 1972 Sebuah pesawat Uruguay yang membawa tim rugby jatuh di Pegunungan
Andes.
6. Jumat 13 Juli 1987 Sebuah tornado F4 merobek
Edmonton, Alberta, menewaskan 27 orang dan melukai setidaknya 300 orang.
(KVLT Webzine)
Hari Rabu terakhir dibulan Safar ditengah-tengah
sebagian masyarakat negeri ini dikenal pula sebagai hari yang sial dan nahas
yang disebut sebagai Rabu ( arba ) Mustamir dan dalam bahasa Jawa disebut Rabu
Wekasan. Dalam anggapan masyarakat kesialan bulan Safar akan semakin meningkat
jika ketemu dengan Rabu terakhir di bulan yang sama. Sebab, berdasarkan sebuah
referensi klasik disebutkan bahwa Allah telah menurunkan 3333 jenis penyakit
pada hari Rabu bulan Safar, sehingga jika keduanya bertemu maka tingkat dan
efek negative (kesialan) yang menyebar pada waktu itu semakin tinggi pula.
Itulah sebabnya tingkat kewaspadaan terhadap hari Rabu bulan Safar juga lebih
ekstra. Orang-orang Jawa menyambut hari Rabu Wakesan ini biasanya dilakukan dengan membuat
kue apem dari beras, kue tersebut kemudian dibagi-bagikan dengan tetangga. Ini
dimaksudkan sebagai sedekah dan tentu saja untuk menolak bala. Karena ada
hadits Nabi Saw yang menyatakan bahwa sedekah dapat menolak bala.
Bagi kalangan orang Banjar beranggapan bahwa anak-anak yang dilahirkan pada hari
Rabu bulan Safar, jika sudah agak besar akan menjadi anak yang nakal dan
hyperactive, sehingga untuk mencegah anak tersebut agar tidak nakal,
disyaratkan agar sesudah ia lahir ditimbang (batimbang). Seberapa berat badan
anak tersebut nantinya diganti (sebagai tebusan) dengan bahan makanan untuk
disedekahkan ataupun dibacakan doa selamat.
3.Mitos Tentang Bulan Sial
Ditengah-tengah masyarakat yang masih memegang erat keyakinan tentang adanya
bulan-bulan sial yang diwarisi dari tradisi masyarakat jahiliyah dikenal adanya
bulan-bulan yang dianggap sial dalam kalender Hijriyah seperti bulan Syawal, bulan Muharram ( Suro)
dan bulan Safar.
a.Sialnya Bulan Syawal
Orang Arab menganggap bakal
sial/malang bila melangsungkan aqad pernikahan pada bulan ini dan mereka
berkata : “Wanita yang hendak dikawini itu akan menolak lelaki yang ingin
mengawininya seperti onta betina yang menolak onta jantan jika sudah
kawin/bunting dan mengangkat ekornya.”
Maka Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam membatalkan anggapan sial mereka tersebut, dan Aisyah berkata,:
مسند أحمد ٢٣١٣٧: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ
سَعِيدٍ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أُمَيَّةَ قَالَ حَدَّثَنِى عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَوَّالٍ وَأُدْخِلْتُ عَلَيْهِ فِي شَوَّالٍ فَأَيُّ نِسَائِهِ
كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي فَكَانَتْ تَسْتَحِبُّ أَنْ تُدْخِلَ نِسَاءَهَا فِي
شَوَّالٍ
Musnad Ahmad 23137: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id dari Sufyan dari Ismai'l
bin Umayah berkata; Telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Urwah dari ayahnya
dari Aisyah berkata; "Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam menikahiku di
bulan Syawwal dan menggauliku di bulan syawwal, maka istri beliau mana yang
lebih beruntung di sisi beliau dariku?, Adalah beliau senang untuk memulai
kehidupan berumahtangga dari istri-istrinya pada bulan Syawwal."
Maka yang menyebabkan orang Arab
pada jaman jahiliyah dulu menganggap sial menikah pada bulan syawwal adalah
keyakinan mereka bahwa wanita akan menolak suaminya seperti penolakan onta
betina yang mengangkat ¬ekornya, setelah kawin/bunting
b. Bulan Muharram
Dalam
penanggalan tahun Jawa, bulan Muharram dikenal dengan sebutan bulan Suro.
Sudah menjadi ‘keyakinan’ bagi
sebagian masyarakat Indonesia –Jawa khususnya– bahwa bulan Muharram -atau bulan
Suro dalam istilah Jawa- adalah bulan keramat. Pada tanggal-tanggal tertentu
mereka menghentikan aktivitas–aktivitas yang bersifat hajatan besar,
menghindari perjalanan jauh, sebab hari itu mereka anggap sebagai hari naas
atau sial.
Bulan itu juga mereka takuti bagi
pasangan yang hendak merencanakan pernikahan. Oleh karenanya mereka sangat
menghindarinya dan memilih pernikahan dilaksanakan pada bulan-bulan lain.
Pasalnya, -menurut klaim mereka- pernikahan yang dilangsungkan pada bulan
Muharram kerap mendatangkan sial bagi pasangan, seperti perceraian, kematian,
tidak harmonis, dililit utang, dsb. Budaya ini sudah mengakar sebagai warisan
nenek moyang kita. Kami tidak tahu secara pasti ini dari mana sumbernya, tetapi
mungkin saja sebagai pengaruh asimilasi budaya Hindu dan Islam yang ketika
berbaur memunculkan isme baru yaitu paham kejawen.
Sehingga sebagian dari mereka tidak
berani untuk menyelenggarkan suatu acara terutama hajatan dan pernikahan. Bila
tidak di-indah-kan akan menimbulkan petaka dan kesengsaraan bagi mempelai
berdua dalam mengarungi bahtera kehidupan. Hal ini diakui oleh seorang tokoh
keraton Solo. Bahkan katanya, “Pernah ada yang menyelenggarakan pernikahan di
bulan Suro (Muharram), dan ternyata tertimpa musibah!”. Maka kita lihat, bulan
ini sepi dari acara pernikahan dan hajatan.
Masyarakat Jawa dalam bulan ini untuk
memperoleh keselamatan, mengadakan berbagai kegiatan “Sebagian masyarakat
mengadakan tirakatan pada malam 1 Suro , entah di tiap desa, atau tempat lain
seperti puncak gunung, dst. Sebagiannya lagi mengadakan sadranan, berupa
pembuatan nasi tumpeng yang dihiasi aneka lauk dan kembang lalu di larung
(dihanyutkan) di laut selatan disertai kepala kerbau dengan keyakinan supaya
sang ratu pantai selatan berkenan memberikan berkahnya dan tidak mengganggu.
Peristiwa seperti ini dapat disaksikan di pesisir pantai selatan seperti
Tulungagung, Cilacap dan lainnya.
Sedangkan Di Solo, acara kondang
yang menyertai Muharram (Suro) dan sudah menjadi tradisi adalah kirab kerbau
bule yang terkenal dengan nama Kyai Slamet di keraton Kasunanan Solo. Peristiwa
ini sangat dinantikan oleh warga Solo dan sekitarnya, bahkan yang jauhpun rela
bersusah-payah mendatanginya dengan jalan kaki, dst. Apa tujuannya ? Tiada
lain, untuk ngalap berkah dari sang kerbau, supaya rejekinya lancar, dagangan
laris, dan sebagainya. Naudzubillahi min dzalik. Padahal, dalam pandangan
banyak orang, kerbau merupakan simbol kebodohan, sehingga muncul peribahasa
Jawa untuk menggambarkannya, “bodo ela-elo koyo kebo”. Acara lainnya adalah
jamasan pusaka dan kirab (diarak) keliling keraton.
Berbagai tanggapan sebagian orang
mengenai bulan Muharram. Sehingga berbagai ritual untuk menghindari kesialan,
bencana, musibah dilakukan oleh mereka. Di antaranya adalah acara ruwatan, yang
berarti pembersihan. Mereka yang diruwat diyakini akan terbebas dari sukerta
atau kekotoran. Ada beberapa kriteria bagi mereka yang wajib diruwat, antara
lain ontang-anting (putra/putri tunggal), kedono-kedini (sepasang putra-putri),
sendang kapit pancuran (satu putra diapit dua putri). Mereka yang lahir seperti
ini menjadi mangsa empuk Bhatara Kala, simbol kejahatan. Karena kesialan bulan
Suro ini pula, sampai-sampai sebagian orang tua menasehati anaknya seperti ini,
”Nak, hati-hati di bulan ini. Jangan sering kebut-kebutan, nanti bisa celaka.
Ini bulan suro lho.” Karena bulan ini adalah bulan sial, sebagian orang tidak
mau melakukan hajatan nikah, dsb. Jika melakukan hajatan pada bulan ini bisa
mendapatkan berbagai musibah, acara pernikahannya tidak lancar, mengakibatkan
keluarga tidak harmonis, dsb. Itulah berbagai anggapan masyarakat mengenai
bulan Suro dan kesialan di dalamnya.
c.Bulan Safar
Safar adalah salah satu nama bulan
dari dua belas bulan dalam kalender Islam atau tahun Hijriyah. Safar berada diurutan
kedua sesudah bulan Muharam. Menurut bahasa Safar berarti kosong, ada pula yang
mengartikannya kuning. Sebab dinamakan Safar, karena kebiasaan orang-orang Arab
zaman dulu meninggalkan tempat kediaman atau rumah mereka (sehingga kosong)
untuk berperang ataupun bepergian jauh. Ada pula yang menyatakan bahwa nama
Safar diambil dari nama suatu jenis penyakit sebagaimana yang diyakini oleh
orang-orang Arab jahiliyah pada masa dulu, yakni penyakit safar yang bersarang
di dalam perut, akibat dari adanya sejenis ulat besar yang sangat berbahaya.
Itulah sebabnya mereka menganggap bulan Safar sebagai bulan yang penuh dengan
kejelekan. Pendapat lain menyatakan bahwa Safar adalah sejenis angin berhawa
panas yang menyerang bagian perut dan mengakibatkan orang yang terkena menjadi
sakit.
Bagaimana perspektif orang Banjar
terhadap bulan Safar? Ada banyak hal menarik anggapan dan kepercayaan orang
Banjar terhadap bulan Safar, di antara yang terpenting dari pemahaman bulan
Safar tersebut berkaitan dengan hari Rabu, terutama Rabu terakhir, yang biasa
disebut dengan Arba Mustamir dan dalam bahasa Jawa disebut Rabu Wekasan. Dalam
anggapan masyarakat kesialan bulan Safar akan semakin meningkat jika ketemu
dengan Rabu terakhir di bulan yang sama. Sebab, berdasarkan sebuah referensi
klasik disebutkan bahwa Allah telah menurunkan 3333 jenis penyakit pada hari
Rabu bulan Safar, sehingga jika keduanya bertemu maka tingkat dan efek negative
(kesialan) yang menyebar pada waktu itu semakin tinggi pula. Itulah sebabnya
tingkat kewaspadaan terhadap hari Rabu bulan Safar juga lebih ekstra.
Hawash Abdullah (1982) dalam bukunya
Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara menulis bahwa dalam
kitab-kitab Islam memang banyak yang menyebut adanya bala yang diturunkan pada
bulan Safar. Misalnya, Syekh Muhammad bin Ismail Daud al-Fathani yang menyalin
perkataan ulama menyatakan dalam kitabnya Al-Bahjatul Mardhiyah, tentang
turunnya bala di bulan Safar. Tersebut pula dalam kitab Al-Jawahir, diturunkan
bala pada tiap-tiap tahun sebanyak 320.000 bala dan sekalian pada hari Rabu
yang terakhir pada bulan Safar, maka hari itu terlebih payah daripada setahun.
Tulisan tentang bala yang diturunkan pada bulan Safar ini juga bisa ditemukan
dalam kitab Jamul Fawaaid, tulisan Syekh Daud bin Abdullah al-Fathani.
Dalam kitab yang lain ada pula
disebutkan bahwa Allah telah menurunkan 3333 jenis penyakit pada hari Rabu
bulan Safar, sehingga jika keduanya bertemu maka tingkat dan efek negatif
(kesialan) yang menyebar pada waktu itu semakin tinggi pula. Itulah sebabnya
tingkat kewaspadaan terhadap hari Rabu bulan Safar juga lebih ekstra.
Karenanya menjadi semacam kebiasaan
bagi kebanyakan orang untuk melakukan hal-hal tertentu untuk menghindari
kesialan pada hari itu, misalnya:
1. Shalat sunnat mutlak disertai
dengan pembacaan doa tolak bala
2. Selamatan kampung, biasanya
disertai dengan menulis wafak di atas piring kemudian dibilas dengan air,
seterusnya dicampurkan dengan air di dalam drum supaya bisa dibagi-bagikan
kepada orang banyak untuk diminum
3. Mandi Safar untuk membuang sial,
penyakit, dan hal-hal yang tidak baik. Menurut informasi, kebiasaan mandi Safar
ini dilakukan oleh mereka yang berdiam di daerah pinggiran sungai atau batang
banyu.
4. Tidak melakukan atau bepergian
jauh
5. Tidak melakukan hal-hal yang
menjadi pantangan atau pamali, dan sebagainya.
Boleh jadi, bermula dari sinilah
kemudian muncul berbagai anggapan berkenaan dengan bulan Safar, yang intinya
sama. Bulan Safar sebagai bulan nahas, bulan sial, bulan panas, bulan diturunkannya
bala dan penyakit, dan bulan yang harus diwaspadai keberadaannya. Karena pada
bulan ini, segala penyakit, racun, dan hal-hal yang berbau magis memiliki
kekuatan yang lebih besar dan lebih kuat dibanding pada bulan lainnya.
Terlebih-lebih lagi tatkala memasuki hari Rabu terakhir di bulan Safar, yang
dinamakan dengan Arba Mustamir atau dalam bahasa Jawa disebut Arba Wekasan.
Anggapan bahwa bulan Safar adalah
bulan yang tidak baik, memang dipahami secara umum oleh orang-orang Melayu
sebagaimana paham dari orang-orang Arab jahiliyah pada masa dulu. Khusus bagi
orang Banjar, mengapa mereka beranggapan bulan Safar sebagai bulan panas dan
sial? Ada beberapa hal yang bisa menjelaskan, sebab-musabab munculnya anggapan
seperti itu:
Masa atau waktu ketika ilmu-ilmu
magis masih hidup dan berada pada zamannya, konon menjadi semacam kebiasaan
dalam masyarakat bahwa orang-orang tertentu yang menguasai ilmu sihir (semacam
guna-guna, teluh, santet, atau parang maya) melakukan ritual khusus untuk
mengirimkan ilmunya kepada orang lain dengan tujuan tertentu pada bulan Safar.
Pada bulan Safar katanya ilmu yang mereka lepas tersebut lebih ampuh dibanding
pada bulan yang lain, dan orang yang terkena ilmu itupun akan susah untuk
disembuhkan. Jika tujuan pelepasan ilmu untuk membuat orang yang terkena sakit
maka akan sakit, jika untuk membuat orang terpikat maka akan terpikat, bahkan
keampuhan pikatan tersebut bisa membuat orang yang terkena tergila-gila, dan
seterusnya.
Ada pula yang meyakini, bahwa
sebagian dari benda-benda gaib tersebut tidak memiliki tuan yang menjaga,
memelihara, dan memberi mereka makan sebagai gaduhan, benda-benda gaib ini
bersifat liar. Akibatnya, karena tidak ada yang menggaduh dan melaksanakan
ritual memberi makan kepada mereka, mereka akhirnya mencari sendiri. Bulan
pelepasan dan kebebasan mereka diyakini oleh orang Banjar pada bulan Safar,
itulah sebabnya pituah orang bahari kepada sanak keluarga mereka untuk selalu
hati-hati dan waspada jika menghadapi atau memasuki bulan Safar.
Banyak pula orang orang yang juga meyakini bahwa mereka yang memiliki
gaduhan berupa racun melepaskan gaduhan (racunnya) tersebut pada bulan Safar.
Karena itu dianggap pamali untuk makan atau jajan disembarang tempat,
ditakutkan jika terkena racun gaduhan tersebut.
Bulan Safar oleh kebanyakan orang
dijustifikasi sebagai bulan yang penuh kesialan, marabahaya, dan seterusnya.
Akibatnya, dalam perspektif orang orang bulan Safar adalah bulan yang harus
diwaspadai dan ditakuti, sehingga dianggap pamali (pantang) bagi orang-orang untuk melakukan kegiatan-kegiatan
penting di bulan Safar, misalnya:
1. Melangsungkan perkawinan,
2. Memulai pembangunan (batajak)
rumah
3. Menurunkan kapal (nelayan) untuk
melaut mencari ikan
4. Bepergian jauh (madam) untuk
mencari penghidupan yang lebih baik
5. Memulai berusaha, memulai untuk
berdagang, bercocok tanam, mendulang (emas atau intan), dan sebagainya.
Larangan Mencela Waktu atau Bulan
Perlu kita ketahui bersama bahwa
mencela waktu adalah kebiasaan orang-orang musyrik. Mereka menyatakan bahwa yang
membinasakan dan mencelakakan mereka adalah waktu. Allah pun mencela perbuatan
mereka ini. Allah Ta’ala berfirman :
وَقَالُوا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا
الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ وَمَا لَهُم بِذَلِكَ
مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ
Dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di
dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita
selain masa", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang
itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.(QS.Al Jatsiyah : 24 )
Jadi, mencela waktu adalah sesuatu
yang tidak disenangi oleh Allah. Itulah kebiasan orang musyrik dan hal ini
berarti kebiasaan yang jelek.
Begitu juga dalam berbagai hadits
disebutkan mengenai larangan mencela waktu. Di antaranya terdapat hadits dari
Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Allah ’Azza
wa Jalla berfirman,
سنن أبي داوود ٤٥٩٠: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ الصَّبَّاحِ بْنِ سُفْيَانَ وَابْنُ السَّرْحِ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ
الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِي ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ
وَأَنَا الدَّهْرُ بِيَدِي الْأَمْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ قَالَ ابْنُ
السَّرْحِ عَنْ ابْنِ الْمُسَيِّبِ مَكَانَ سَعِيدٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Sunan Abu Daud 4590: dari
Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Allah Azza
Wa Jalla berfirman: 'Anak Adam telah menyakiti-Ku, ia telah mencaci maki zaman,
padahal Aku adalah zaman, di dalam genggaman-Ku lah semua urusan, Aku balikkan
antara siang dan malam
Dari sini, mencela waktu digolongkan
sesuatu yang telarang, bisa jadi haram, bahkan bisa termasuk perbuatan syirik.
Kenapa demikian? Karena Allah sendiri mengatakan bahwa Dia-lah yang mengatur
siang dan malam. Apabila seseorang mencela waktu dengan menyatakan bahwa bulan
ini adalah bulan sial atau bulan ini selalu membuat celaka, maka sama saja dia
mencela Pengatur Waktu, yaitu Allah ’Azza wa Jalla.
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
bersabda, ”Beranggapan sial termasuk kesyirikan, beranggapan sial termasuk
kesyirikan. (Beliau menyebutnya tiga kali, lalu beliau bersabda). Tidak ada di
antara kita yang selamat dari beranggapan sial. Menghilangkan anggapan sial
tersebut adalah dengan bertawakkal.”
Ini berarti bahwa beranggapan sial
dengan sesuatu baik dengan waktu, bulan atau beranggapan sial dengan orang
tertentu adalah suatu yang terlarang bahkan beranggapan sial termasuk
kesyirikan.
Pada Dasarnya Menurut Islam Semua Angka, Hari dan
Bulan Adalah Baik
Didalam Islam tidak dikenal adanya angka, hari atau
bulan yang tidak baik atau sial sebagaimana anggapan dan keyakinan dari
sebagian masyarakat sejak dulu yang kemudian diwarisi oleh generasi kemudian.Semua
hari maupun bulan dari sudut pandang Islam adalah baik.
Pada dasarnya, semua tanggal dan hari baik selama kita
isi dengan kebaikan. Akan tetapi, ada hari-hari yang dipandang baik dengan
amalan-amalan yang baik pula. Misalnya, hari Jumat dengan shalat jumatnya.
Bulan Ramadhan dengan puasanya dan pahala yang berlipat ganda.
Tanggal 9 Dzulhijjah dengan puasa Arafah yang berisi
pengampunan dosa-dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.
Sebagaimana bunyi hadits dari Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam
صحيح مسلم ١٩٧٦: و حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ جَمِيعًا عَنْ حَمَّادٍ قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ غَيْلَانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَعْبَدٍ الزِّمَّانِيِّ عَنْ أَبِي قَتَادَةَ
رَجُلٌ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ كَيْفَ تَصُومُ فَغَضِبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا رَأَى عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ غَضَبَهُ قَالَ رَضِينَا بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا نَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ غَضَبِ اللَّهِ وَغَضَبِ رَسُولِهِ فَجَعَلَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يُرَدِّدُ هَذَا الْكَلَامَ حَتَّى سَكَنَ غَضَبُهُ فَقَالَ عُمَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ بِمَنْ يَصُومُ الدَّهْرَ كُلَّهُ قَالَ لَا صَامَ وَلَا أَفْطَرَ أَوْ قَالَ لَمْ يَصُمْ وَلَمْ يُفْطِرْ قَالَ كَيْفَ مَنْ يَصُومُ يَوْمَيْنِ وَيُفْطِرُ يَوْمًا قَالَ وَيُطِيقُ ذَلِكَ أَحَدٌ قَالَ كَيْفَ مَنْ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا قَالَ ذَاكَ صَوْمُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام قَالَ كَيْفَ مَنْ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمَيْنِ قَالَ وَدِدْتُ أَنِّي طُوِّقْتُ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثٌ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ فَهَذَا صِيَامُ الدَّهْرِ كُلِّهِ صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
Shahih Muslim 1976: dari Abu Qatadah bahwa seorang laki-laki
datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan bertanya,
"Bagaimanakah Anda berpuasa?" Mendengar pertanyaan itu, Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam marah. Dan ketika Umar menyaksikan Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam marah, ia berkata, "Kami rela Allah sebagai
Tuhan, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai Rasul. Kami berlindung kepada
Allah, dari murka Allah dan Rasul-Nya." Umar mengulang ucapan tersebut
hingga kemarahan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam reda. Kemudian ia
bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana dengan orang yang berpuasa
sepanjang tahun?" Beliau menjawab: "Dia tidak berpuasa dan tidak juga
berbuka." -atau beliau katakan dengan redaksi 'Selamanya ia tak dianggap
berpuasa dan tidak pula dianggap berbuka-- Umar bertanya lagi, "Bagaimana
dengan orang yang berpuasa sehari dan berbuka sehari?" beliau menjawab:
"Itu adalah puasa Dawud 'Alaihis Salam." Umar bertanya lagi,
"Bagaimana dengan orang yang berpuasa sehari dan berbuka dua hari?"
beliau menjawab: "Aku senang, jika diberi kekuatan untuk itu."
kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Puasa tiga
hari setiap bulan, puasa dari Ramadlan ke Ramadlan sama dengan puasa setahun
penuh. Sedangkan puasa pada hari Arafah, aku memohon pula kepada Allah, agar
puasa itu bisa menghapus dosa setahun setahun penuh sebelumnya dan setahun
sesudahnya. Adapun puasa pada hari 'Asyura`, aku memohon kepada Allah agar
puasa tersebut bisa menghapus dosa setahun sebelumnya."
Menurut pandangan Islam selain hari
Jum’at yang mempunyai keutamaan terdapat pula bulan-bulan yang mempunyai
keutamaan dibanding bulan-bulan lainnya, antara lain :
1.Keutamaan Bulan Muharram
Bulan Muharram adalah Syahrullah
(Bulan Allah).Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa
sallam bersabda, ”Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa
pada syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling
utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.”[3]
Al Hafizh Abul Fadhl Al ’Iroqiy
mengatakan dalam Syarh Tirmidzi, ”Apa hikmah bulan Muharram disebut dengan
syahrullah (bulan Allah), padahal semua bulan adalah milik Allah?” Beliau
rahimahullah menjawab, ”Disebut demikian karena di bulan Muharram ini
diharamkan pembunuhan. Juga bulan Muharram adalah bulan pertama dalam setahun.
Bulan ini disandarkan pada Allah (sehingga disebut syahrullah atau bulan Allah,
pen) untuk menunjukkan istimewanya bulan ini. Dan Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam sendiri tidak pernah menyandarkan bulan lain pada Allah Ta’ala kecuali
bulan Allah (yaitu Muharram)[4] Jelaslah bahwa bulan Muharram adalah bulan yang
sangat utama dan istimewa.. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا
فِي كِتَابِ اللّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَات وَالأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ
حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلاَ تَظْلِمُواْ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ
وَقَاتِلُواْ الْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَآفَّةً
وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram [640].
Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri [641]
kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya
sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah
beserta orang-orang yang bertakwa. ”(QS. At-Taubah : 36)
Imam Ath-Thabari berkata, “Bulan itu
ada dua belas, 4 diantaranya merupakan bulan haram (mulia), dimana orang-orang
jahiliyah dahulu mengagungkan dan memuliakannya. Mereka mengharamkan peperangan
pada bulan tersebut. Sampai seandainya ada seseorang bertemu dengan orang yang
membunuh ayahnya maka dia tidak akan menyerangnya. Bulan yang empat itu adalah
Rajab Mudhor, dan tiga bulan berurutan, yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan
Muharram. Dengan ini nyatalah khabar-khabar yang disabdakan oleh Rasulullah ”.
Kemudian At-Thabari meriwayatkan beberapa hadits, diantaranya hadits dari
sahabat Abu Bakrah , yang diriwayatkan Imam Bukhari (no. 4662), Rasulullah bersabda,
صحيح البخاري ٤٠٥٤: حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ
بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ مُحَمَّدٍ
عَنْ ابْنِ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ الزَّمَانُ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَةِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ
وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثَةٌ
مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي
بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ أَيُّ شَهْرٍ هَذَا قُلْنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ
فَسَكَتَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهُ سَيُسَمِّيهِ بِغَيْرِ اسْمِهِ قَالَ أَلَيْسَ ذُو
الْحِجَّةِ قُلْنَا بَلَى قَالَ فَأَيُّ بَلَدٍ هَذَا قُلْنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ
أَعْلَمُ فَسَكَتَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهُ سَيُسَمِّيهِ بِغَيْرِ اسْمِهِ قَالَ أَلَيْسَ
الْبَلْدَةَ قُلْنَا بَلَى قَالَ فَأَيُّ يَوْمٍ هَذَا قُلْنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ
أَعْلَمُ فَسَكَتَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهُ سَيُسَمِّيهِ بِغَيْرِ اسْمِهِ قَالَ أَلَيْسَ
يَوْمَ النَّحْرِ قُلْنَا بَلَى قَالَ فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ قَالَ مُحَمَّدٌ
وَأَحْسِبُهُ قَالَ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا
فِي بَلَدِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا وَسَتَلْقَوْنَ رَبَّكُمْ فَسَيَسْأَلُكُمْ
عَنْ أَعْمَالِكُمْ أَلَا فَلَا تَرْجِعُوا بَعْدِي ضُلَّالًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ
رِقَابَ بَعْضٍ أَلَا لِيُبَلِّغْ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ فَلَعَلَّ بَعْضَ مَنْ يُبَلَّغُهُ
أَنْ يَكُونَ أَوْعَى لَهُ مِنْ بَعْضِ مَنْ سَمِعَهُ فَكَانَ مُحَمَّدٌ إِذَا ذَكَرَهُ
يَقُولُ صَدَقَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ أَلَا هَلْ
بَلَّغْتُ مَرَّتَيْنِ
Shahih Bukhari 4054: dari Abu Bakrah dari Nabi shallallahu
'alaihi wasallam "Waktu berputar sebagaimana keadaannya semula ketika
Allah menciptakan langit dan bumi. Tahun terdiri dari dua belas bulan, empat
diantaranya adalah bulan suci, tiga berurutan, yaitu Dzul qa'dah, Dzulhijjah,
dan Muharram, dan yang ke empat adalah Rajab yang dinamai sebagai penghormatan
terhadap suku Mudlar, teletak di antara bulan Jumadah (Al Tsaniyah) dan
Sya'ban." Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata, "Bulan
yang mana ini?" kami berkata; "Allah dan Rasul-Nya lebih tahu."
mendengar jawaban itu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam terdiam agak lama
sehingga sempat berfikir bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam akan memberi
nama yang lain. Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata; "Bukankah
sekarang bulan Dzulhijjah?" kami menjawab; "Ya." Kemudian Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam berkata: "Kota apa ini?" Kami menjawab;
"Allah dan Rasul-Nya lebih tau?" Mendengar hal itu, Nabi shallallahu
'alaihi wasallam termenung agak lama sehingga kami sempat berfikir bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam akan memberinya nama lain. Lalu Nabi berkata:
"Bukankah ini kota Makkah." Kami menjawab; "Ya" Kemudian
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata: "Hari apa ini?" Kami menjawab,
Allah dan Rasul-Nya lebih tahu." Nabi termenung agak lama sehingga kami
sempat berfikir bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam akan memberinya nama
lain. Lalu Nabi berkata,: "Bukankah hari ini hari Nahr (kurban)?"
kami menjawab; "Ya." Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata:
"Maka darahmu, hartamu, kehormatanmu adalah suci satu sama lain seperti
sucinya hari milikmu ini, di kotamu ini, di bulanmu ini; dan sesungguhnya,
kalian akan berjumpa dengan Tuhan kalian dan Dia akan menanyakan
perbuatan-perbuatan kalian. Hati-hatilah! Jangan kembali menjadi orang-orang
sesat sepeninggalku, saling memenggal leher satu sama lain. Sudah menjadi
kewajiban mereka yang hadir (di sini hari ini) untuk menyampaikan pesanku ini
kepada mereka yang tidak hadir. Mungkin
mereka yang tidak hadir akan lebih memahami (pesan ini) dari pada mereka yang
hadir pada saat ini. -Muhammad (perawi) ketika menyebutkan Hadits ini selalu
berkata; 'Sungguh benar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.- Nabi shallallahu
'alaihi wasallam kemudian berkata dua kali: "Ketahuilah! Bukankah telah ku
sampaikan (pesan Allah) kepadamu?"
Qotadah berkata, “Amalan shalih pada
bulan haram pahalanya sangat agung dan perbuatan dhzalim di dalamnya merupakan
kedhzaliman yang besar pula dibanding pada bulan selainnya, walaupun yang namanya
kedhzaliman itu kapanpun merupakan dosa yang besar” (Ma’alimut Tanzil 4/44-45)
Pada bulan Muharram ini terdapat
hari yang pada hari itu terjadi peristiwa yang besar dan pertolongan yang
nyata, menangnya kebenaran mengalahkan kebathilan, dimana Allah Ta’ala telah
menyelamatkan Nabi Musa ‘alaihis sallam dan kaumnya serta menenggelamkan
Fir’aun dan kaumnya. Hari tersebut mempunyai keutamaan yang agung dan kemuliaan
yang abadi sejak dulu. Dia adalah hari kesepuluh yang Disyariatkan Puasa
Asyura. Berdasarkan hadits-hadist berikut ini. Sesuai
hadits dari Rasullullah shallallahu’alahi wa sallam :
صحيح البخاري ١٨٦٢: حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا
شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَمَرَ بِصِيَامِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ كَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ
وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ
Shahih Bukhari 1862: Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman telah mengabarkan kepada
kami Syu'aib dari Az Zuhriy berkata, telah mengabarkan kepada saya 'Urwah bin
Az Zubair bahwa 'Aisyah radliallahu 'anha berkata: "Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam memerintahkan puasa pada hari 'Asyura' (10 Muharam). Setelah
diwajibkan puasa Ramadhan, maka siapa yang mau silakan berpuasa dan siapa yang
tidak mau silakan berbuka (tidak berpuasa) ".
2. Keutamaan Bulan Syawal
Bulan Syawal menurut kalender Islam mempunyai
keutamaan, antara lain dan di bulan tersebut diawali dengan Hari Raya Iedul
Fitri dan disunnahkannya untuk mengikuti shalat Ied sebagaimana hadits dariUmmu
‘Athiyah radliallahu ‘anha mengatakan,”Kami diperintahkan untuk mengajak keluar
gadis yang baru baligh, gadis-gadis pingitan, dan orang-orang haid untuk
menghadiri shalat idul fitri dan idul adha…”(HR. Al Bukhari & Muslim)
Selain dari itu dalam bulan Syawal terdapat pula anjuran untuk
melakukan puasa Syawal selama 6 hari . Puasa ini mempunyai keutamaan
yang sangat istimewa. Dari Abu Ayyub Al Anshori, Rosululloh bersabda,
سنن الترمذي ٦٩٠: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ
حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا سَعْدُ بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ ثَابِتٍ
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ قَالَ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ فَذَلِكَ صِيَامُ الدَّهْرِ
وَفِي الْبَاب عَنْ جَابِرٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ
وَثَوْبَانَ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَبِي أَيُّوبَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَدْ
اسْتَحَبَّ قَوْمٌ صِيَامَ سِتَّةِ أَيَّامٍ مِنْ شَوَّالٍ بِهَذَا الْحَدِيثِ قَالَ
ابْنُ الْمُبَارَكِ هُوَ حَسَنٌ هُوَ مِثْلُ صِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ
شَهْرٍ قَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ وَيُرْوَى فِي بَعْضِ الْحَدِيثِ وَيُلْحَقُ هَذَا
الصِّيَامُ بِرَمَضَانَ وَاخْتَارَ ابْنُ الْمُبَارَكِ أَنْ تَكُونَ سِتَّةَ أَيَّامٍ
فِي أَوَّلِ الشَّهْرِ وَقَدْ رُوِيَ عَنْ ابْنِ الْمُبَارَكِ أَنَّهُ قَالَ إِنْ صَامَ
سِتَّةَ أَيَّامٍ مِنْ شَوَّالٍ مُتَفَرِّقًا فَهُوَ جَائِزٌ قَالَ وَقَدْ رَوَى عَبْدُ
الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سُلَيْمٍ وَسَعْدِ بْنِ سَعِيدٍ هَذَا
الْحَدِيثَ عَنْ عُمَرَ بْنِ ثَابِتٍ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا وَرَوَى شُعْبَةُ عَنْ وَرْقَاءَ بْنِ عُمَرَ عَنْ سَعْدِ
بْنِ سَعِيدٍ هَذَا الْحَدِيثَ وَسَعْدُ بْنُ سَعِيدٍ هُوَ أَخُو يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ
الْأَنْصَارِيِّ وَقَدْ تَكَلَّمَ بَعْضُ أَهْلِ الْحَدِيثِ فِي سَعْدِ بْنِ سَعِيدٍ
مِنْ قِبَلِ حِفْظِهِ حَدَّثَنَا هَنَّادٌ قَالَ أَخْبَرَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ
الْجُعْفِيُّ عَنْ إِسْرَائِيلَ أَبِي مُوسَى عَنْ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ قَالَ كَانَ
إِذَا ذُكِرَ عِنْدَهُ صِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ مِنْ شَوَّالٍ فَيَقُولُ وَاللَّهِ
لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ بِصِيَامِ هَذَا الشَّهْرِ عَنْ السَّنَةِ كُلِّهَا
Sunan Tirmidzi 690: dari Abu Ayyub dia berkata, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wasallam
bersabda: " Barang siapa yang berpuasa Ramadlan yang dilanjutkan dengan
puasa enam hari pada bulan Syawwal, maka hal itu sama dengan puasa setahun
penuh." Dalam bab ini (ada juga riwayat -pent) dari Jabir, Abu Hurairah
dan Tsauban. Abu 'Isa berkata, hadits Abu Ayyub adalah hadits hasan shahih.
Sebagian ulama menyukai untuk berpuasa enam hari di bulan Syawwal berdasarkan
hadits ini. Ibnu Al Mubarak berkata, pendapat itu baik seperti halnya berpuasa
tiga hari di pertengahan tiap bulan, Ibnu Al Mubarak melanjutkan, telah
diriwayatkan di sebagian hadits, bahwa puasa ini lanjutan dari puasa Ramadlan,
Ibnu Mubarak memilih dan lebih menyukai berpuasa enam hari di awal bulan
berturut-turut namun tidak mengapa jika ingin berpuasa enam hari tidak
berurutan. (perawi) berkata, 'Abdul Aziz bin Muhammad telah meriwayatkan hadits
ini dari Shafwan bin Sulaim, sedangkan Sa'ad bin Sa'id meriwayatkannya dari
Umar bin Tsabit dari Abu 'Ayyub dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wasallam. Begitu
juga Syu'bah meriwayatkan hadits ini dari Warqa' bin Umar dari Sa'ad bin Sa'id
dan Sa'ad bin Sa'id ialah saudaranya Yahya bin Sa'id Al Anshari, para ahlul
hadits mencela Sa'ad bin Sa'id dari segi hafalannya. Telah menceritakan kepada
kami Hannad telah menceritakan kepada kami Hasan bin Ali Al Ju'fi dari Isra'il
Abu Musa dari Hasan Al Bashri beliau berkata, jika disebutkan padanya puasa
enam hari di bulan Syawwal dia berkata, demi Allah, sungguh Allah telah ridla
kepada puasa enam hari di bulan Syawwal sebanding dengan puasa setahun penuh.
Bulan Syawal juga dilaksanakan i’tikaf.Dianjurkan bagi orang yang
terbiasa melakukan i’tikaf, kemudian karena satu dan lain hal, dia tidak bisa
melaksanakan i’tikaf di bulan Ramadlan maka dianjurkan untuk melaksanakannya di
bulan Syawal, sebagai bentuk qadla sunnah.
Dari A’isyah, beliau menceritakan i’tikafnya Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, kemudian di pagi harinya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat
ada banyak kemah para istrinya. Beliau bertanya: Apa-apaan ini? Setelah diberi
tahu, beliau bersabda kepada para istrinya: “Apakah kalian menganggap ini
baik?” kemudian beliau tidak i’tikaf di bulan itu, dan beliau i’tikaf pada
sepuluh hari di bulan Syawal.” (HR. Al Bukhari & Muslim)
Abu Thayib abadi mengatakan,”I’tikaf beliau di bulan Syawal sebagai
ganti (qadla) untuk i’tikaf bulan Ramadlan yang beliau tinggalkan…”(Aunul
Ma’bud-syarah Abu Daud, 7/99)
Keutamaan lain dalam bulan Syawal adalah membangun rumah tangga (campur antara
suami-istri), karena menikah di bulan syawal itu sunnahnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam, karena beliau menikah dengan Aisyah radhyallaahu’anha dibulan Syawal,
sehingga sebagian ulama menyarankan seyogyanya pernikahan itu dilaksanakan
dalam bulan syawal, karena Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam menikahi
Aisyah radhyallaahu’anha di dalam bulan Syawwal, sebagaimana yang disebutkan
dalam hadist dari Aisyah :
مسند أحمد ٢٣١٣٧: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ
سَعِيدٍ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أُمَيَّةَ قَالَ حَدَّثَنِى عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَوَّالٍ وَأُدْخِلْتُ عَلَيْهِ فِي شَوَّالٍ فَأَيُّ نِسَائِهِ
كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي فَكَانَتْ تَسْتَحِبُّ أَنْ تُدْخِلَ نِسَاءَهَا فِي
شَوَّالٍ
Musnad Ahmad 23137: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id dari Sufyan dari Ismai'l
bin Umayah berkata; Telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Urwah dari ayahnya
dari Aisyah berkata; "Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam menikahiku di
bulan Syawwal dan menggauliku di bulan syawwal, maka istri beliau mana yang
lebih beruntung di sisi beliau dariku?, Adalah beliau senang untuk memulai
kehidupan berumahtangga dari istri-istrinya pada bulan Syawwal."
Diantara hikmah
dianjurkannya menikah di bulan Syawal adalah menyelisihi keyakinan dan
kebiasaan masyarakat jahiliyah.
Imam Nawawi mengatakan, “Tujuan Aisyah mengatakan demikian
adalah sebagai bantahan terhadap keyakinan jahiliah dan khurafat yang beredar
di kalangan masyarakat awam, bahwa dimakruhkan menikah atau melakukan malam
pertama di bulan Syawal. Ini adalah keyakinan yang salah, yang tidak memiliki
landasan. Bahkan, keyakinan ini merupakan peninggalan masyarakat jahiliah yang
meyakini adanya kesialan di bulan Syawal.”
An Nawawi mengatakan, “Dalam hadis ini terdapat anjuran untuk menikah
dan membangun rumah tangga (campur) di bulan Syawal. Para ulama madzhab kami
(syafi’iyah) menegaskan anjuran hal ini. Mereka berdalil dengan hadis
ini…”(Dikutip dari Tuhfatul Ahwadzi, 4/ 182)
Diantara hikmah dianjurkannya menikah di bulan Syawal adalah
menyelisihi keyakinan dan kebiasaan masyarakat jahiliyah.
Imam An Nawawi mengatakan, “Tujuan A’isyah menceritakan hal ini adalah
dalam rangka membantah anggapan jahiliyah dan keyakinan tahayul orang awam di
zamannya. Mereka membenci acara pernikahan di bulan syawal, karena diyakini
membawa sial. Ini adalah keyakinan yang salah, tidak memilliki landasan, dan
termasuk kebiasaan jahiliyah, dimana mereka beranggapan sial dengan bulan
syawal…”(Dikutip dari Tuhfatul Ahwadzi, 4/ 182)
Menurut Islam, semua bulan dan hari itu baik,
masing-masing mempunyai sejarah, keistimewaan dan peristiwa sendiri-sendiri.
Jika bulan dan hari tertentu mempunyai sisi nilai keutamaan yang lebih, bukan
berarti bulan dan hari yang lain merupakan bulan atau hari yang buruk. Jika ada
kejadian tragis atau peristiwa yang memilukan dalam sebuah bulan atau hari, itu
bukan berarti bulan dan hari atau tanggal tersebut merupakan bulan, hari, dan
tanggal musibah atau yang penuh kesialan. Namun kita harus pandai-pandai
mencari hikmah di balik peristiwa itu, dan amaliah apa yang harus dilakukan
sehingga terhindar dan selamat dari berbagai musibah.
Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam Fatawa Al-Hadistiyyah
pernah ditanya tentang bagaimana status adanya hari nahas yang oleh sebagian
orang dipercaya sehingga mereka berpaling dari hari itu atau menghindarkan
suatu pekerjaannya karena dianggap hari itu penuh kesialan.
Beliau menjawab bahwa jika ada orang mempercayai
adanya hari nahas (sial) dengan tujuan mengharuskan untuk berpaling darinya
atau menghindarkan suatu pekerjaan pada hari tersebut dan menganggapnya
terdapat kesialan, maka sesungguhnya yang demikian ini termasuk tradisi kaum
Yahudi dan bukan sunnah kaum muslimin yang selalu tawakkal kepada Allah dan
tidak berprasangka buruk terhadap Allah.
Sedangkan jika ada riwayat, lanjut beliau, yang
menyebutkan tentang hari yang harus dihindari karena mengandung kesialan, maka
riwayat tersebut adalah batil, tidak benar, mengandung kebohongan dan tidak
mempunyai sandaran dalil yang jelas, untuk itu jauhilah riwayat seperti ini.
Pada hakikatnya yang ada hanyalah
hari yang lebih utama daripada hari-hari yang lain atau bulan-bulan yang lain
contohnya hari Jum‘at adalah ‘penghulu’ bagi hari-hari dalam satu minggu. Hari
Isnin, hari Khamis, hari ‘Arafah dan hari ‘Asyura mempunyai keistemewaannya
tersendiri sehingga disunatkan umat Islam melebihkan ibadat atau amal pada
hari-hari tersebut dengan berpuasa. Begitu juga dengan kelebihan bulan Ramadhan
daripada bulan-bulan yang lain. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
yang maksudnya :
“Sesungguhnya hari Jum‘at adalah penghulu segala hari dan hari yang paling
besar di sisi Allah Subhanahu wa Ta ‘ala iaitu hari yang lebih besar daripada
hari raya Adha dan hari raya Fitrah, pada hari Jum‘at itu terdapat lima
kejadian iaitu hari yang dijadikan Adam ‘alaihissalam dan Baginda di turunkan
daripada syurga ke muka bumi, dan pada hari itu juga wafatnya Adam
‘alaihissalam, dan Allah mengurniakan satu saat di mana doa-doa dikabulkan
kecuali doa-doa maksiat, dan hari Jum‘at juga akan terjadinya hari Kiamat”.
(Hadis riwayat Ibnu Majah)
Ibnu Abbas menceritakan dalam sebuah
hadith, katanya yang bermaksud:
صحيح البخاري ١٨٦٧: حَدَّثَنَا عُبَيْدُ
اللَّهِ بْنُ مُوسَى عَنْ ابْنِ عُيَيْنَةَ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي يَزِيدَ
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلَّا هَذَا
الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ
Shahih Bukhari 1867: Telah menceritakan kepada kami 'Ubaidullah
bin Musa dari Ibnu 'Uyainah dari 'Ubaidullah bin Abu YAzid dari Ibnu 'Abbas
radliallahu 'anhuma berkata: "Tidak pernah aku melihat Nabi shallallahu
'alaihi wasallam sengaja berpuasa pada suatu hari yang Beliau istimewakan
dibanding hari-hari lainnya kecuali hari 'Asyura' dan bulan ini, yaitu bulan
Ramadhan".
Beranggapan Sial Termasuk Thiyaroh
Atau Tathoyyur
Beranggapan sial ini dalam bahasan
akidah diistilahkan dengan thiyaroh atau tathoyyur. Thiyaroh berasal dari kata
burung, artinya dahulu orang Arab Jahiliyah ketika memutuskan melakukan safar,
mereka memutuskan dengan melihat pergerakan burung. Jika burung tersebut
bergerak ke kanan, maka itu tanda perjalanannya akan baik. Jika burung tersebut
bergerak ke kiri, maka itu tanda mereka harus mengurungkan melakukan safar
karena bisa jadi terjadi musibah ketika di jalan.
Namun maksud thiyaroh di sini adalah
umum, bukan hanya dengan burung saja. Thiyaroh adalah beranggapan sial ketika
tertimpanya suatu musibah pada sesuatu yang bukan merupakan sebab dilihat dari
sisi syar’i atau inderawi, baik itu dengan orang, dengan benda tertentu, dengan
tumbuhan, dengan waktu, dengan angka tertentu atau dengan tempat tertentu.
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Tathayyur adalah
menganggap sial dengan apa yang dilihat dan apa yang didengar. Bila seseorang
melakukan tathayyur ini, ia membatalkan safar yang semula hendak dilakukannya
dan ia menarik diri dari perkara yang semula ia bersikukuh padanya, dengan
begitu berarti ia telah mengetuk pintu kesyirikan bahkan ia telah masuk ke
dalamnya. Ia berlepas diri dari tawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia
membuka untuk dirinya pintu ketakutan dan bergantung kepada selain Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Orang yang menganggap sial dengan apa yang dilihat atau
didengarnya berarti telah memutuskan diri dari apa yang dinyatakan dalam ayat
berikut:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
“Hanya
kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.”
(Al-Fatihah: 5)
فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ
“Maka
beribadahlah engkau kepada-Nya dan bertawakallah.”
(Hud: 123)
عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيْبُ
“Hanya
kepada-Nya aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya aku akan kembali.”
(Asy-Syura: 10)
Jadilah hatinya bergantung kepada selain Allah Subhanahu wa
Ta’ala baik dalam bentuk ibadah ataupun tawakal, sehingga rusaklah hatinya,
iman, dan keadaannya. Tinggallah hatinya menjadi sasaran thiyarah dan
senantiasa digiring kepadanya. Syaitan pun mendatangi orang yang telah rusak
agama dan dunianya ini. Berapa banyak orang yang binasa karenanya dan ia merugi
di dunia dan di akhirat. Dalil-dalil tentang haramnya tathayyur dan tasyaum
(menganggap sial) ini ma`ruf dan terdapat pada tempat-tempat pembahasannya,
maka kita cukupkan dengan apa yang telah disebutkan. (Fatawa Al-Mar`ah
Al-Muslimah 1/132-134)
Menganggap angka 13, hari Jum’at ,
Hari Rabu,bulan Syawal serta bulan Safar bulan sial dan bulan Muharram (Suro)atau adalah bulan keramat
sehingga tidak boleh mengadakan hajatan, walimahan atau acara besar lainnya
termasuk bagian thiyaroh
Beranggapan sial atau thiyaroh
termasuk akidah jahiliyah. Bahkan sudah ada di masa sebelum Islam. Lihatlah
bagaimana Fir’aun beranggapan sial pada Musa ‘alaihis salam dan pengikutnya.
Ketika datang bencana mereka katakan itu gara-gara Musa. Namun ketika datang
berbagai kebaikan, mereka katakana itu karena usaha kami sendiri, tanpa
menyebut kenikmatan tersebut berasal dari Allah. Allah Ta’ala berfirman,
فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا
لَنَا هَذِهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَلَا
إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Kemudian apabila
datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: “Itu adalah karena (usaha)
kami”. Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu
kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan
mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak
mengetahui.” (QS. Al A’raf: 131).
Kesialan yang dianggap sesungguhnya
tidaklah benar. Yang shahih, Musa dan orang beriman sebagai pengikutnya adalah
sebab datangnya kebaikan dan barokah. Karena para Rasul ‘alaihimush sholaatu
was salaam membuat perbaikan di muka bumi dengan ketaatan yang mereka perbuat,
sehingga turunlah barokah. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا
وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ
كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Jikalau sekiranya
penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan
kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat
Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS. Al A’raf: 96).
Dan sebenarnya sebab datangnya musibah adalah
karena pembakangan ahli maksiat, orang musyrik dan kafir, bukan dari orang
beriman.
Kesialan dan bencana sebenarnya
karena kekurang ajaran orang kafir itu sendiri. Sebagaimana hal ini dapat kita
ambil pelajaran dari surat Yasin tentang kisah penduduk negeri yang mendustakan
dua sampai tiga utusan Allah. Allah Ta’ala berfirman,
وَاضْرِبْ لَهُمْ مَثَلًا أَصْحَابَ الْقَرْيَةِ
إِذْ جَاءَهَا الْمُرْسَلُونَ (13) إِذْ أَرْسَلْنَا إِلَيْهِمُ اثْنَيْنِ فَكَذَّبُوهُمَا
فَعَزَّزْنَا بِثَالِثٍ فَقَالُوا إِنَّا إِلَيْكُمْ مُرْسَلُونَ (14) قَالُوا مَا
أَنْتُمْ إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُنَا وَمَا أَنْزَلَ الرَّحْمَنُ مِنْ شَيْءٍ إِنْ أَنْتُمْ
إِلَّا تَكْذِبُونَ (15) قَالُوا رَبُّنَا يَعْلَمُ إِنَّا إِلَيْكُمْ لَمُرْسَلُونَ
(16) وَمَا عَلَيْنَا إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ (17) قَالُوا إِنَّا تَطَيَّرْنَا
بِكُمْ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهُوا لَنَرْجُمَنَّكُمْ وَلَيَمَسَّنَّكُمْ مِنَّا عَذَابٌ
أَلِيمٌ (18) قَالُوا طَائِرُكُمْ مَعَكُمْ أَئِنْ ذُكِّرْتُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ
مُسْرِفُونَ (19)
“Dan buatlah bagi mereka suatu perumpamaan, yaitu penduduk suatu negeri
ketika utusan-utusan datang kepada mereka. (yaitu) ketika Kami mengutus kepada
mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakan keduanya; kemudian Kami
kuatkan dengan (utusan) yang ketiga, maka ketiga utusan itu berkata:
“Sesungguhnya kami adalah orang-orang diutus kepadamu”. Mereka menjawab: “Kamu
tidak lain hanyalah manusia seperti kami dan Allah Yang Maha Pemurah tidak
menurunkan sesuatupun, kamu tidak lain hanyalah pendusta belaka”. Mereka
berkata: “Rabb kami mengetahui bahwa sesungguhnya kami adalah orang yang diutus
kepada kamu”. Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah
Allah) dengan jelas”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami bernasib malang
karena kamu, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami
akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami”.
Utusan-utusan itu berkata: “Kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri. Apakah
jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib malang)? Sebenarnya kamu adalah kaum
yang melampui batas“.” (QS. Yasin:
13-19).
Penduduk negeri tersebut menganggap
nasib sial menimpa mereka karena kedatangan para utusan tersebut. Namun hal itu
dibantah oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala nyatakan sendiri bahwa kesialan itu
karena sebab pembangkangan penduduk itu sendiri.
Begitu pula orang-orang musyrik
pernah menganggap datangnya nasib malang, itu karena Rasul shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ يَقُولُوا
هَذِهِ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِكَ
“Dan jika mereka
memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: “Ini adalah dari sisi Allah”, dan kalau
mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: “Ini (datangnya) dari sisi
kamu (Muhammad)”.” (QS. An Nisa’:
78).
Larangan Thiyaroh Atau Beranggapan
Sial
Thiyaroh atau beranggapan sial
termasuk kesyirikan sebagaimana karena anggapan sial itu secara umum termasuk
ramalan/undi nasib yang dilarang oleh Nabi Shallallahu Alaihi wassallam pada
sabda beliau :
صحيح البخاري ٥٣٢٩: حَدَّثَنَا سَعِيدُ
بْنُ عُفَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنِي ابْنُ وَهْبٍ عَنْ يُونُسَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ
أَخْبَرَنِي سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَحَمْزَةُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ إِنَّمَا الشُّؤْمُ فِي ثَلَاثٍ فِي
الْفَرَسِ وَالْمَرْأَةِ وَالدَّارِ
Shahih Bukhari 5329: Telah menceritaka kepada kami Sa'id bin
'Ufair dia berkata; telah menceritaka kepadaku Ibnu Wahb dari Yunus dari Ibnu
Syihab dia berkata; telah mengabarkan kepadaku Salim bin Abdullah dan Hamzah
bahwa Abdullah bin Umar radliallahu 'anhuma berkata; Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Tidak ad ndaraan, isteri dan tempat
tinggal."
Dan sabda Rasulullah shalallahu
‘alaihi wassallam :
سنن الترمذي ١٥٣٩: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ عَنْ عِيسَى بْنِ عَاصِمٍ عَنْ زِرٍّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطِّيَرَةُ مِنْ الشِّرْكِ وَمَا مِنَّا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ
بِالتَّوَكُّلِ
قَالَ أَبُو عِيسَى وَفِي الْبَاب عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ وَحَابِسٍ التَّمِيمِيِّ وَعَائِشَةَ وَابْنِ عُمَرَ وَسَعْدٍ وَهَذَا
حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ
وَرَوَى شُعْبَةُ أَيْضًا عَنْ سَلَمَةَ هَذَا الْحَدِيثَ قَالَ سَمِعْت مُحَمَّدَ
بْنَ إِسْمَعِيلَ يَقُولُ كَانَ سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ يَقُولُ فِي هَذَا الْحَدِيثِ
وَمَا مِنَّا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ قَالَ سُلَيْمَانُ هَذَا
عِنْدِي قَوْلُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ وَمَا مِنَّا
Sunan Tirmidzi 1539: dari Abdullah bin Mas'ud ia berkata,
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya
thiyarah (pesimis) bagian dari syirik dan bukan bagian dari ajaran kami, justru
Allah akan menghilangkan thiyarah (pesimis) itu dengan bertawakkal
kepada-Nya." Abu Isa berkata, "Dalam bab ini juga ada hadits dari Abu
Hurairah, Habis At Tamimi, 'Aisyah, Ibnu Umar dan Sa'd. Hadits ini derajatnya
hasah shahih, kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Salamah bin Kuhail.
Syu'bah juga meriwayatkan dari Salamah dengan hadits yang sama. Ia berkata, "Aku
mendengar Muhammad bin Isma'il berkata, "Sulaiman bin Harb berkata tentang
hadits ini, 'dan bukan dari kita, justru Allah akan menghilangkan thiyarah
(pesimis) itu dengan bertawakkal kepada-Nya', Sulaiman berkata, "Ini
menurut pendapatku, adalah perkataan Abdullah bin Mas'ud "dan tidaklah
(thiyarah) dari ajaran kami."
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ عَدْوَى ، وَلاَ طِيَرَةَ ، وَلاَ
هَامَةَ ، وَلاَ صَفَرَ
“Tidak dibenarkan menganggap
penyakit menular dengan sendirinya (tanpa ketentuan Allah), tidak dibenarkan
beranggapan sial, tidak dibenarkan pula beranggapan nasib malang karena tempat,
juga tidak dibenarkan beranggapan sial di bulan Shafar” (HR. Bukhari no. 5757 dan Muslim
no. 2220).
Dalam hadits ini disebutkan tidak
bolehnya beranggapan sial secara umum, juga pada tempat dan waktu tertentu
seperti pada bulan Shafar. Di negeri kita yang terkenal adalah beranggapan sial
dengan bulan Suro, maka itu pun sama terlarangnya.
Di Hadits lain diriwayatkan dari
Annas :
صحيح البخاري ٥٣٣١: حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ
بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ سَمِعْتُ
قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ قَالُوا وَمَا
الْفَأْلُ قَالَ كَلِمَةٌ طَيِّبَةٌ
Shahih Bukhari 5331: dari Anas bin Malik radliallahu 'anhu dari
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Tidak ada 'adwa (keyakinan
adanya penularan penyakit) dan tidak pula thiyarah (menganggap sial pada
sesuatu sehingga tidak jadi beramal) dan yang menakjubkanku adalah al
fa'lu." Mereka bertanya; "Apakah al fa'lu itu?" beliau menjawab:
"Kalimat yang baik."
Apa beda al fa’lu dan thiyaroh? Al
fa’lu adalah berangan kebaikan. Sedangkan thiyaroh adalah berperasaan akan
datangnya keburukan. Berangan datangnya kebaikan adalah suatu anjuran karena
hal ini termasuk husnu zhon (berprasangka baik) pada Allah. Contoh fa’lu adalah ketika kita mendengar ucapan-ucapan yang baik,
maka cerialah hati kita. Atau kita melihat seorang yang tampil menawan hati,
kita pun menjadi tenang, tanda mengharap kebaikan dan husnu zhon pada Allah.
Fa’lu termasuk perkara yang baik. Dari sinilah mengapa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam takjub. Ketika mendengar nama atau ucapan yang baik atau
berlalu di tempat kebaikan, hati menjadi tenang, dan tanda husnu zhon pada
Allah. Demikian penjelasan Syaikhuna, Dr. Sholeh Al Fauzan dalam I’anatul
Mustafid.
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia
menyebutkan hadits secara marfu’ –sampai kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam-,
« الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ
». ثَلاَثًا « وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ
».
“Beranggapan sial adalah kesyirikan, beranggapan sial adalah kesyirikan”.
Beliau menyebutnya sampai tiga kali. Kemudian Ibnu Mas’ud berkata, “Tidak ada
yang bisa menghilangkan sangkaan jelek dalam hatinya. Namun Allah-lah yang
menghilangkan anggapan sial tersebut dengan tawakkal.” (HR. Abu Daud no. 3910 dan Ibnu
Majah no. 3538. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Hadits ini dengan sangat jelas
menunjukkan bahwa thiyaroh atau beranggapan sial termasuk bentuk syirik.
Kesyirikan dalam masalah thiyaroh ini bisa dirinci menjadi dua:
Jika menganggap bahwa yang
mendatangkan manfaat dan mudhorot adalah makhluk, ini syirik akbar.
Jika menganggap bahwa yang memberi
manfaat atau mudhorot hanyalah Allah, namun makhluk hanyalah sebagai sebab, ini
termasuk syirik ashgor.
Catatan: Tidak setiap anggapan jelek
itu terlarang. Ada anggapan jelek yang masih dibolehkan selama ada sebab yang
syar’i atau hissiy (inderawi). Seperti misalnya kita sudah mengetahui
gerak-gerik si pencuri, dan kita berprasangka jelek padanya, maka ini ada bukti
atau sebab, sehingga prasangka jelek ini tidak bermasalah.
Anggapan sial mengurangi tauhid
seorang muslim dan dinilai syirik. Penilaian syirik ini dilihat dari beberapa
sisi:
\(1) bergantung pada sesuatu yang
bukan sebab secara hakiki,
(2) memutuskan suatu kejadian seakan-akan
menentang takdir Allah,
(3) mengurangi tauhid.
P e n u t u p
Meskipun peradaban dunia sudah sedemikian maju dan modern,
tetapi ternyata masih ada sebagian dari masyarakat muslim di negeri ini yang
masih mempertahankan kepercayaan kepada sesuatu yang mendatangkan kesialan yang
diwarisi dari kepercayaan orang-orang Arab jahiliyah diantaranya anggapan sial terhadap
angka 13, sialya hari Jum’at , sialnya hari Rabu terakhir bulan Safar ( Rabu
wakesan/.arba mustamir) dan sialnya bulan Syawal, Muharram dan Safar.
Para ulama menegaskan bahwa anggapan adanya kesialan
terhadap sesuatu termasuk menganggap sialnya angka, hari dan bulan sepertoi
bulan Syawal, Muharaam dan bulan Safar merupakan perbuatan bid’ah yang tidak
ada dasarnya, bahkan sebagian ulama menyebutkan syiriknya keyakinan adanya
kesialan’.Karena dalam Islam pada dasarnya semua angka, hari, dan bulan itu
baik. Bahkan hari Juma’t disebut sebagai penghulunya hari. Begitu pula bulan
Syawal dan bulan Muharram mempunyai keutamaan, antara lain dalam
bulan-bulan tersebut dianjurkan untuk
berpuasa sunnah, seperti puasa 6 hari di bulan Syawal dan puasa Syura pada tanggal 10 Muharram.(
Wallaahu’alam )
Sumber :
1.Al-Qur’an
dan Terjemahan,www.salafi-db.com
4.Artikel www.darussalaf.or.id.
5.Artikelwww.abiubaidah.com
6.Artikel www.asysyariah.com
7.Artikel www. Muslim.Or.Id
10. Artikel www. Hidayah.Com
Selesai disusun ba’da Ashar, Kamis 19 Syawal 1433 H
/ 6 September 2012 ( Musni Japrie )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar