Mereka-mereka yang melakukan perbuatan bid’ah dalam hal agama sebenarnya banyak yang tidak menyadari apa yang mereka lakukan tersebut tidak bersesuai dengan as-sunnah, namun karena apa yang mereka kerjakan tersebut bersumber dari guru, ustadz atau ulama-ulama dan kiayi yang tidak didasarkan kepada as-sunnah maka mereka terima dan ikutilah karena mereka beranggapan apa yang telah diajarkan tersebut adalah benar.
Di antara bahaya bid’ah adalah perbuatan ini akan menghilangkan sunnah yang semisal. Hal ini sebagaimana pernyataan salah seorang tabi’in, Hasan bin ‘Athiyah,
ما ابتدع قوم بدعة في دينهم إلا نزع الله من سنتهم مثلها ولا يعيدها إليهم إلى يوم القيامة
“Tidaklah suatu kaum melakukan suatu perkara yang diada-adakan dalam urusan agama mereka (bid’ah) melainkan Allah akan mencabut suatu sunnah yang semisal dari lingkungan mereka. Allah tidak akan mengembalikan sunnah itu kepada mereka sampai kiamat” (Lammud Durril Mantsur, hal. 21)
Demikianlah gambaran masyarakat kita sekarang yang tidak lagi mengenal perbedaan sunnah dan bid’ah. Ajaran Nabi yang benar, dianggap sebagai bid’ah atau aliran menyimpang, sedangkan suatu amalan bid’ah justru dianggap sebagai sunnah Nabi yang perlu dilestarikan. Hal ini sudah jauh hari disinyalir keberadaannya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْإِسْلاَمَ بَدَأَ غَرِيْبًا وَ سَيَعُوْدُ غَرِيْبًا كَمَا بَدَأَ فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Sesungguhnya Islam dimulai dengan keterasingan dan akan kembali asing sebagaimana awalnya, maka beruntunglah orang-orang yang asing (Al Ghuroba’)” (HR. Muslim 2/175-176)
Terdapat beberapa penafsiran ulama mengenai kata al ghuroba’, namun penafsiran yang marfu’ (berdasarkan riwayat yang sampai kepada Nabi), adalah:
Orang-orang yang berbuat kebajikan ketika manusia rusak.
Orang-orang shalih di antara banyaknya orang-orang buruk. Orang yang menyelisihinya lebih banyak daripada yang mentaatinya.
Sebagai contoh bid’ah yang sudah mendarah daging dan sudah merupakan tradisi dan budaya dikalangan masyarakat Muslim di negeri ini adalah dalam mengamalkan membaca surah Yasin antara lain pada setiap malam jum’at dan hari Jum’at ,baik secara sendiri-sendiri dirumah atau secara berjama’ah di masjid-masjid, surau atau langgara dan mushalla. Dimana setelah shalat maghrib mereka membaca surat Yasin secara bersama-sama dalam bentuk koor seperti paduan suara. Hal ini dilakukan menurut mereka berdasarkan kepada hadits :
مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ (يس) فِيْ لَيْلَةِ الْجُمُعَةِ ؛ غُفِرَ لَهُ
“Barangsiapa membaca surat Yasin pada malam Jum’at, maka (dosanya) akan diampuni”
Teks hadits tersebut disebutkan oleh Al Ashfahani dalam At Targhib wat Tarhib dari jalan Zaid bin Al Harisy, mengabarkan pada kami Al Aghlab bin Tamim, mengabarkan kepada kami Ayyub dan Yunus dari Al Hasan dari Abu Hurairah secara marfu’.
Syaikh Al Albani menilai hadits ini dha’if jiddan (lemah sekali) karena ada perawi bernama Al Aghlab bin Tamim yang dinilai oleh Ibnu Hibban sebagai perawi yang haditsnya munkar serta perawi bernama Zaid bin Al Harisy yang dinilai oleh Ibnu Hibban sebagai perawi yang seringkali salah (dalam meriwayatkan hadits) (Lihat Silsilah Al Ahadits Adh Dhoifah 11/191)
Padahal seharusnya menjelang hari Jumat (yaitu dimulai ketika matahari sudah tenggelam/malam Jum’at sampai sebelum matahari tenggelam keesokan harinya) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam justru mengajarkan umatnya untuk membaca surat Al Kahfi. Sayangnya, sunnah ini banyak ditinggalkan masyarakat karena kekurang-tahuan mereka akan ilmu yang benar.
Dari Abu Sa’id Al Khudry radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّوْرِ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ
“Barangsiapa membaca surat Al Kahfi pada hari Ju’mat, akan diberikan cahaya baginya di antara dua Jum’at” (HR. Al Hakim 2/368 dan Al Baihaqi 3/249, dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil no. 626)
Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Aku juga menyukai surat Al Kahfi dibaca pada malam Jum’at” (Shahih Al Adzkar 1/449)
Semua keterangan di atas menunjukkan disunnahkan untuk membaca surat Al Kahfi pada malam dan hari Jum’at (Doa dan Wirid, hal.304).
Namun sunah yang diperintahkan oleh Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam berupa pembacaan surah Kahfi tersebut tenggelam dan tidak pernah atau jarang dilakukan oleh sebagian besar kaum muslimin, mereka lebih asyik dengan membaca surah yasin atau membaca bermacam wirid sekian ribu kali dengan menggunakan hitungan biji-bijian tasbeh.
Begitu pula hampir disetiap RT di kampung-kampung pada setiap bulan sekali yang biasanya pada hari jum’at kaum wanita yang tergabung dalam kelompok yasinan atau majelis ta’lim biasanya berkumpul untuk membaca surah Yasin secara berjama’ah. Meskipun membaca surah Yasin sebagai adalah satu surah dalam al-Qur’an adalah perbuatan yang baik dan terpuji, namun karena dilakukan secara rutin dan berjama’ah maka timbullah masalah berupa perbuatan yang mengada-ada, surah-surah lainnya yang begitu banyak diabaikan dan ditinggalkan. Hal yang sedemikian tidak pernah dilakukan oleh Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam, begitu juga oleh para sahabat, para ulama tabi’in dan tabi’ut tabi’in tidak pernah mengerjakannya, beliau-beliau tersebut tidak hanya menjadikan surah yasin sebagai surah yang diamalkan untuk dibaca pada waktu-waktu tertentu dan menjadikan surah yasin sebagai surah yang lebih istimewa dibandingkan surah-surah lainnya dalam al-Qur’an sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian umat Islam di negeri ini dewasa ini.
Sesungguhnya hanya mengkhususkan mengamalkan membaca surah Yasin pada waktu-waktu tertentu baik perorangan maupun berjama’ah mereka tanpa sadar telah mematikan sunnah karena meninggalkan amalan membaca surah-surah lainnya yang ada dalam al-Qur’an.
Sesungguhnya patut diketahui bahwa Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan untuk membaca ayat-ayat al-Qur’an yang tidak dibatasi hanya pada surah Yasin saja.
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’ anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
“Barangsiapa membaca satu huruf dari Kitabullah maka baginya satu kebaikan dan satu kebaikan itu senilai dengan sepuluh kebaikan. Aku tidak mengatakan ALIF LAAM MIIM itu satu huruf, akan tetapi ALIF satu huruf, LAAM satu huruf, dan MIIM satu huruf.” (HR. At-Tirmizi no. 2910 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Takhrij Ath-Thahawiah no. 158)
Dari ‘Aisyah radhiallahu anhda dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ
“Orang yang mahir membaca Al-Qur`an, maka kedudukannya di akhirat bersama para malaikat yang mulia lagi baik. Sementara orang yang membaca Al-Qur`an dengan tertatah-tatah dan dia sulit dalam membacanya, maka dia mendapatkan dua pahala.” (HR. Muslim no. 798)
Yang lebih memprihatinkan lagi dalam setiap melakukan kegiatan yasinan biasanya setelah membaca surah yasin kelompok yasinan tersebut melanjutkannya dengan melantunkan secara berjamaah sya’ir berbahasa arab yang populer dengan nama shalawat nariyah yang dikarang oleh salah seorang penyair islam, padahal di dalamnya terdapat pujian kepada Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam yang berlebihan dan syirik karena sya’irnya berisi kalimay yang mendudukan beliau sejajar dengan kedudukan Allah subhanahu wa ta’ala . Tetapi mereka-mereka yang melantunkannya samasekali tidak mengerti dan memahami apa yang mereka ucapkan.
Saat ini banyak diantara kaum muslimin sendiri yang meninggalkan ajaran Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan mengamalkan bid’ah. Kebid’ahan inilah yang menjadikan redupnya sunnah Nabi (syariat Islam) yang sebenarnya.
Contoh lain tentang bagaimana banyak dan ramainya orang-orang Muslim yang antusias menghidupkan bid’ah dalam bulan-bulan tertentu seperti dalam bulan Rabiul Awal menyelenggarakan kegiatan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam. Betapa banyaknya kaum laki-laki dan perempuan dari anak-anak sampai dewasa yang berbondong-bondong datang ke masjid-masjid, surau atau langgar dan mushalla untuk mendatangi acara peringatan maulid Nabi mendengarkan ceramah pembacaan sirah Nabi yang diselingi dengan hiburan qasidah dan nasyid kemudian makan-makan. Padahal peringatan maulid Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak di syari’atkan, Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam semasa hidup beliau tidak pernah menganjurkan dan melakukannya, begitu pula para sahabat, para tabi’in, para tabi’ut tabi’in serta para ulama salafus shalih tidak pernah melakukannya. Dimana menurut catatan sejarah bahwa peringatan maulid awalnya dilakukan oleh penguasa Fatimiyah di Mesir yang merupakan penganut syi’ah rafidah
Namun sangat disayangkan antusiasnya orang-orang datang ke masjid untuk memperingati maulid yang disebut sebagai perbuatan bid’ah, apabila datang panggilan shalat berjama’ah melalui seruan azan yang dikumandangkan begitu kerasnya dengan pengeras suara dari setiap rumah ibadah ( masjid, langgar, surau atau mushalla) mereka tidak pernah menggubrisnya. Nyaris saja rumah ibadah pada setiap shalat fardhu ketiadaan jama’ahnya, shaf-shaf kosong hanya berisi beberapa orang. Kebanyakan orang-orang muslim enggan menghidupkan sunnah shalat berjama’ah di masjid, langgar atau mushalla. Tetapi apabila ada seruan/undangan perbuatan bid’ah mereka berbondong-bondong mendatanginya, mereka lebih suka menggiatkan perbuatan bid’ah.
Berkaitan dengan larangan untuk membuat atau mengada-adakan hal-hal yang baru dalam agama ( bid’ah) maka untuk itu wajib bagi setiap kaum muslimin menjauhkan diri dan meninggalkan apa saja yang tidak ada contohnya dari Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Sesungguhnya apa-apa yang digambarkan diatas tentang perbuatan bid’ah hanyalah sedikit contoh dari begitu banyaknya perbuatan bid’ah yang dilakoni dan diamalkan oleh banyak kaum muslimin tanpa mereka sadari karena miskinnya mereka akan ilmu agama, namun sekalipun miskin akan ilmu agama mereka tidak berusaha untuk menambah ilmu agama mereka terutama yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat ibadah.
Dari Hudzaifah bin Al Yaman radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
كَانَ النّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنِ الْخَيْرِ. وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشّرِّ. مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي. فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِِ إنّا كُنّا فِي جَاهِلِيّةٍ وَشَرٍّ. فَجَاءَنَا اللهُ بِهَذَا الْخَيْرِ. فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ؟ قَالَ: “نَعَمْ” فَقُلْتُ: هَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشّرِّ مِنْ خَيْرٍ؟ قَالَ: “نَعَمْ. وَفِيهِ دَخَنٌ” قُلْتُ: وَمَا دَخَنُهُ؟ قَالَ: “قَوْمٌ يَسْتَنُّونَ بِغَيْرِ سُنَّتِي، وَيَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِي. تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ”. فَقُلْتُ: هَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ؟ قَالَ: “نَعَمْ. دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ. مَنْ أَجَابَهُمْ إلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا”. فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ صِفْهُمْ لَنَا. قَالَ: “نَعَمْ. قَوْمٌ مِنْ جِلْدَتِنَا. وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا” قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ فَمَا تَرَى إنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ؟ قَالَ: “تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإمَامَهُمْ” فَقُلْتُ: فَإنْ لَمْ تَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ؟ قَالَ: “فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا. وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ عَلَى أَصْلِ شَجَرَةٍ، حَتّىَ يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ، وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ”
Orang-orang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan sedangkan aku bertanya tentang keburukan, karena khawatir hal tersebut akan menimpaku. Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya dulu kami berada pada masa jahiliyah dan keburukan, lalu Allah mendatangkan kebaikan ini kepada kami. Apakah setelah kebaikan ini ada keburukan?’ Beliau menjawab, ‘Ya‘ Aku bertanya lagi, ‘Apakah setelah keburukan itu akan datang kebaikan lagi?’ Beliau menjawab,‘Ya, namun ada kerusakan‘ Aku bertanya lagi, ‘Apa bentuk kerusakan itu?’ Beliau menjawab, ‘Suatu kaum yang berjalan bukan di atas sunnahku dan mengikuti petunjuk selain petunjukku. Engkau mengenali mereka dan mengingkarinya’ Aku bertanya lagi, ‘Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan?’ Beliau menjawab, ‘Ya, (yaitu) para da’i yang mengajak kepada pintu neraka jahanam. Barangsiapa yang menerima ajakan mereka, niscaya mereka akan menjerumuskannya ke dalam neraka’ Aku bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepada kami sifat-sifat mereka!’ Beliau menjawab, ‘Ya. Mereka berasal dari kaum kita dan berbicara dengan bahasa kita‘. Aku bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, apa yang kau perintahkan jika aku bertemu mereka?’ Beliau menjawab, ‘Berpegangteguhlah dengan jamaah kaum muslimin dan imam mereka‘ Aku bertanya lagi, ‘Bagaimana jika kami tidak mendapati adanya jamaah kaum muslimin dan imam mereka?’ Beliau menjawab,‘Tinggalkanlah semua kelompok-kelompok itu meskipun dengan menggigit pokok pohon hingga kematian datang menjemputmu sedang engkau masih dalam keadaan seperti itu‘” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan makna kerusakan yang memperkeruh kebaikan, yaitu ‘suatu kaum yang berjalan bukan di atas sunnahku dan mengikuti petunjuk selain petunjukku‘. Artinya kaum tersebut melakukan amalan ibadah yang tidak ada contohnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (baca: bid’ah). Oleh karena itu, hendaknya kita senantiasa waspada terhadap amalan-amalan bid’ah yang banyak sekali tersebar saat ini, sebagaimana shahabat Hudzaifah bin Al Yaman radhiyallahu ‘anhu merasa khawatir akan terjerumus dalam keburukan tersebut.
APA, MENGAPA DAN BAGAIMANA BID’AH ITU ?
Agama Islam yang dinyatakan telah sempurna oleh Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana yang tertuang dalam firmannya dalam Al-Qur’an surah Al Maidah ayat 3 serta beberapa hadits, maka dengan kesempurnaannta tersebut tidaklah diperlukan lagi adanya penambahan-penambahan atau mengada-adakan hal-hal yang baru berdasarkan keinginan hawa nafsu dan pemikiran yang menganggap apa saja yang baik itu boleh saja dilakukan dalam agama meskipun tidak ada termasuk dalam syari’at.
Apabila sementara ini ada pihak-pihak atau mereka-mereka yang memandang perlu memberikan penambahan atau mengada-adakan lagi hal-hal yang baru diluar syari’at yang telah ada, maka berarti mereka tersebut menganggap Islam tersebut belum sempurna. Dan lebih fatal lagi mereka yang menambahkan atau mengada-adakan hal-hal yang baru diluar syari’at telah secara tidak sadar telah mengangkat dirinya sebagai pembuat syari’at sehingga mereka tersebut dapat dikatagorikan sebagai pihak yang mempunyai kedudukan sebagai pembuat syari’at , yang dalam hal ini hanyalah Allah subhananu wa ta’ala dan Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam.
Bid’ah secara bahasa adalah hal yang baru dalam agama setelah agama ini sempurna. Atau sesuatu yang dibuat-buat setelah wa-fatnya Nabi shalallagu’alaihi wa sallam berupa kemauan nafsu dan amal perbuatan. Bila dikatakan: “Aku membuat bid’ah, artinya melakukan satu ucapan atau perbuatan tanpa adanya contoh sebelumnya..” Asal kata bid’ah berarti menciptakan tanpa contoh sebelumnya.
Dikemukan oleh Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam kitab beliau Al-Masaail bahwa berdasarkan ayat dan hadits tentang kesempurnaan Islam, memberikan penjelasan kepada kita, bahwa agama kita ini ( al-Islam ) telah sempurna yang tidak memerlukan tambahan-tambahan dan pengurangan sedikitpun juga hatta ( meskipun) sekecil apapun juga. Meski apapun juga bentuk dan alasan nya dari tambahan-tambahan tersebut meskipun dianggap baik atau dianggap besaroleh sebagian manusia atyau dari siapa saja datangnya, adalah suatu perkara besar yang sangat dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi sebaliknya sangat dicintai oleh iblis dan bala tentaranya. Dan pelakunya secara sengaja atau tidak sengaja, langsung atau tidak langsung, telah membantah firman Allah tersebut diatas. Atau telah menuduh Rasulullah shalallahu’alahi wsa sallam telah berhianat dan menyembunyikan di dalam menyampaikan risalah. Inilah yang pernah diperingatkan oleh Imam Malik bin Anas rahimahullah ta’ala di dalam salah satu perkataannya yang sangat terkenal sekali yaitu :
“ Barang siapa yang membuat bid’ah di dalam islam, yang dia menganggapnya sebagai bid’ah hasanah (bid’ah yang baik ), maka sesungguhnya dia telah menuduh bahwa Muhammad shallahu’alahi wa sallam telah berhianat di dalam ( menyampaikan ) risalah. Karena sesungguhnya Allah telah berfirman : “Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kamu agama kamu”. Maka, apa-apa yang tidak menjadi (bagian dari ) agama pada hari itu, niscaya tidak akan menjadi (bagian dari) agama pada hari ini ( lihat al I’tisham juz 1 hal.49 )
Alangkah bagus dan indahnya perkataan Imam Malik diatas dan ini merupakan kaidah besar yang samngat agung sekali di dalam agama Allah, bahwa “ apa-apa yang tidak menjadi agama pada hari itu-yakni ketika turunnya ayat diatas, maka tidak akan menjadi agama pada hari ini, Yakni, apa-apa yang bukan ajaran islam pada hari itu, niscaya tidak akan menjadi ajaran islam pada hari ini.
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan ) dalam penjelasan beliau tentang pengertian bid’ah, macam-macam bid’ah dan hukum-hukumnya mengemukakan bahwa “:
Perbuatan bid'ah di dalam Ad-Dien (Islam) hukumnya haram, karena yang ada dalam dien itu adalah tauqifi (tidak bisa dirubah-rubah) ; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
صحيح البخاري ٢٤٩٩: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
رَوَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَخْرَمِيُّ وَعَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ أَبِي عَوْنٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ
Shahih Bukhari 2499: Telah menceritakan kepada kami Ya'qub telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa'ad dari bapaknya dari Al Qasim bin Muhammad dari 'Aisyah radliallahu 'anha berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya maka perkara itu tertolak".
Segala bentuk bid'ah dalam Ad-Dien hukumnya adalah haram dan sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
" Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yang baru, karena sesungguhnya mengadakan hal yang baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat". [Hadits Riwayat Abu Daud, dan At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih].
Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
صحيح البخاري ٢٤٩٩: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
رَوَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَخْرَمِيُّ وَعَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ أَبِي عَوْنٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ
Shahih Bukhari 2499: dari 'Aisyah radliallahu 'anha berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya maka perkara itu tertolak".
Dan dalam riwayat lain disebutkan :
صحيح مسلم ٣٢٤٢: حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَوْنٍ الْهِلَالِيُّ جَمِيعًا عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ قَالَ ابْنُ الصَّبَّاحِ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Shahih Muslim 3242: dari 'Aisyah dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa mengada-ngada sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami, padahal kami tidak perintahkan, maka hal itu tertolak."
Maka hadits tersebut menunjukkan bahwa segala yang diada-adakan dalam Ad-Dien (Islam) adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat dan tertolak. Artinya bahwa bid'ah di dalam ibadah dan aqidah itu hukumnya haram.
Imam al-Barbahary Rahimahullah berkata: “Jauhilah setiap perkara bid’ah sekecil apapun, karena bid’ah yang kecil lambat laun akan menjadi besar. Demikian pula kebid’ahan yang terjadi pada ummat ini berasal dari perkara kecil dan remeh yang mirip kebenaran sehingga banyak orang terpedaya dan terkecoh, lalu mengikat hati mereka sehingga susah untuk keluar dari jeratannya dan akhirnya mendarah daging lalu diyakini sebagai agama. Tanpa disadari, pelan-pelan mereka menyelisihi jalan lurus dan keluar dari Islam.”
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata: “Tidak boleh mengikuti pendapat seseorang ketika dihadapkan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Kaum muslimin telah bersepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tidak boleh ia meninggalkannya karena adanya ucapan seseorang (selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).”
LATAR BELAKANG MUNCULNYA BID’AH
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan menyebutkan bahwa:
Tidak diragukan lagi bahwa berpegang teguh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah adalah kunci keselamatan dari terjerumusnya kepada bid’ah dan kesesatan ; Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنَّ هَـذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) [521], karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.(qs.Al-An’am :153 )
K e t e r a n g a n :
[521] Maksudnya: janganlah kamu mengikuti agama-agama dan kepercayaan yang lain dari Islam
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan hal itu dalam suatu hadits yang diriwayatkan sahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat satu garis untuk kita, lalu bersabda : “Ini adalah jalan Allah”, kemudian beliau membuat garis-garis di sebelah kanannya dan disebelah kirinya, lalu bersabda : “Dan ini adalah beberapa jalan di atas setiap jalan tersebut ada syetan yang senantiasa mengajak (manusia) kepada jalan tersebut”.
Maka barangsiapa yang berpaling dari Al-Kitab dan As-Sunnah ; pasti akan selalu terbentur oleh jalan-jalan yang sesat dan bid’ah.
Jadi latar belakang yang menyebabkan kepada munculnya bid’ah-bid’ah, secara ringkas adalah sebagai berikut : bodoh terhadap hukum-hukum Ad-Dien, mengikuti hawa nafsu, ashabiyah terhadap berbagai pendapat dan orang-orang tertentu, menyerupai dan taqlid terhadap orang-orang kafir. Perinciannya sebagai berikut:
[1]. Bodoh Terhadap Hukum-Hukum Ad-Dien
Semakin panjang zaman dan manusia berjalan menjauhi atsar-atsar risalah Islam : semakin sedikitlah ilmu dan tersebarlah kebodohan, sebagaimana hal itu dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya :
“Artinya : Barangsiapa dari kamu sekalian yang masih hidup setelahku, pasti akan melihat banyak perselisihan”. [Hadits Riwayat Abdu Daud, At-Tirmidzi, beliau berkata hadits ini hasan shahih].
Dan dalam sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga :
“Artinya : Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak mengambil (mencabut) ilmu dengan mencabutnya dari semua hamba-Nya akan tetapi mengambilnya dengan mewafatkan para ulama, sehingga jika tidak ada (tersisa) seorang ulamapun, maka manusia mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, mereka ditanya (permasalahan) lalu berfatwa tanpa dibarengi ilmu, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan”.
Tidak akan ada yang bisa meluruskan bid’ah kecuali ilmu dan para ulama ; maka apabila ilmu dan para ulama telah hilang terbukalah pintu untuk muncul dan tersebarnya bagi para penganut dan yang melestarikannya.
[2]. Mengikuti Hawa Nafsu
Barangsiapa yang berpaling dari Al-Kitab dan As-Sunnah pasti dia mengikuti hawa nafsunya, sebagaimana firman Allah :
“Artinya : Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun”. [Al-Qashshash : 50].
Dan Allah Ta’ala berfirman.
“Artinya : Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesuadh Allah (membiarkannya sesat)”. [Al-Jatsiyah : 23].
Dan bid’ah itu hanyalah merupakan bentuk nyata hawa nafsu yang diikuti.
[3]. Ashabiyah Terhadap Pendapat Orang-Orang Tertentu.
Ashabiyah terhadap pendapat orang-orang tertentu dapat memisahkan antara dari mengikuti dalil dan mengatakan yang haq.
Allah Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan apabila dikatakan kepada mereka : ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah’. Mereka menajwab : ‘(Tidak) tetapi kami hanya mengikuti ap yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami’. ‘(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk”. [Al-Baqarah : 170].
Inilah keadaan orang-orang ashabiyah pada saat ini dari sebagian pengikut-pengikut madzhab, aliran tasawuf serta penyembah-penyembah kubur. Apabila mereka diajak untuk mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah serta membuang jauh apa-apa yang menyelisihi keduanya (Al-Kitab dan As-Sunnah) mereka berhujjah (berdalih) dengan madzhab-madzhab, syaikh-syaikh, bapak-bapak dan nenek moyang mereka.
[4]. Menyerupai Orang-Orang Kafir
Hal ini merupakan penyebab paling kuat yang dapat menjerumuskan kepada bid’ah, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abi Waqid Al-Laitsy berkata.
“Kami pernah keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Hunain dan kami baru saja masuk Islam (pada waktu itu orang-orang musyrik mempunyai sebuah pohon bidara) sebagai tempat peristirahatan dan tempat menyimpan senjata-senjata mereka yang disebut dzatu anwath. Kami melewati tempat tersebut, lalu kami berkata :” Ya Rasulullah buatkanlah untuk kami dzatu anwath sebagaimana mereka memiliki dzatu anwath, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Allahu Akbar ! Sungguh ini adalah kebiasaan buruk mereka, dan demi yang jiwaku di tangannya, ucapan kalian itu sebagaimana ucapan Bani Israil kepada Musa ‘Alaihi Sallam :
وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَآئِيلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْاْ عَلَى قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى أَصْنَامٍ لَّهُمْ قَالُواْ يَا مُوسَى اجْعَل لَّنَا إِلَـهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ
Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu [562], maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani lsrail berkata: "Hai Musa. buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)". Musa menjawab: "Sesungguh-nya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan)".(Q.Al-A’raf: 138)
Lalu Musa bersabda : “Sungguh kamu sekalian mengikuti kebiasaan-kebiasaan sebelum kamu”.
Di dalam hadits ini disebutkan bahwa menyerupai orang-orang kafir itulah yang menyebabkan Bani Israil dan sebagian para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuntut sesuatu yang buruk, yakni agar mereka dibuatkan tuhan-tuhan yang akan mereka sembah dan dimintai berkatnya selain Allah Ta’ala. Hal ini jugalah yang menjadi realita saat ini. Sungguh kebanyakan kaum muslimin telah mengikuti orang-orang kafir dalam amalan-amalan bid’ah dan syirik, seperti merayakan hari-hari kelahiran, mengkhususkan beberapa hari atau beberapa minggu (pekan) untuk amalan-amalan tertentu, upacara keagamaan dan peringatan-peringatan, melukis gambar-gambar dan patung-patung sebagai pengingat, mengadakan perkumpulan hari suka dan duka, bid’ah terhadap jenasah, membuat bangunan di atas kuburan dan lain (Al-Wala & Al-Bara Tentang Siapa Yang Harus Dicintai dan Harus Dimusuhi oleh Orang Islam, oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan)
APA, MENGAPA DAN BAGAIMANA SUNNAH ITU ?
Yang dimaksudkan dengan as-sunnah di sini bukanlah sinonim dari kata mustahab atau sesuatu yang dianjurkan. Namun Sunnah di sini berarti metode hidup dan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga kata Sunnah mencakup hal-hal yang hukumnya wajib dan mustahab, sebagaimana juga mencakup permasalahan akidah, ibadah, mu’amalah maupun akhlak.
Para ulama salaf berkata: “Sunnah berarti mengamalkan al-Qur`an, hadits, serta mengikuti salafush sholih dan jejak mereka.”
Ibnu Rojab rahimahullah berkata: “Sunnah adalah jalan yang dititi, yang mencakup keyakinan, perbuatan dan perkataan, yang menjadi pegangan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Khulafaur Rasyidin. Itulah sunnah yang sempurna. Tidaklah generasi salaf dahulu memaksudkan kata Sunnah melainkan mencakup tiga hal di atas.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal. 28)
Sumber hukum Islam terdapat pada dua hal, al-Qur`an dan as-Sunnah. Sunnah inilah yang merupakan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan keduanya wajib dijadikan pegangan dalam mengarungi bahtera kehidupan di dunia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنِّيْقَدْتَرَكْتُفِيْكُمْمَاإِنِاعْتَصَمْتُمْبِهِفَلَنْتَضِلُّوْاأَبَدًاكِتَابَاللهِوَسُنَّةَنَبِيِّهِ.
Sesungguhnya aku telah meninggalkan kepada kalian sesuatu yang bila kalian berpegang teguh dengannya niscaya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya; yaitu kitabullah dan sunnah nabi-Nya. (Ha
dits shohih. Shohih at-Targhib wa at-Tarhib, no. 40)
Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dijadikan sebagai pegangan hidup para sahabat dahulu. Mereka selalu berjalan di atas Sunnah, taat dan patuh dengan perintah yang ada di dalamnya. Mereka begitu mengagungkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, menjaga dan membelanya hingga rela mempertaruhkan jiwa dan raga. Bila melihat seseorang yang menyelishi Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik sengaja atau tidak, mereka langsung bersikap tegas kepadanya. Dengan demikian mereka menjaga kemurnian Sunnah dari tangan kotor dan makar orang-orang jahat.
Demikianlah seterusnya perjalanan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in, serta generasi-generasi setelahnya begitu perhatian dengannya dan sangat mencintainya dengan kecintaan yang sebenarnya.
Nabi yang mulia shalallahu’alaihi wa sallam telah bersabda ,
“ Tidak tinggal sesuatupun yang mendekatkan kamu kesurga dan menjauhkan kamu dari api neraka, melainkan sesungguhnya telah dijelaskan kepada kamu “. Oleh karena itu barang siapa mencari jalan jannah (surga) dan menjauhkan dirinya dari nar (neraka ) tanpa mengikuti al Kitab dan as-Sunnah, maka sesungguhnya dia telah menempuh jalan-jalan yang tidak pernah dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Hadits lain yang membicarakan tentang telah sempurnanya Islam ini adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Baihaqi dalam kitab sunan-nya :
Dari Muththalib bin Hanthab : “Sesungguhnya Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam telah bersabda , “ Tidak aku tinggalkan sesuatu /sedikitpun juga apa-apa yang Allah telah perintahkan kepada kamu, melainkan sesungguhnya aku perintahkan kepada kamu. Dan tidak aku tinggalkan kepada kamu sesuatu/ sedikitpun juga apa-apa yang Allah telah larang/cegah kamu (mengerjakannSya), melainkan sesungguhnya telah aku larang kamu dari mengerjakannya
Berkata Imam Ibnu Katsir rahimahullah (wafat th. 774 H): Bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah namun tidak mau menempuh jalan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka orang itu dusta dalam pengakuannya tersebut hingga ia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam semua ucapan dan perbuatannya.”
Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.
Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan menjelaskan dalam kitabnya: “Termasuk mengagungkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah mengagungkan Sunnahnya dan berkeyakinan tentang wajibnya mengamalkan Sunnah tersebut, dan meyakini bahwa Sunnah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menduduki kedudukan kedua setelah Al-Qur-anul Karim dalam hal kewajiban mengagungkan dan mengamalkannya, sebab As-Sunnah merupakan wahyu dari Allah.
MENGHIDUPKAN SUNNAH DENGAN ITTIBA’ (MENGIKUTI ) RASULLULLAH SHALLALLAHU’ALAIHI WA SALLAM
Abu Bakar ash Shiddiq radhyallahu,anhu , seorang sahabat yang dijamin oleh Allah masuk surga, mengatakan :
لَسْتُ تَارِكاً شَيْئاً كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يَعْمَلُ بِهِ إِلاَّ عَمِلْتُ بِهِ ، فَإِنِّيْ أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئاً مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيْغَ
Aku tidak akan meninggalkan sesuatu yang Rasulullah lakukan kecuali untuk aku amalkan, karena aku khawatir, jika aku tinggalkan perintah Rasulullah, maka aku akan sesat. [HR Bukhari, no. 3093, dan diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam kitabnya, al Ibanah, I/245-246 no. 77]
Imam Abu Abdillah bin Ubaidillah bin Muhammad bin Baththah yang wafat pada tahun 387H dalam kitabnya al Ibanah pada juz pertama, berkata: “Wahai saudara-saudaraku, Abu Bakar ash Shiddiq, ash shiddiqul akbar, beliau takut apabila kesesatan menimpa dirinya. Kalau dia menyalahi sesuatu dari salah satu saja dari perintah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, bagaimana nanti akan ada satu zaman, yang orang yang ada di zaman tersebut, mereka memperolok-olok Nabi mereka, mereka memperolok-olok perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan mereka berbangga menyalahi Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan kita mohon kepada Allah dari ketergelinciran, dan kita mohon keselamatan dari amal yang jelek”. [al Ibaanah, I/246.)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh (wafat th. 728 H) berkata:
”Kebahagiaan itu disebabkan karena mengikuti petunjuk Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Sedangkan kesesatan dan celaka disebabkan menyalahi petunjuk Beliau shallallâhu 'alaihi wasallam. Sesungguhnya, setiap kebaikan di alam semesta ini, baik yang sifatnya umum atau khusus, sumbernya dari diutusnya Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Begitu juga semua kejelekan di alam semesta yang menimpa manusia, disebabkan penyimpangannya terhadap petunjuk Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dan tidak mengetahui apa yang dibawa beliau shallallâhu 'alaihi wasallam.
Bahwasanya kebahagiaan manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat disebabkan ittiba’ (mengikuti petunjuk Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam). Risalah kenabian dibutuhkan oleh seluruh makhluk. Kebutuhan mereka kepada diutusnya Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam di atas seluruh kebutuhan. Diutusnya Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam merupakan ruh bagi alam semesta, cahaya dan kehidupan.” [4]
Beliau rahimahullâh juga berkata:
”Ar Risalah (diutusnya Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam) merupakan kebutuhan yang sangat penting untuk memperbaiki kehidupan seorang hamba dalam hidupnya ini di dunia dan juga kelak di akhirat. Sebagaimana seorang hamba, dia tidak akan baik untuk kehidupan akhiratnya melainkan dengan mengikuti risalah, yaitu risalah Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam. Sebagaimana juga seorang hamba, dia tidak akan baik dalam kehidupan dunianya, melainkan dengan ittiba’ risalah. Sesungguhnya manusia sangat membutuhkan agama ini, karena dia hidup di antara dua gerak; (yaitu) gerak yang mendatangkan manfaat baginya dan gerak yang dapat menolak bahaya baginya.
Ayat-ayat al Qur`an yang menjelaskan tentang wajibnya ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangatlah banyak. Menurut Imam Ahmad, ada 33 ayat. Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa (XIX/83), bahwa Allah telah mewajibkan taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada sekitar 40 ayat dalam a Qur`an.
Ayat-ayat mulia dalam al Qur`an al Azhim yang berkenaan dengan ittiba`, di antaranya :
1. Allah Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Katakanlah : “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. [ali Imran : 31].
Imam Ibnu Katsir rahimahullah (wafat th. 774 H) berkata,”Ayat ini sebagai pemutus hukum bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah namun tidak mau menempuh jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka orang tersebut dusta dalam pengakuannya, sampai dia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan dan perbuatannya.
Karena itu Allah berfirman “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosamu”. Kalian akan mendapatkan apa yang kalian minta, dari kecintaan kalian kepadaNya, yaitu kecintaan Allah kepada kalian, dan ini lebih besar daripada yang pertama, sebagaimana yang diucapkan oleh para ulama. Yang penting adalah, bukan bagaimana kalian mencintai, akan tetapi bagaimana kalian dicintai oleh Allah.
Yang pertama kita mencintai Allah dan yang kedua Allah mencintai kita. Menurut al Hafizh Ibnu Katsir, bahwa Allah mencintai kita itulah yang paling besar, bagaimana supaya kita bisa dicintai oleh Allah. Setiap kita bisa mencintai, namun tidak setiap kita bisa dicintai. Syarat untuk dapat dicintai oleh Allah adalah dengan ittiba` kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Imam Hasan Basri dan ulama salaf lainnya mengatakan, sebagian manusia mengatakan mencintai Allah, maka Allah menguji mereka dengan ayat ini. Orang-orang munafik mengucapkan cinta kepada Allah dan RasulNya, namun hatinya tidak demikian, karena mereka tidak mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [Tafsir Ibnu Katsir, I/384, Cet. Daarus Salaam, Th. 1413 H].
Ayat ini mengandung fadhilah (keutamaan) jika kita mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu Allah akan mencintai kita, dan Allah akan mengampuni dosa-dosa kita.
2. Allah Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ ۖ فَإِن تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
Katakanlah : “Taatilah Allah dan RasulNya. Jika kalian berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang kafir’’. [Ali Imran : 32].
Ayat ini mengandung makna, jika seseorang menyalahi perintah RasulNya atau tidak berittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia telah kufur; dan Allah tidak menyukai orang yang memiliki sifat demikian, meskipun dia mengaku dan mendakwahkan kecintaannya kepada Allah, sampai ia mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seluruh jin dan manusia wajib untuk ittiba` kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga seandainya Nabi Musa ditakdirkan hidup pada zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia pun wajib ittiba’ kepada Nabi Muhammad. Demikian juga dengan Nabi Isa ketika turun ke bumi pada akhir zaman nanti, maka Nabi Isa wajib ittiba` kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikian ini menunjukkan, bahwa seluruh manusia wajib ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir,”Dan Rasulullah n diutus untuk seluruh makhlukNya, baik golongan jin dan manusia. Kalau seandainya seluruh nabi dan rasul, bahkan seluruh Ulul ’Azmi dari para rasul, mereka hidup pada zaman Rasulullah n, maka mereka wajib ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengikuti syariat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [Tafsir Ibnu Katsir, I/384].
Sebagaimana yang terjadi pada zaman Umar bin Khaththab, ketika itu beliau Radhiyallahu ‘anhu memegang dan membaca lembaran Taurat, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَمُتَهَوِّكُوْنَ فِيْهَا يَا ابْنَ الْخَطَّابِ ؟ وَ الَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ ، لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةًً ، لاَ تَسْأَلُوْهُمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُوْكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوْا بِهِ ، أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوْا بِهِ ، وَ الَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ ، لَوْ أَنَّ مُوْسَى كَانَ حَيّاً مَا وَسِعَهُ إِلاَّأَنْ يَتَّبِعَنِيْ
“Apakah engkau merasa ragu, wahai Umar bin Khaththab? Demi yang diri Muhammad ada di tangan Allah, sungguh aku telah membawa kepada kalian agama ini dalam keadaan putih bersih. Janganlah kalian tanya kepada mereka tentang sesuatu, sebab nanti mereka kabarkan yang benar, namun kalian mendustakan. Atau mereka kabarkan yang bathil, kalian membenarkannya. Demi yang diri Muhammad berada di tanganNya, seandainya Nabi Musa itu hidup, maka tidak boleh bagi dia, melainkan harus mengikuti aku”. [HR Ahmad, III/387; ad Darimi, I/115; dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitabus Sunnah, no. 50, dari sahabat Jabir bin Abdillah. Dan lafazh ini milik Ahmad.
Hadits ini memuat kandungan :
Wajib bagi para nabi untuk ittiba’ kepada Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seandainya mereka hidup pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Jika para nabi saja wajib berittiba’ kepada Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam,, maka terlebih lagi bagi kaum muslimin, mereka harus berittiba` kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,.
Umar yang tidak diragukan keimanannya dan dijamin pasti masuk surga, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetap menegur ketika beliau Radhiyallahu ‘anhu memegang kitab Taurat.
3 Allah Azza wa Jalla berfirman:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Maka hendaklah (berhati-hati) orang-orang yang menyalahi perintah Rasulullah, takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. [an Nuur : 63].
Al Hafizh Ibnu Katsir menerangkan: “Menyalahi perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu menyalahi jalan hidup beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, manhaj (cara beragama), sunnah, syariatnya. Maka seluruh perkataan dan seluruh amal, harus ditimbang dengan perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang sesuai dengan perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka akan diterima oleh Allah. Dan apa yang tidak sesuai dengan perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka akan ditolak oleh Allah, siapapun yang melakukan perkataan dan perbuatan itu, serta apapun perkataan dan perbuatan itu. Meskipun dia ulama, atau seorang yang alim, jika perkataan dan perbuatannya menyelisihi perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia wajib ditolak dengan dasar hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.
Hendaknya berhati-hati orang yang menyelisihi syariat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara lahir dan batin. Mereka akan ditimpa fitnah di dalam hatinya, berupa kekufuran, kemunafikkan dan bid’ah, atau ditimpa dengan fitnah di dunia dengan dibunuh, diberi hukuman haad, dipenjara atau yang lainnya.
Yang dimaksud “menyalahi perintah” adalah, menyelisihi sunnah, jalan, manhaj, syariat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semua perkataan dan perbuatan kita, harus ditimbang dengan perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Orang yang tidak berittiba’ kepada Rasulullah n, mengingkarinya dan menolaknya, akan terjatuh pada kekufuran, baik kufur yang besar (akbar) ataupun kufur yang kecil (ashghar), atau kemunafikan, atau bid’ah; dan ini merupakan pengaruh dari perbuatan dosa dan maksiat; maksiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki pengaruh yang besar terhadap hati manusia, berupa kekufuran, kemunafikan, bid’ah; atau fitnah yang besar di dunia, yaitu berupa ancaman dibunuh, diberi hukuman had ataupun di penjara oleh Ulil Amri. [Tafsir Ibnu Katsir, III/338].
4. Allah Azza wa Jalla berfirman:
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah. [QS.al Ahzaab : 21].
Al Hafizh Ibnu Katsir mengatakan,”Ayat yang mulia ini sebagai prinsip yang besar untuk mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik perkataan, perbuatan dan segala keadaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik berupa aqidah, syariah atau ibadah, akhlaq, dakwah, politik atau yang lainnya. Kita wajib berittiba’, tidak hanya dalam hal ibadah atau akhlaq beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, akan tetapi harus menyeluruh.” [Tafsir Ibnu Katsir, III/522].
5. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُّبِينًا
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya, maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata. [QS.al Ahzaab: 36].
Ayat ini berlaku umum untuk seluruh kaum Mukminin terhadap setiap urusan mereka. Jika Allah dan RasulNya telah memutuskan suatu ketetapan, maka wajib baginya untuk mendengar dan taat.
Ayat-ayat tersebut menjelaskan tentang wajibnya bagi setiap kita untuk ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak hanya dalam masalah ibadah, namun juga wajib berittiba’ dalam masalah-masalah yang lain. Dengan ittiba’ ini, kita akan mendapatkan kemuliaan, kebahagiaan dan kemenangan.
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Berbagai perilaku kebanyakan kaum muslimin telah menjerat mereka dalam begitu banyak perbuatan bid’ah dalam kehidupan sehari-harinya tanpa disadari. Orang-orang lebih menyukai menghidupkan dan menggiatkan perbuatan bid’ah dibandingkan mengerjakan perbuatan sunnah yang diperintahkan syari’at. AS-sunnah sengaja diterlantarkan, tetapi sebaliknya bid’ah dikembang suburkan sedemikian rupa.
Sesungguhnya wajib bagi setiap yang mengakui dirinya sebagai pemeluk islam untuk berpegang teguh kepada pedoman sebagai rujukan cara beribadah yang benar yaitu kepadA As- sunnah. Karena merujuk kepada As-sunnah merupakan bentuk keta’atan kepada Rasulullah shalallahu’alahi wa sallam. Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah bersabda:
صحيح البخاري ٦٧٣٧: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سِنَانٍ حَدَّثَنَا فُلَيْحٌ حَدَّثَنَا هِلَالُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
“Setiap umatku akan masuk Surga, kecuali orang yang engan,” Para sahabat bertanya, ‘Ya Rasulallah, siapakah orang yang enggan itu?’ Rasulullah menjawab, “Barangsiapa mentaatiku akan masuk Surga dan barangsiapa yang mendurhakaiku dialah yang enggan”. (HR.Bukhari dalam kitab al-I’tisham) (Hadits no. 6851).
Tinggalkanlah segera semua perkara-perkara bid’ah, hidupkanlah dan kembang suburkanlah sunnah Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam, karena as-Sunnah sesungguhnya yang akan menyelamatkan manusia dari jeratan siksa neraka. Menggiatkan dan menghidupkan bid’ah berarti mereka telah menyiapkan tempat diakhirat. ( Wallahu ta’ala ‘alam )
Sumber :
1.Al-Qur’an dan Terjemah, www. salafi-db.com
2.Ensiklopedi Kitab Hadits 9 imam, www. lidwapusaka.com
3. Pengertian, Macam-macam dan Hukum Bid’ah, Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan dalam artikel :
http://www.salafi-db.com
7. Al Masaa’il ( Masalah-masalah Agama) Abd.Hakim bin Amir Abdat.
8. Risalah Bid’ah, Abd. Hakim bin Amir Abdat.
9.Buletin al-Iman
11. Artikel al-Atsariyyah.com
12.Artikel Muslimah.or.,id
Selesai disusun ba’da ashar, Sabtu 25 Jumadil Awal 1434 H/6 April
( Penyusun : Musni Japrie )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar