Jumat, 14 Desember 2012

KEPERCAYAAN KHURAFAT MENGANGGAP BULAN SAFAR BULAN YANG NAHAS



Tidak  sedikit umat Islam di negeri ini yang dalam melakukan berbagai pekerjaan dan kegiatan selalu tersebut terlebih dahulu memilih-milih dan mempertimbangkan hari dan bulan  yang dianggap baik. Karena mereka beranggapan apa bila salah memilih hari maka akan berdampak buruk. Seperti apabila hendak bepergian jauh banyak orang yang tidak melakukannya pada bulan Safar , karena bulan  tersebut dianggap bulan  nahas atau bulan  yang dapat mendatangkan kesialan.
Timbul pertanyaan bagaimana menurut Islam tentang adanya anggapan atau keyakinan terhadap adanya bulan Safar sebagai bulan  nahas dan sial tersebut?. Apakah Islam membenarkan atau membolehkan adanya anggapan seperti tersebut, dan apakah tidak bertentangan dengan aqidah ?.
Dalam bahasan singkat berikut ini diketengahkan jawaban terhadap pertanyaan tersebut diatas menurut Islam.
Sekilas Tentang Anggapan Hari Baik DanBuruk (Hari Sial)
Dalam sebuah artikel  millis yahoogroup dijumpai  informasi tentang adanya hari baik-buruk menurut kalender hijriyah yang katanya bersumber dari kitab Makarimul Akhlaq, halaman 474, dimana disebutkan dalam artikel tersebut bahwa untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, dan juga untuk memperoleh kebaikan dan keberkahan, maka sebaiknya kita memilih hari yang baik dan tepat untuk melakukan aktivitas. Misalnya akad pernikahan, memulai usaha,memulai membangun rumah, melakukan kontrak kerja, pindah rumah, bepergian dan lainnya. Karena hari-hari itu tidak sama nilainya, ada yang baik untuk aktivitas tertentu dan tidak baik untuk aktivitas yang lain, dan ada jugahari yang nahas (sial) sepanjang hari.
Allah swt berfirman: "Kami menghembuskan badai dalam beberapa hari yang nahas, karena Kami hendak merasakan kepada mereka itu siksaan yang menghinakan dalam kehidupan dunia. Dan sesungguhnya siksaan di akhirat lebih menghinakan sedangkan mereka tidak diberi pertolongan." (Fushshilat/41: 16)
"Sesungguhnya Kami menghembuskan kepada mereka angin yang sangat kencang pada hari nahas yang terus menerus." (Al-Qamar/54: 19).
Tentang hari-hari pilihan, Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: "Hindarilah melakukan safar (bepergian) pada hari ketiga, keempat, ke 21 dan ke 25 setiap bulan, karena hari-hari itu adalah hari nahas." (Makarimul Akhlaq: 424)
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Jika terpaksa melakukan aktivitas pada hari nahas atau hari yang tidak baik, maka hendaknya bersedekah sebelum melakukan aktivitas dan membaca doa penolak bala
Mitos di Tengah Masyarakat Tentang Bulan Safar
Menurut bahasa Safar berarti kosong, ada pula yang mengartikannya kuning. Sebab dinamakan Safar, karena kebiasaan orang-orang Arab zaman dulu meninggalkan tempat kediaman atau rumah mereka (sehingga kosong) untuk berperang ataupun bepergian jauh. Ada pula yang menyatakan bahwa nama Safar diambil dari nama suatu jenis penyakit sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang Arab jahiliyah pada masa dulu, yakni penyakit safar yang bersarang di dalam perut, akibat dari adanya sejenis ulat besar yang sangat berbahaya. Itulah sebabnya mereka menganggap bulan Safar sebagai bulan yang penuh dengan kejelekan. Pendapat lain menyatakan bahwa Safar adalah sejenis angin berhawa panas yang menyerang bagian perut dan mengakibatkan orang yang terkena menjadi sakit.
Bagaimana perspektif banyak orang terhadap bulan Safar? Ada banyak hal menarik anggapan dan kepercayaan orang banyak terhadap bulan Safar, di antara yang terpenting dari pemahaman bulan Safar tersebut berkaitan dengan hari Rabu, terutama Rabu terakhir, yang biasa disebut dengan Arba Mustamir dan dalam bahasa Jawa disebut Rabu Wekasan. Dalam anggapan masyarakat kesialan bulan Safar akan semakin meningkat jika bertemunya  dengan Rabu terakhir di bulan yang sama. Sebab, berdasarkan riwayat yang tidak dapar dipertanggung jawabkan  disebutkan bahwa Allah telah menurunkan 3333 jenis penyakit pada hari Rabu bulan Safar, sehingga jika keduanya bertemu maka tingkat dan efek negative (kesialan) yang menyebar pada waktu itu semakin tinggi pula. Itulah sebabnya maka sebagian kalangan masyarakat yang mempercayainya semakin  meningkatkan  kewaspadaan mereka terhadap hari Rabu bulan Safar . Sehingga dalam rangka menghindarkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan ( kesialan) ,  banyak orang untuk melakukan hal-hal tertentu seperti antara lain :
1. Shalat sunnat mutlak disertai dengan pembacaan doa tolak bala
2. Mengadakan  selamatan tolak bala  kampung, biasanya disertai dengan menulis rajah  di atas piring kemudian dibilas dengan air, seterusnya dicampurkan dengan air di dalam drum supaya bisa dibagi-bagikan kepada orang banyak untuk diminum
3. Melakukan  mandi Safar untuk membuang sial, penyakit, dan hal-hal yang tidak baik. Kebiasaan mandi Safar ini dilakukan oleh mereka yang berdiam di daerah pinggiran sungai.
4. Tidak akan melakukan perjalanan atau bepergian jauh
Di sebagian kalangan suku Jawa, dalam rangka  menyambut hari rabu ( Arba Wekasan ) biasanya mereka melakukan tradisi dengan membuat kue apem dari beras, kue tersebut kemudian dibagi-bagikan dengan tetangga. Ini dimaksudkan sebagai sedekah dan tentu saja untuk menolak bala.Hal ini menurut mereka karena ada hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam  yang menyatakan bahwa sedekah dapat menolak bala.
Selain itu dilangan masyarakat Banjar ada anggapan bahwa bayi yang dilahirkan pada hari Rabu bulan Safar, disyaratkan untuk  ditimbang dengan bermacam-macam kue-kue tradisional untuk disedekahkan yang sebelumnya dibacakan doa selamat. Apabila bayi yang lahir pada hari rabu bulan Safar tersebut tidak dilakukan upacara penimbangan, maka dikuatirkan kelak setelah besar bayin tersebut akan menjadi anak yang nakal dan sulit diatur.
B ermula dari sinilah kemudian muncul berbagai anggapan berkenaan dengan bulan Safar, yang intinya sama. Bulan Safar sebagai bulan nahas, bulan sial, bulan panas, bulan diturunkannya bala dan penyakit, dan bulan yang harus diwaspadai keberadaannya. Karena pada bulan ini, segala penyakit, racun, dan hal-hal yang berbau magis memiliki kekuatan yang lebih besar dan lebih kuat dibanding pada bulan lainnya. Terlebih-lebih lagi tatkala memasuki hari Rabu terakhir di bulan Safar, yang dinamakan dengan Arba Mustamir atau dalam bahasa Jawa disebut Arba Wekasan.
Anggapan bahwa bulan Safar adalah bulan yang tidak baik, memang dipahami secara umum oleh sebagian kalangan orang Islam di negeri in i sebagaimana keyakinan  dari orang-orang Arab jahiliyah pada masa dulu. Mengapa mereka beranggapan bulan Safar sebagai bulan panas dan sial?. Konon  sebab-musabab munculnya anggapan seperti itu adalah karena :
Pada masa atau kurun waktu ketika ilmu-ilmu magis masih berkembang dan sangat ditakuti oleh masyarakat yang berada pada zaman tertsebut, konon menjadi semacam kebiasaan dalam masyarakat orang-orang tertentu yang menguasai ilmu sihir (semacam guna-guna, teluh, santet, atau parang maya) melakukan ritual khusus untuk mengirimkan ilmunya kepada orang lain dengan tujuan tertentu pada bulan Safar. Pada bulan Safar katanya ilmu yang mereka lepas tersebut lebih ampuh dibanding pada bulan yang lain, dan orang yang terkena ilmu itupun akan susah untuk disembuhkan. Jika tujuan pelepasan ilmu untuk membuat orang yang terkena sakit maka akan sakit, jika untuk membuat orang terpikat maka akan terpikat, bahkan keampuhan pikatan tersebut bisa membuat orang yang terkena tergila-gila, dan seterusnya. Selain itu konon juga para dukun  pada bulan tersebut sengaja melepaskan racun-racun yang mematikan guna mencari mangsanya agar racun  tersebut tetap mempunyai keampuhan.
Asal Usul Lahirnya  Anggapan Adanya Hari Buruk Atau Hari Nahas  (Hari Sial )
  Kepercayaan tentang hari baik atau buruk itu telah ada  sejak zaman Arab Jahiliyah. Sebagai contoh apabila seseorang itu hendak keluar rumah dan didapati ada burung terbang atau lalu di sebelah kanan, mereka mempercayai bahwa seseorang itu tidak akan mendapat bencana dan boleh melakukan atau meneruskan hajatnya untuk keluar rumah. Sebaliknya jika burung itu terbang atau melintas ke sebelah kiri, seseorang itu tidak dibolehkan  keluar rumah atau jka dia telah keluar rumah, dia harus  kembali ke rumahnya dan tidak meneruskan hajatnya. Oleh karena yang  demikian, menurut mereka burung itu terbang sebagai petanda dan petunjuk untuk mengetahui tentang baik buruknya melakukan sesuatu pekerjaan atau sesuatu hajat  seperti hendak keluar rumah.
   Di dalam Al-Qur‘an Allah Subhanahu wa Ta‘ala telah menceritakan peristiwa kaum ‘Add. Allah Subhanahu wa Ta‘ala membinasakan mereka kerana mendustakan RasulNya dengan menurunkan angin ribut yang kencang yang berlanjutan sehingga manusia gugur bergelempangan seperti batang-batang pohon kurma yang terbongkar.
   Peristiwa ini telah digambarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta‘ala dalam firmanNya :
كَذَّبَتْ عَادٌ فَكَيْفَ كَانَ عَذَابِي وَنُذُرِ
إِنَّا أَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيحًا صَرْصَرًا فِي يَوْمِ نَحْسٍ مُّسْتَمِرٍّ
 تَنزِعُ النَّاسَ كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ مُّنقَعِرٍ
فَكَيْفَ كَانَ عَذَابِي وَنُذُرِ.
Kaum 'Aad pun mendustakan(pula). Maka alangkah dahsyatnya azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku.Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang sangat kencang pada hari nahas yang terus menerus,yang menggelimpangkan manusia seakan-akan mereka pokok korma yang tumbang.Maka alangkah dahsyatnya azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku
( QS. Al-Qamar : 18-21 )
   Imam Qurtubi menceritakan bahawa menurut Ibnu Abbas, peristiwa tersebut berlaku pada hari Rabu yang terakhir bagi bulan itu. Yang dimaksudkan hari nahas di dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta‘ala membinasakan kaum ‘Add yang kafir dan orang-orang mendustakan Rasul mereka sahaja. Dengan kata lain Allah tidak membinasakan RasulNya dan orang-orang yang beriman dengan rasul mereka. Maka peristiwa tersebut tidak ada kena mengena dengan hari yang membawa bencana, sial dan nahas. (Al-Qurtubi: 17/135)
  Dari peristiwa tersebut sebahagian orang mempercayai bahawa pada hari Rabu yang terakhir bagi setiap bulan adalah hari bala diturunkan. Maka tidak ada pekerjaan atau kerja-kerja amal pada hari tersebut.
Para ulama mengatakan  tidak terdapat satupun hadis yang sahih mengenai turunnya bala pada hari Rabu atau pada hari Rabu yang terakhir bagi setiap bulan. Sebahagian ulama mengatakan bahawa hadis-hadis yang diriwayatkan berkaitan dengan perkara tersebut adalah hadis-hadis rekaan (maudhu‘) semata-mata. Salah satu hadis maudhu‘ tersebut ialah:
“Akhir hari Rabu tiap-tiap bulan itu nahas yang berkekalan”.
Ulama berpendapat bahawa beberapa orang perawi hadis ini adalah pendusta dan tidak dipakai riwayatnya. Di antara mereka itu ialah Maslamah bin Al-Shilat, Al-Abrazi, Ibrahim bin Abu Hibbah dan Isa bin Abdullah.
Berbagai Perbuatan Bid’ah di Dalam Bulan Safar
Di berbagai daerah di Indonesia banyak diantara kalangan Muslim di dalam bulan Safar ini melakukan berbagai perbuatan yang berkaitan dengan ritual keagamaan yang dapat dikatagorikan sebagai perbuatan mengada-ada ( bid’ah ), dimana perbuatan tersebut tidak pernah dikerjakan atau diperintahkan oleh Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam, begitu pula oleh para sahabat maupun oleh para tabi’in dan tabi’ut tabi’in.
Perbuatan yang termasuk bid’ad yang dilakukan oleh sebagian kalangan muslim di bulan Safar karena dianggap bulan nahas tersebut antara lain :
1. Shalat sunnat mutlak disertai dengan pembacaan doa tolak bala
2. Mengadakan  selamatan tolak bala  kampung, biasanya disertai dengan menulis rajah  di atas piring kemudian dibilas dengan air, seterusnya dicampurkan dengan air di dalam drum supaya bisa dibagi-bagikan kepada orang banyak untuk diminum
3. Melakukan  mandi Safar untuk membuang sial, penyakit, dan hal-hal yang tidak baik. Kebiasaan mandi Safar ini dilakukan oleh mereka yang berdiam di daerah pinggiran sungai.
4. Tidak akan melakukan perjalanan atau bepergian jauh
5.Di sebagian kalangan suku Jawa, dalam rangka  menyambut hari rabu ( Arba Wekasan ) biasanya mereka melakukan tradisi dengan membuat kue apem dari beras, kue tersebut kemudian dibagi-bagikan dengan tetangga. Ini dimaksudkan sebagai sedekah dan tentu saja untuk menolak bala.Hal ini menurut mereka karena ada hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam  yang menyatakan bahwa sedekah dapat menolak bala.
6.Selain itu dilangan masyarakat Banjar ada anggapan bahwa bayi yang dilahirkan pada hari Rabu bulan Safar, disyaratkan untuk  ditimbang dengan bermacam-macam kue-kue tradisional untuk disedekahkan yang sebelumnya dibacakan doa selamat. Apabila bayi yang lahir pada hari rabu bulan Safar tersebut tidak dilakukan upacara penimbangan, maka dikuatirkan kelak setelah besar bayin tersebut akan menjadi anak yang nakal dan sulit diatur.
Segala bentuk perbuatan yang dilakukan dalam rangka mengantisipasi datangnya kesialan dalam bulan Safar sebagaimana disebutkan diatas selain sebagai perbuatan bid’ah juga termasuk perbuatan yang khurafat,
Larangan Menganggap Adanya Hari atau Bulan Sial
Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh rahimahullahu dalam memberikan jawaban atas pertanyaan apakah dibolehkan bagi seseorang untuk menganggap sial angka tertentu, demikian pula hari, bulan dan seterusnya menyebutkan
“Tidak boleh, bahkan hal itu termasuk kebiasaan orang-orang jahiliyyah yang syirik, di mana Islam datang untuk menolak dan membatilkannya. Dalil-dalil yang ada demikian jelas menyatakan keharaman kebiasaan tersebut. Perbuatan atau anggapan sial seperti itu termasuk kesyirikan dan sebenarnya tidak ada pengaruhnya dalam menarik kemanfaatan atau menolak kemudaratan, karena tidak ada yang memberi, yang menolak, yang memberi manfaat dan memberi mudarat kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللهُُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلاَ رَادَّ لِفَضْلِهِ
Jika Allah menimpakan kepadamu kemudaratan maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia dan bila Dia menghendaki kebaikan bagimu maka tidak ada yang dapat menolak keutamaan-Nya.” (Yunus: 107)
Dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مسند أحمد ٢٥٣٧: حَدَّثَنَا يُونُسُ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ قَيْسِ بْنِ الْحَجَّاجِ عَنْ حَنَشٍ الصَّنْعَانِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ
حَدَّثَهُ أَنَّهُ رَكِبَ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا غُلَامُ إِنِّي مُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ احْفَظْ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظْ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ وَإِذَا سَأَلْتَ فَلْتَسْأَلْ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ رُفِعَتْ الْأَقْلَامُ وَجَفَّتْ الصُّحُفُ
Musnad Ahmad 2537: dari Abdullah bin Abbas bahwa ia menceritakan kepadanya; pada suatu hari ia menunggang di belakang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya: "Wahai anakku, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat; Jagalah Allah niscaya Dia akan menjagamu, Jagalah Allah niscaya engkau mendapatiNya di hadapanmu. Jika engkau meminta maka mintalah kepada Allah, dan jika engkau memohon pertolongan maka mohonlah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah, seandainya umat ini bersatu untuk memberi manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan mampu memberikan manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan padamu. Dan seandainya mereka bersatu untuk mencelakakan dirimu, niscaya mereka tidak akan mampu mencelakakanmu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan padamu. Pena telah diangkat dan lembaran telah kering."
Diriwayatkan pula sabda rasullullah shallallahu’alahi wa sallam dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
صحيح البخاري ٥٣٢٨: حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ فَقَالَ أَعْرَابِيٌّ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَمَا بَالُ الْإِبِلِ تَكُونُ فِي الرَّمْلِ كَأَنَّهَا الظِّبَاءُ فَيُخَالِطُهَا الْبَعِيرُ الْأَجْرَبُ فَيُجْرِبُهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَنْ أَعْدَى الْأَوَّلَ
وَعَنْ أَبِي سَلَمَةَ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ بَعْدُ يَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُورِدَنَّ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ وَأَنْكَرَ أَبُو هُرَيْرَةَ حَدِيثَ الْأَوَّلِ قُلْنَا أَلَمْ تُحَدِّثْ أَنَّهُ لَا عَدْوَى فَرَطَنَ بِالْحَبَشِيَّةِ قَالَ أَبُو سَلَمَةَ فَمَا رَأَيْتُهُ نَسِيَ حَدِيثًا غَيْرَهُ
Shahih Bukhari 5328: dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak ada 'adwa (keyakinan adanya penularan penyakit) tidak ada shafar (menganggap bulan shafar sebagai bulan haram atau keramat) dan tidak pula hammah (keyakinan jahiliyah tentang rengkarnasi)." Lalu seorang Arab badui berkata; "Wahai Rasulullah, lalu bagimana dengan unta yang ada di padang pasir, seakan-akan (bersih) bagaikan gerombolan kijang lalu datang padanya unta berkudis dan bercampur baur dengannya sehingga ia menularinya?" Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Lalu siapakah yang menulari yang pertama?" Setelah itu Abu Salamah mendengar Abu Hurairah mengatakan; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah (unta) yang sakit dicampurbaurkan dengan yang sehat." -sepertinya Abu Hurairah mengingkari hadits yang pertama- maka kami bertanya; "Tidakkah anda pernah menceritakan bahwa tidak ada 'adwa (keyakinan adanya penularan penyakit)." Lalu dia bicara dengan bahasa Habasyah, maka aku tidak pernah melihatnya lupa terhadap hadits selain hadits di atas."
Dalam hadits ini penetap syariat (yakni Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) menolak thiyarah berikut apa yang disebutkan dalam hadits. Beliau mengabarkan bahwa thiyarah itu tidak ada wujudnya dan tidak ada pengaruhnya. Thiyarah itu hanyalah anggapan-anggapan keliru dan khayalan-khayalan rusak di dalam hati.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: (وَلاَ صَفَرَ) menolak keyakinan orang-orang jahiliyyah yang menganggap bulan Shafar sebagai bulan sial, mereka mengatakan bulan Shafar adalah bulan bencana. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun meniadakan kebenaran anggapan tersebut dan membatilkannya. Beliau kabarkan bahwa bulan Shafar itu sama dengan bulan yang lain, tidak ada pengaruhnya dalam menarik kemanfaatan dan menolak mudarat. Demikian pula hari-hari, malam-malam dan waktu-waktu lain, tidak ada bedanya. Dulunya orang jahiliyyah menganggap sial hari Rabu, menganggap sial untuk melangsungkan pernikahan di bulan Syawwal secara khusus. Sehingga Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku di bulan Syawwal, maka siapakah yang lebih memiliki keutamaan/keberuntungan daripada diriku?”
Hal ini seperti anggapan sial orang-orang Rafidhah terhadap angka sepuluh, dan mereka tidak suka dengan angka ini karena kebencian dan permusuhan mereka terhadap Al-’Asyrah Al-Mubasysyarina bil jannah (10 shahabat Rasulullah yang diberi kabar gembira masuk surga ketika mereka masih hidup4). Yang demikian itu disebabkan kebodohan dan kedunguan akal mereka.
Demikian pula ahli nujum, mereka membagi waktu menjadi waktu nahas dan sial. Yang kedua; waktu bahagia dan baik. Tidaklah samar lagi haramnya ramalan bintang ini dan ia termasuk jenis sihir.
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Tathayyur adalah menganggap sial dengan apa yang dilihat dan apa yang didengar. Bila seseorang melakukan tathayyur ini, ia membatalkan safar yang semula hendak dilakukannya dan ia menarik diri dari perkara yang semula ia bersikukuh padanya, dengan begitu berarti ia telah mengetuk pintu kesyirikan bahkan ia telah masuk ke dalamnya. Ia berlepas diri dari tawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia membuka untuk dirinya pintu ketakutan dan bergantung kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang yang menganggap sial dengan apa yang dilihat atau didengarnya berarti telah memutuskan diri dari apa yang dinyatakan dalam ayat berikut:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Hanya Engkaulah yang kami sembah [6], dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. [7]( QS.Al Fatihah : 5 )
 Keterangan “
[6] Na'budu diambil dari kata 'ibaadat: kepatuhan dan ketundukkan yang ditimbulkan oleh perasaan terhadap kebesaran ALlah, sebagai Tuhan yang disembah, karena berkeyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya. [7] Nasta'iin (minta pertolongan), terambil dari kata isti'aanah: mengharapkan bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga sendiri.
Firman Allah ta’ala :
وَلِلّهِ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَإِلَيْهِ يُرْجَعُ الأَمْرُ كُلُّهُ فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan. ( Qs. Huud :m 123)
Jadilah hatinya bergantung kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala baik dalam bentuk ibadah ataupun tawakal, sehingga rusaklah hatinya, iman, dan keadaannya. Tinggallah hatinya menjadi sasaran thiyarah dan senantiasa digiring kepadanya. Syaitan pun mendatangi orang yang telah rusak agama dan dunianya ini. Berapa banyak orang yang binasa karenanya dan ia merugi di dunia dan di akhirat. Dalil-dalil tentang haramnya tathayyur dan tasyaum (menganggap sial) ini ma`ruf dan terdapat pada tempat-tempat pembahasannya, maka kita cukupkan dengan apa yang telah disebutkan. (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah 1/132-134)
Tidak Seorangpun Akan Mendapatkan Kebaikan Atau Keburukan Kecuali Apa Yang Telah Ditetapkan Allah Azza Wa jalla
Seluruh hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia, meliputi keburukan  maupun kebaika, seluruhnya telah ditetapkan melalui takdir Allah subhanahu wa ta’ala sesuai dengan Firman-N ya :
قُلْ مَن ذَا الَّذِي يَعْصِمُكُم مِّنَ اللَّهِ إِنْ أَرَادَ بِكُمْ سُوءًا أَوْ أَرَادَ بِكُمْ رَحْمَةً وَلَا يَجِدُونَ لَهُم مِّن دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
Katakanlah: "Siapakah yang dapat melindungi kamu dari (takdir) Allah jika Dia menghendaki bencana atasmu atau menghendaki rahmat untuk dirimu?" Dan orang-orang munafik itu tidak memperoleh bagi mereka pelindung dan penolong selain Allah ( QS.Al Ahzab : 17 ).
Sedangkan Takdir bagi manusiaitu sendiri  ditetapkan oleh Allah azza wa jalla 50.000 tahun sebelum dunia diciptakan sebagaimana sabda Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam :
صحيح مسلم ٤٧٩٧: حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ أَحْمَدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَرْحٍ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي أَبُو هَانِئٍ الْخَوْلَانِيُّ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ قَالَ وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا الْمُقْرِئُ حَدَّثَنَا حَيْوَةُ ح و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ سَهْلٍ التَّمِيمِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ أَخْبَرَنَا نَافِعٌ يَعْنِي ابْنَ يَزِيدَ كِلَاهُمَا عَنْ أَبِي هَانِئٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ غَيْرَ أَنَّهُمَا لَمْ يَذْكُرَا وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ
Shahih Muslim 4797: Telah menceritakan kepadaku Abu Ath Thahir Ahmad bin 'Amru bin dari 'Abdullah bin 'Amru bin Al 'Ash dia berkata; "Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Allah telah menentukan takdir bagi semua makhluk lima puluh tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.' Rasulullah menambahkan: 'Dan arsy Allah itu berada di atas air." Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu 'Umar; Telah menceritakan kepada kami Al Muqri; Telah menceritakan kepada kami Haiwah; Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Sahl At Tamimi; Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Maryam; Telah mengabarkan kepada kami Nafi' yaitu Ibnu Yazid keduanya dari Abu Hani melalui jalur ini dengan Hadits yang serupa. Namun keduanya tidak menyebutkan lafazh: "Dan 'arsy Allah itu berada di atas air."
Segala sesuatu itu sesungguhnya itu sesuai dengan apa yang digariskan oleh Allah subhanahu wa ta’ala berupa takdir sebagimana yang disebutkan dalam Hadits Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam :
صحيح مسلم ٤٧٩٩: حَدَّثَنِي عَبْدُ الْأَعْلَى بْنُ حَمَّادٍ قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ ح و حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ عَنْ مَالِكٍ فِيمَا قُرِئَ عَلَيْهِ عَنْ زِيَادِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ طَاوُسٍ أَنَّهُ قَالَ أَدْرَكْتُ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُونَ كُلُّ شَيْءٍ بِقَدَرٍ قَالَ
وَسَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ شَيْءٍ بِقَدَرٍ حَتَّى الْعَجْزِ وَالْكَيْسِ أَوْ الْكَيْسِ وَالْعَجْزِ
Shahih Muslim 4799: dari 'Amru bin Muslim dari Thawus dia berkata; "Saya pernah mendapati beberapa orang sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan; 'Segala sesuatu itu sesuai takdirnya.' Ibnu Thawus berkata; 'Saya pernah mendengar Abdullah bin Umar mengatakan; 'Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda: 'Segala sesuatu itu sesuai takdirnya, hingga kelemahan dan kecerdasan (atau kecerdasan dan kelemahan.
Sesungguhnya manusia hanyalah menjalani sekanario yang telah digariskan, tidak ada campur tangan manusia di dalamnya. Segala liku-luku dan seluk beluk kehidupan baik berupa kebaikan  maupun keburukan sudah tersurat dalam takdir. Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dalam shahih Bukhari menyebutkan :
صحيح البخاري ٤٥٦٨: حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ الْأَعْمَشِ قَالَ سَمِعْتُ سَعْدَ بْنَ عُبَيْدَةَ يُحَدِّثُ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَنَازَةٍ فَأَخَذَ شَيْئًا فَجَعَلَ يَنْكُتُ بِهِ الْأَرْضَ فَقَالَ مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا وَقَدْ كُتِبَ مَقْعَدُهُ مِنْ النَّارِ وَمَقْعَدُهُ مِنْ الْجَنَّةِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نَتَّكِلُ عَلَى كِتَابِنَا وَنَدَعُ الْعَمَلَ قَالَ اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ أَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ وَأَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الشَّقَاءِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ ثُمَّ قَرَأَ
{ فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى }
الْآيَةَ
Shahih Bukhari 4568: dari Abu Abdurrahman As Sulami dari Ali radliallahu 'anhu ia berkata; Suatu ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berada dalam rombongan pelayat Jenazah, lalu beliau mengambil sesuatu dan memukulkannya ke tangah. Kemudian beliau bersabda: "Tidak ada seorang pun, kecuali tempat duduknya telah ditulis di neraka dan tempat duduknya di surga." Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, kalau begitu, bagaimana bila kita bertawakkal saja terhadap takdir kita tanpa beramal?" beliau menajawab: "Ber'amallah kalian, karena setiap orang akan dimudahkan kepada yang dicipta baginya. Barangsiapa yang diciptakan sebagai Ahlus Sa'adah (penduduk surga), maka ia akan dimudahkan untuk mengamalkan amalan Ahlus Sa'adah. Namun, barangsiapa yang diciptakan sebagai Ahlusy Syaqa` (penghuni neraka), maka ia akan dimudahkan pula untuk melakukan amalan Ahlusy Syaqa`." Kemudian beliau membacakan ayat: "FA`AMMAA MAN `A'THAA WAT TAQAA WA SHADDAQA BIL HUSNAA (Dan barangsiapa yang memberi, dan bertakwa serta membenarkan kebaikan).."
Sebagai makhluk yang diciptalan Allah azza wajjala,  manusia wajib mengimani bahwa apa yang telah ditakdirkan menjadi bagian yang tidak pernah meleset dan apa yang tidak ditakdirkan untuk menjadi bagian dari seseorang tidak akan didapatkan olehnya. Jalan hidup  manusia tidak pernah luput dari apa yang telah ditakdirkan sebagaimana  sabda rasullullah shallallahu’alahi wa sallam :
سنن أبي داوود ٤٠٧٨: حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ مُسَافِرٍ الْهُذَلِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَسَّانَ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ رَبَاحٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ أَبِي عَبْلَةَ عَنْ أَبِي حَفْصَةَ قَالَ
قَالَ عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ لِابْنِهِ يَا بُنَيَّ إِنَّكَ لَنْ تَجِدَ طَعْمَ حَقِيقَةِ الْإِيمَانِ حَتَّى تَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ فَقَالَ لَهُ اكْتُبْ قَالَ رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ قَالَ اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ يَا بُنَيَّ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ مَاتَ عَلَى غَيْرِ هَذَا فَلَيْسَ مِنِّي
Sunan Abu Daud 4078 dari Abu Hafshah ia berkata; Ubadah bin Ash Shamit berkata kepada anaknya, "Wahai anakku, sesungguhnya engkau tidak akan dapat merasakan lezatnya iman hingga engkau bisa memahami bahwa apa yang ditakdirkan menjadi bagianmu tidak akan meleset darimu, dan apa yang tidak ditakdirkan untuk menjadi bagianmu tidak akan engkau dapatkan. Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Pertama kali yang Allah ciptakan adalah pena, lalu Allah berfirman kepadanya: "Tulislah!" pena itu menjawab, "Wahai Rabb, apa yang harus aku tulis?" Allah menjawab: "Tulislah semua takdir yang akan terjadi hingga datangnya hari kiamat." Wahai anakku, aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa meninggal tidak di atas keyakinan seperti ini maka ia bukan dari golonganku."
Sejalan dengan itu segala yang menimpa anak manusia itu datangnya dari Allah azza wa jalla, bukan oleh sebab yang lain. Apabila ada yang beranggapan bahwa kebaikan maupun keburukan yang menimpa manusia itu dikarenakan adanya hari sial yang membawa nahas, berarti mereka menganggpan bahwa ada kekuatan lain selain Allah   yang mampun memberikan kebaikan maupun kebahagaian kepada munusia, m aka orang-orang tersebut b erarti telah melakukan kesyirikan.
Beliau menjawab bahwa jika ada orang mempercayai adanya hari nahas (sial) dengan tujuan mengharuskan untuk berpaling darinya atau menghindarkan suatu pekerjaan pada hari tersebut dan menganggapnya terdapat kesialan, maka sesungguhnya yang demikian ini termasuk tradisi kaum Yahudi dan bukan sunnah kaum muslimin yang selalu tawakkal kepada Allah dan tidak berprasangka buruk terhadap Allah.
Sedangkan jika ada riwayat yang menyebutkan tentang hari yang harus dihindari karena mengandung kesialan, maka riwayat tersebut adalah bathil, tidak benar, mengandung kebohongan dan tidak mempunyai sandaran dalil yang jelas, untuk itu jauhilah riwayat seperti ini. (Fatawa Al Haditsiyah)
Kita semua yakin bahwa terjadinya musibah atau gejala alam yang menimpa manusia, bukan karena adanya hari nahas atau karena adanya binatang tertentu atau karena adanya kematian seseorang. Yang kita yakini adalah semua yang terjadi di alam ini adalah dengan takdir dan kehendak Allah.
Hari-hari, bulan, matahari, bintang dan makhluk lainnya tidak bisa memberikan manfaat atau madlarat (bahaya), tetapi yang memberi manfaat dan madlarat adalah Allah semata. Maka meyakini ada hari nahas atau hari sial yang menyebabkan seorang muslim menjadi pesimis, tentunya itu bukan ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah.
Semua hari adalah baik, dan masing-masing ada keutamaan tersendiri. Hari dimana kita menjaganya dan mengisinya dengan kebaikan dan ketaatan, itulah hari yang sangat menggembirakan dan hari raya buat kita. Seperti dikatakan oleh ulama Salaf, hari rayaku adalah setiap hari dimana aku tidak bermaksiat kepada Allah pada hari itu, dan tidak tertentu pada suatu hari saja.
Syiriknya Orang-Orang Yang Beranggapan Bahwa Sesuatu ( Hari/Bulan ) Dapat Mendatangkan Kesialan
Sejalan dengan apa yang telah diraikan diatas  bahwa sesungguhnya segala yang menimpa anak manusia itu datangnya dari Allah azza wa jalla, bukan oleh sebab yang lain. Apabila ada yang beranggapan bahwa kebaikan maupun keburukan yang menimpa manusia itu dikarenakan adanya hari sial yang membawa nahas, berarti mereka menganggpan bahwa ada kekuatan lain selain Allah   yang mampu memberikan kebaikan maupun kebahagaian kepada munusia, maka orang-orang tersebut berarti telah melakukan kesyirikan.
Jika ada orang mempercayai adanya hari atau bulan  nahas (sial) dengan tujuan mengharuskan untuk berpaling darinya atau menghindarkan suatu pekerjaan pada hari tersebut dan menganggapnya terdapat kesialan, maka sesungguhnya yang demikian ini termasuk tradisi kaum Yahudi dan bukan sunnah kaum muslimin yang selalu tawakkal kepada Allah dan tidak berprasangka buruk terhadap Allah.
Sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassallam :
سنن الترمذي ١٥٣٩: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ عَنْ عِيسَى بْنِ عَاصِمٍ عَنْ زِرٍّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطِّيَرَةُ مِنْ الشِّرْكِ وَمَا مِنَّا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ
قَالَ أَبُو عِيسَى وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَحَابِسٍ التَّمِيمِيِّ وَعَائِشَةَ وَابْنِ عُمَرَ وَسَعْدٍ وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ وَرَوَى شُعْبَةُ أَيْضًا عَنْ سَلَمَةَ هَذَا الْحَدِيثَ قَالَ سَمِعْت مُحَمَّدَ بْنَ إِسْمَعِيلَ يَقُولُ كَانَ سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ يَقُولُ فِي هَذَا الْحَدِيثِ وَمَا مِنَّا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ قَالَ سُلَيْمَانُ هَذَا عِنْدِي قَوْلُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ وَمَا مِنَّا
Sunan Tirmidzi 1539: dari Abdullah bin Mas'ud ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya thiyarah (pesimis) bagian dari syirik dan bukan bagian dari ajaran kami, justru Allah akan menghilangkan thiyarah (pesimis) itu dengan bertawakkal kepada-Nya." Abu Isa berkata, "Dalam bab ini juga ada hadits dari Abu Hurairah, Habis At Tamimi, 'Aisyah, Ibnu Umar dan Sa'd. Hadits
Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ عَدْوَى ، وَلاَ طِيَرَةَ ، وَلاَ هَامَةَ ، وَلاَ صَفَرَ
Tidak dibenarkan menganggap penyakit menular dengan sendirinya (tanpa ketentuan Allah), tidak dibenarkan beranggapan sial, tidak dibenarkan pula beranggapan nasib malang karena tempat, juga tidak dibenarkan beranggapan sial di bulan Shafar” (HR. Bukhari no. 5757 dan Muslim no. 2220).
Dalam hadits ini disebutkan tidak bolehnya beranggapan sial secara umum, juga pada tempat dan waktu tertentu seperti pada hari-hari dan bulan tertentu ( bulan Safar).
Ketahuilah bawa sesungguhnya  musibah-musibah tersebut tidak akan terjadi kecuali dengan qadha dan qadar Allah subhanahu wa ta’ala. Bukan karena sesuatu yang lain dari makhluk-makhluk Allah subhanahu wa ta’ala, melainkan semua itu sesuai dengan qadha dan qadar-Nya. Di dalam Al-Qur'an surah Al-Hadid ayat 22 disebutkan firman Allah ta’ala :
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.( Qs.Al Hadiit : 22 )
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengingatkan kita bahawa orang yang mempercayai keburukan itu datangnya daripada sesuatu, bukan dari Allah maka ia telah berbuat syirik. Sesuai dengan sabda Rasullullah shallallahu’alahi wa sallam :
"Menyandarkan keburukan kepada sesuatu adalah syirik, dan tidak termasuk dalam golongan kami melainkan (orang-orang yang beriman) sahaja, dan Allah akan menghilangkan syirik itu dengan tawakkal”(Hadis riwayat Ibnu Majah)
Selain itu, Rasululah Shallallahu ‘alaihi wasllam juga menyuruh umatnya agar sentiasa menyangka baik (al-fa’lu) terhadap sesuatu kejadian itu kerana sangka baik terhadap sesuatu itu suatu cita-cita dan harapan untuk mendapat kebaikan daripada Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Sebaliknya sangka buruk terhadap sesuatu (tasya’um) ialah sangka buruk terhadap Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Hal ini telah dijelaskan oleh Rasullullah shallallahu’alahi wa sallam  dalam sabdanya :
صحيح البخاري ٥٣٣١: حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ سَمِعْتُ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ قَالُوا وَمَا الْفَأْلُ قَالَ كَلِمَةٌ طَيِّبَةٌ
Shahih Bukhari 5331: dari Anas bin Malik radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Tidak ada 'adwa (keyakinan adanya penularan penyakit) dan tidak pula thiyarah (menganggap sial pada sesuatu sehingga tidak jadi beramal) dan yang menakjubkanku adalah al fa'lu." Mereka bertanya; "Apakah al fa'lu itu?" beliau menjawab: "Kalimat yang baik."
Dari apa-apa yang diungkapkan diatas bahwa menganggap atau meyakini adanya bulan Safar sebagai bulan  yang nahas atau mendatangkan kesialan berarti  telah berbuat syirik, karena sama saja beranggapan bahwa bulan Safar tersebut  mempunyai kekuatan untuk mendatangkan kesialan dalam berbagai bentuknya ( musibah dan lain-lainnya). Padahal bulan Safar bagian dari waktu adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Sehingga dengan meyakini  bulan dapat mendatangkan kesialan berarti sama saja dengan menganggap bulan Safar  tersebut sama kedudukannya dengan Allah yang menciptakannya, hal ini tiada lain merupakan sebuah kesyirikan.
P e n u t u p
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاء وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُواْ عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللّهُ ذَلِكَ إِلاَّ بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.(QS.Yunus : 5 _)
Dari ayat tersebut diatas Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa peredaran bulan tiada lain semata untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu yang termasuk di dalamnya bulan Safar. Karenanya hari itu tidak mempunyai samasekali kekuatan atau kemampuan yang dapat men datangkan kesialan bagi manusia.
Apa saja yang terjadi pada diri manusia baik berupa kebaikan atau keburukan (kesialan) semuanya datang dari Allah azza wa jalla, bukan datang dari siapa-siapa, bukan datang dari bulan Safar. Sehingga barang siapa diantara manusia yang beranggapan bahwa bulan Safar sebagai bulan  sial  maka ia telah menyamakan  kedudukan hari tersebut dengan Alllah, dan ini termasuk perbuatan syirik.
Sepatutnyalah kita sebagai umat yang mentauhidkan Allah menjauhkan diri dari perbuatan dan perilaku syirik seperti menganggap atau meyakini bahwa bulan Safar bulan  nahas yang dapat mendatangkan  kesialan. ( Wallaahu’alam )
Sumber :
1.Al-Qur’an dan Terjemahan, www.salafi-db.com
2.Ensiklopedi Hadits Kitab 9 imam, www.lidwapusaka.com
3.Majalah Asy-Syari’ah, Vol.III/No.29/1428H/2007
4.milis yahoogroups
5.www.madinatulilmi.com
6.www.akhwat.web.id
7.Artikel www. Rumah banjar.com  
Selesai disusun,  Selasa ba’da ashar 27 Muharram 1434/11 Desember  2012
( Musni Japrie )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar